”Bakso ini dijaman aku sekolah harganya Rp.500,-. Dan itupun aku tidak sanggup membelinya. Sekarang aku lagi ndak lapar, tapi aku mau makan bakso ini...” demikian seloroh seorang wanita muda bernama Mbak Sy, kepada 3 orang sahabatnya dengan tertawa. Tawa yang dikemudian disambut tawa sahabat-sahabatnya tanpa penjelasan lebih lanjut.
Warung bakso kecil itu terletak tak jauh dari rumah ibu kost saat Mbak Sy menempuh pendidikan SMEA. Dan sore itu, ia bersama 3 sahabatnya sengaja mampir makan bakso setelah menemui seorang rekan bisnis di sebuah hotel di kota itu.
”Ada teman yang kebetulan dari Jogja, minta ketemu di hotel X di Kebumen, temani aku ya! Hitung-hitung sambil jalan-jalan dan kutraktir mbakso ya!”
Ajak Sy pada 3 sahabatnya sejenak setelah menutup pembicaraan di handphone di tangannya. Saat itu, ia sedang asyik bertemu kangen dengan sahabat-sahabat lamanya.
Sy dan tiga sahabat yang sangat memahami perjuangan panjangnya di masa kecil hingga remaja bercengrama dengan sangat riuhnya. Semangkok bakso panas yang lebih lezat dari rasa sesungguhnya menjadi teman obrolan antar sahabat sore itu.
Sy adalah potret anak desa yang telah lolos dalam mengarungi badai ujian hidup di masa lalu. Ia tak ciut dihadang berbagai halang rintangan saat harus mempertahankan keyakinannya bahwa ia harus sekolah, meski orang tuanya sendiri adalah penghalang cita-citanya.
Ia masih ingat, ketika meminta uang SPP di masa SMP, sang ayah yang adalah pedagang kecil lagi miskin menatapnya tajam dengan kata-kata menghujam hingga jantungnya.
”Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalo akhirnya harus ke dapur juga! Apa kamu tak lihat, bagaimana Bapak mencari nafkah untuk kebutuhan makan pun belum genap tercukupi? Wis mandheg bae sekolahmu ( baca : wae ) Berhenti saja sekolahmu!!”
Sy remaja tak sanggup menahan air bening yang mengalir deras di kedua ujung matanya. Cukup lama ia menangis. Tangisan yang kemudian ia sadari adalah sia-sia. Apakah cukup dengan tangisan bisa menolong hidupnya? Tidak. Bagaimanapun, ia harus melepaskan diri dari belenggu kemiskinan keluarganya. Ia harus menemukan jalan menggapai masa depan yang lebih baik. Dan tidak ada pintu lain yang ia lihat selain ; terus sekolah.
Maka sejak itu, Sy tidak hanya rajin membantu orang tuanya yang pedagang kecil itu berjualan di pasar. Berharap ada ilmu perdagangan yang bisa ia serap dan berguna di masa mendatang. Dan upayanya semoga sedikit meringankan beban berat di pundak mereka. Ia tahu orang tuanya pasti bukan tidak menyayangi putrinya. Namun situasi sulitlah yang menjadikan semua berjalan tak semestinya.
Ia juga gemar membantu tetangga dan saudara di sisa waktu lainnya. Berharap akan ada yang menolongnya agar ia bisa tetap sekolah.
Waktu terus berjalan. Masa SMP yang penuh dengan catatan ’tunggakan SPP” akhirnya bisa juga dilewati hingga ia lulus. Guru dan petugas TU sepertinya sudah hafal harus membuat surat peringatan setiap kali masa ujian telah tiba. Peringatan bahwa pembayaran SPP yang telah menunggak hingga beberapa bulan yang menjadi langganan Sy, seorang remaja cantik berkulit putih yang tetap terlihat ceria.
Meski kondisi sulit itu terus berlangsung, namun berkat kegigihannya, Sy berhasil melewati hingga ia berhasil menamatkan bangku SMEA. Bahkan ia terus berjalan dan berjuang, meski ijasahnya terpaksa baru bisa lunas ditebus 2 tahun setelah kelulusan.
Tak ada pilihan untuk berhenti, karena tekad telah bulat dalam hati. Ia melanjutkan kuliah sambil bekerja. Lolosnya ia dari SMP dan SMEA menjadikan ia lebih percaya diri bahwa ia pun bisa selesai kuliah dengan modal semangat belajar dan berusaha yang tak pernah surut, bahkan ia tambah.
Dengan keyakinannya terbukti ia akhirnya dapat melalui tangga demi tangga pendidikan meski dengan mengesampingkan rasa malu karena jadi langganan menunggak pembayaran. Tapi toh, hasil akhirnya ia tetap bisa lulus bukan?
Dari mulai bekerja sebagai buruh pabrik, lalu pindah dari satu perusahan ke perusahaan lain, ia berhasil mengatasi semuanya. Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya sekaligus berhasil menebus ijasah SMEA yang ditahan pihak sekolah karena uang SPP dan ujian akhir belum ia bayarkan.
Perjuangan berat di masa remaja itu rupanya adalah tempaan maha dasyat yang menjadikan Sy jauh lebih matang dari gadis-gadis lain seusianya. Ia juga terlatih untuk menemukan solusi atas berbagai persoalan hidup. Itulah sebabnya di manapun berada ia lebih cepat belajar, dan mengolah peluang.
Maka beberapa tahun terakhir saat ia telah mempunyai segenap bekal keberanian yang diperlukan untuk membuka usaha, ia pun memutuskan berhenti bekerja. Dan berkat jaringan yang telah kuat ia bangun, ketrampilan perdagangan yang bisa dikatakan di atas rata-rata, ia berhasil membangun sebuah perusahaan trading cukup besar.
Bisnis perdagangan kelapa sawit, rempah-rempah dan aneka hasil bumi antar pulau, antar negara mengantarkan ia sebagai milyarder muda.
Sebuah keahlian yang sangat dibutuhkan oleh negeri ini, yang tercatat adalah negara agraris. Banyak dari kita bahkan lupa, tak menyadari atau tak peduli, bahwa Indonesia adalah negeri kaya raya sumber daya alam yang telah memperkaya para penjajah selama ratusan tahun lamanya.
Kantornya yang tersebar di bebarapa kota, dan gudangnya yang luas terdapat di luar pulau Jawa adalah hasil ikhtiar yang nyaris sempurna.
Berbagai kisah pedih dan memilukan hingga cerita kesuksesan hari ini adalah jalinan kisah inspiratif yang layak dibagikan kepada orang lain. Bukan untuk pamer keberhasilan. Tidak untuk mengecilkan nasib orang lain yang kurang beruntung. Tapi adalah sebuah catatan bahwa, seringkali kesuksesan adalah puncak dari gunung-gunung perjuangan, yang mungkin dirasakan sebagai sebuah keprihatinan dan sejumlah penderitaan pada masa lalu.
Maka, jika anak-anak remaja di masa kini merengek minta dibelikan motor, handphone, blackberry, dsb dll, kisah ini semoga dapat menginspirasi kita untuk menunjukkan jalan dan keputusan bijak yang semestinya diambil.
Atau jika si kecil merengek minta dibelikan sepeda mahal, playstation, boneka barbie, dan sejenisnya, cerita di atas semoga dapat menjadikan kita tahu kapan harus menginjak rem. Dongeng masa lalu tak selamanya usang.
Setidaknya barangkali sebagai orang tua di jaman ini, kita semua harus pandai merangkai kata dan kalimat. Menanamkan sebuah pengertian dan pemahaman bagi anak-anak dan generasi muda bahwabahagia itu sederhana. Demi hari depannya kelak. Demi kebijaksanaan yang mesti ia dapat. Demi penghargaan atas sebuah proses hidup dan kehidupan yang semua adalah rangkaian kisah dan cerita hari kemarin dan hari ini.