Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Mengenang Cak Nur (Almarhum) – Jalan Hidup Seorang Visioner (Bagian 1)

31 Juli 2012   02:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:25 271 0
Menyimak perjalanan hidup orang besar adalah salah satu pembelajaran sangat efektif lagi menarik. Sebuah cara mudah untuk bisa mendapatkan kesegaran pikiran, hiburan gratis, refleksi, introspeksi, dan merupakan petunjuk terang benderang untuk sedikit mengadaptasi, meniru jika tidak mampu mengcopy-nya secara sempurna hal-hal positif, cara hidup, cara pikir, cara berjuang, bersikap dan bertingkah laku, serta cara belajar mereka.

Setidaknya, hanya dengan menyimak produk tangan berupa TULISAN, kita bisa sejenak merasakan, bahwa seolah-olah, kitalah saksi hidup atas apa yang terjadi pada para orang besar yang telah mencatatkan sejarah dengan tinta emas.

Benar bahwa kita mungkin tak ditakdirkan melalui liku-liku hidup seperti mereka. Barangkali, kita juga tak dihampiri peluang-peluang emas yang berdatangan seiring dengan perjuangan dan cobaan yang dilalui.

Maka, di edisi tulisan ini, saya ingin mengajak untuk sedikit menyimak sekilas kisah salah satu orang besar yang saya kagumi meski beliau telah tiada. Beliau adalah Nurcholish Madjid atau sering dipanggil Cak Nur. Beliau telah wafat pada tanggal 29 Agustus 2005, meninggalkan warisan berupa ilmu pengetahuan kepada generasi sekarang dan yang akan datang.

Buah pikirannya menjadi rujukan. Dan obsesinya menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar telah menginspirasi banyak kaum muda. Barangkali, ide super cemerlang dari Anies Baswedan – Rektor Universitas Paramadina dalam meluncurkan Program Indonesia Mengajar bagi para generasi muda pilihan dengan motto : Setahun Mengajar, Seumur Hidup Menginspirasi adalah juga buah inspirasi dari sang pendiri Universitas Paramadina, yang tak lain adalah  Nurcholis Madjid.

Beruntung Anies Baswedan yang memang adalah generasi muda berbakat dan intelek itu pernah belajar dan berinteraksi secara langsung dari Sang Visoner, Nurcholis Madjid.

Salah satu hasil pemikiran Cak Nur tentang Islam adalah pluralisme. Dimana pluralisme tak lain adalah salah satu inti ajaran Islam itu sendiri sebagai rahmatan lilalamin ( pembawa rahmat bagi semesta alam ). Beliau juga gencar mempromosikan idenya  terkait demokrasi, humanisme, dan modernisasi ala Timur, dan bukan ala Barat.

Buku berjudul : Api Islam – Jalan Hidup Seorang Visioner yang ditulis oleh Ahmad Gaus AF menyimpan banyak kisah yang mengajak kita berfikir dan mendorong untuk terus belajar dan menambah wawasan sebagai seorang muslim yang hidup di era modern seperti sekarang ini.

Tulisan ini tentu tidak layak disebut sebagai ekstrak dari buku setebal 366 halaman itu.  Di sini saya hanya sedikit menceritakan kembali sebagian kecil dari sekian banyaknya cerita mengesankan dan memberikan wawasan baru akan sebuah arti hidup. Perjalanan seorang anak manusia dalam mengisi hidupnya dengan ibadah dan amalan-amalan terbaik, terlepas dari segala hal yang menjadi kontroversi atas pikiran-pikiran pembaharuannya.

Nurcholis Madjid, lahir di kota Santri Jombang, 17  Maret 1939 dari pasangan H. Abdul Madjid dan Hj. Fathonah, yang berasal dari keluarga dengan tradisi pesantren yang kental.

Orang tuanya memberi nama anak pertama mereka dengan nama Abdul Malik. Namun karena saat kecil sering sakit-sakitan, maka orang tua menyimpulkan bahwa Malik yang berarti “hamba Allah” dimana diambil dari Asmaul Husna yang ketiga) terlalu berat untuk disandang oleh putranya, atau akrab diistilahkan “kabotan jeneng ( keberatan nama). Sehingga, di usia ke 6, mereka mengganti nama Abdul Malik menjadi Nurcholish Madjid.

Waktu ia diajari ibunya membaca surat Al Fatihah, Nurcholis minta agar kata “maliki” ( yawmiddin) dalam surat itu diloncati saja :”Mak, nggak atik maliki-maliki Mak!” ( Mak, tidak usah pake maliki-maliki, Mak). Cerita lucu di masa kecil sebagaimana cerita lucu dan unik dari seorang anak manusia tentunya...:)

Di masa kecil, beliau menempuh 2 pendidikan sekaligus. Di pagi hari sekolah di SR, dan sore harinya di Madrasah Al Wathaniyah.

Meski sekolah di 2 tempat sekaligus, rata-rata nilainya baik terutama ilmu hitung atau aljabar. Di saat yang sama, Nurcholish juga mampu dengan mudah menguasai pelajaran di madrasah seperti tata bahasa Arab. Di SR ia diajari ilmu bumi, dan ia berhasil menggambar peta Jawa Timur lengkap dengan kota-kotanya tanpa melihat atlas paralel dengan kemampannya menghafal beberapa kitab berbahasa Arab.

Jadi kecerdasan dan semangat belajar yang tinggi memang sudah terlihat sedari Nucholish kecil.

Prestasi  demi prestasi diukir hingga menempuh pendidikan di Gontor. Saat itu sebenarnya Nurcholish ingin belajar bahasa Arab dan Inggris. Namun ia dimasukkan ke kelas ilmu pasti, meski tetap diajarkan bahasa.

Ia menyukai semua pelajaran, kecuali mengarang. Karena pada awalnya, ia menduga mengarang adalah mengkhayal. Maka ia bermalas-malasan di pelajaran itu, dan hanya menterjemahkan beberapa bagian dari buku berbahasa Inggris saat diminta oleh gurunya.

Sang guru yang mengetahui kebiasaan Nurcholish membiarkannya, dan tetap memberikan nilai tinggi. Sejak saat itulah Nurcholish sangat menyukai pelajaran mengarang, yang perlahan namun pasti ditingkatkan dengan mengarang dari pikirannya sendiri.

Rupanya, itulah titik balik Cak Nur menemukan hobinya mengarang atau menulis, yang kelak sangat membantunya dalam berbagai aktifitas. Menuangkan gagasan dan ide-idenya ke dalam makalah yang banyak dipakai di berbagai seminar dan pelatihan, serta bahan ceramah di masjid-masjid.

Yang kemudian juga hasil pemikiran dan gagasannya tersebar di berbagai media cetak dan elektronik hingga buku-buku akhirnya dipakai sebagai bahan kajian bagi banyak kalangan, generasi sekarang dan yang akan datang.

Saat menempuh pendidikan di Gontor, Cak Nur sudah fasih berbahasa Inggris, Arab, Jerman, dan Jepang.

Meski menempuh pendidikan dengan segudang prestasi membanggakan tadi, bukan berarti hidup serta merta menjadi mudah. Tidak demikian. Perlu perjuangan panjang dan tetap melalui onak dan duri sebagaimana yang di alami orang lain.

Lulus dari Gontor menuju kota Metropolitan untuk melanjutkan studi di IAIN Ciputat. Tidak ada sanak saudara satupun di Jakarta. Maka tahun-tahun pertama, Nurcholis tinggal berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mula-mula ia tinggal di rumah Rahman Partosentono di kompleks IAIN bersama teman-teman sekelasnya.

Namun setelah uang yang kiriman dari kampung berhasil dikumpulkan, ia memilih pindah ke tempat kost yang terjangkau di daerah Legoso berlokasi di seberang jalan agak jauh dari kampus IAIN.

Sebuah rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bambu/ gedek. Di sebelah rumah kost itu ada empang yang ditanami ikan lele.

Empang itu dibuat jamban kayu yang bentuknya mirip mimbar, sehingga jika mau buang air, ia menyebutnya ”khutbah” :(

Karena empang dekat sekali letaknya dengan rumah itu, maka saat malam banyak sekali nyamuk-nyamuk menyerbu penghuni rumah. Dan mungkin karena itu pula, Nurcholish sempat terkena malaria.

Dari situ Nurcholish merasa tidak nyaman dan pindah ke tempat Mahrus Amin, adik kelasnya di Pesantren Gontor.

Ia juga mengajar di madrasah yang kelak menjadi Pesantren Darun Najah, dimana Mahrus Amin kemudian menjadi pengasuhnya.

Karena jarak terlalu jauh dan memerlukan ongkos yang tinggi untuk ukuran kantongnya, maka saat Zarkasyi, teman seniornya menawarkan menggantikan kamar kost di daerah Kebayoran Baru karena ia sudah akan keluar, serta merta Nurcholish menerimanya.

Kamar kost itu sebenarnya adalah ruang garasi yang dibagi dua. Satu bagian depan untuk garasi oplet, sisanya untuk kamar tidur. Kamar sederhana itu cukup mewah buat Nurcholish karena ada dipan kayu dengan kasur kapuk yang sudah tipis.

Untuk membuat suasana baru, ia minta ijin untuk mengecat ulang dinding kamarnya. Dan si ibu kost menyetujui dengan warna cat : biru.

Ia mengecat sendiri dengan telaten hingga kamar baru siap ditempati. Tapi alangkah kagetnya ibu kos ketika melongok ke kamar, Nurcholish ternyata mengecatnya dengan warna ungu.

Di situlah Nurcholish sadar bahwa ita buta warna. Meski tidak total, tapi sulit menarik batas tegas antara warna pink dengan merah, oranye dengan kuning dan biru dongker dengan hitam.

Saat Nurcholis mudik lebaran, ibu kost menawarkan kamar itu pada orang lain, karena merasa terganggu dengan kebiasaan Nurcholish yang pulang larut malam. Maka saat Nurcholish balik ke Jakarta, ia gigit jari karena kamarnya telah ditempati orang lain.  :(

Ia lalu membawa dua potong celana dan tiga lembar kemeja ke kantong plastik jinjing, dan tercenung, berfikir harus kemana.

Saat itu ia tergiang ucapan pamannya :  ”Hanya orang yang tahan menderita yang bisa hidup di kota besar seperti Jakarta. Kalau tidak pulang kampung, maka jadi pengemis!” Dan Nurcholish memutuskan untuk tidak menjadi keduanya.

Ia lalu memutuskan untuk mencari teman alumni gontor yaitu AM Fatwa. Nasib tak berpihak padanya, sehingga begitu datang ke kost-an Fatwa, temannya itu sedang mudik lebaran.

Maka Nurcholish numpang di kost-an teman-temannya selama seminggu secara bergilir, agar tidak terlalu merepotkan satu orang saja. Dan lagi, dalam Islam, hukum bertamu maksimal 3 hari, jadi ia memegang petunjuk itu.

Fatwa saat itu kuliah di Ibnu Khaldun dan sudah aktif dalam organsasi Islam Masyumi sehingga banyak tokoh Masyumi yang dikenal dengan baik. Maka, setelah Fatwa balik ke Ciputat, ia mengajak Nurcholis tinggal di rumah salah satu pimpinan Masyumi yang tak ditempati. Rumah pejabat Masyumi itu hanya setingkat lebih baik dari kandang ternak.

Singkat cerita, dari kedekatan dengan Fatwa lah ia kemudian mengantarkan ia ke ke dunia organisasi masyumi.

Setelah beberapa bulan tinggal dengan Fatwa, Nurcholish pindah ke asrama Masjid Agung Al-Azhar atas ajakan Zaidi Malik, alumni Gontor yang kuliah di FKIP Muhammadiyah di Jalan Limau, Kebayoran. Ia tinggal di asrama tersebut cukup lama, kurang lebih 3 tahun ( 1963-1966).

Di sanalah Nurcholish berkenalan dengan Buya Hamka, tokoh Masyumi yang kala itu menjadi Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar.

Ia menjalin hubungan baik dengan Buya Hamka, dan sering diberi kepercayaan menggantikannya memberi ceramah terutama sehabis shalat subuh.

Nurcholish terus menempa diri dengan belajar dan berorganisasi. Ia juga kemudian dipercaya menjabat menjadi  Pemimpin HMI.

Tulisan ini sudah cukup panjang rasanya....Masing-masing kita dapat memaknai dengan cara masing-masing.

Ternyata orang tokoh cendekiawan yang berpengaruh itupun mengalami masa-masa sulit dan memprihatinkan.

Bahwa manusia dilahirkan lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Seorang tokoh sekaliber Nurcholish Madjid pun adalah seorang yang buta warna. Tak usah risaukan kelemahan itu,  dan berkonsentrasilah hanya pada : potensi diri yang dimiliki dengan terus belajar dan belajar. Berjuang tanpa henti...! :)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun