Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Masih ada Jalan untuk Kembali

18 Maret 2014   15:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:48 51 0
Kejutan awal tahun 2011 buat saya adalah, sebuah telepon dari salah seorang klien ; “Selamat siang Ibu…Terimakasih atas semuanya !!. Terhitung hari kemarin, saya sudah tidak di PT. X. Saya dipecat karena laporan pihak Ibu. Sekarang Ibu puas kan??”

Degg!!! Astaghfirullah…..Sejenak saya terhenyak mendengarnya. Kaget. Antara turut bersedih, ikut kecewa, dan beraneka rasa tak nyaman bercampuraduk menjadi satu. Tentu rasa ‘tidak enak’ karena berarti yang bersangkutan tahu apa yang terjadi. Pun sekaligus ada rasa ‘kesal’ karena pihak manajeman PT. X ‘ingkar janji’.

Ingatan saya langsung melayang ke beberapa bulan terakhir. Ketika dalam kondisi tanpa sengaja informasi bahwa kami memilih mundur dari sebuah pekerjaan penanganan acara karena ketua panitia menghendaki ‘mark-up’ harga sampai ke telinga manajemen.

Saya mohon dengan sangat, Ibu-ibu bisa memberikan data kepada kami terkait apa yang terjadi. Bukti sms atau email akan sangat berarti bagi kami dalam mendorong terciptanya perusahaan yang bersih”, ujar Ibu Ys, salah seorang petinggi perusahaan tersebut. Beliau juga mengapresiasi sikap kami yang tidak bersedia menjadi partner kongkalikong mengambil dana puluhan juta rupiah di perusahan yang beliau nahkodai.

Saya dan sahabat saya saling berpandangan. Awalnya kami bersikeras untuk tidak mau terlibat lebih jauh urusan internal perusahaan tersebut. Dan dari awal bukan menjadi tujuan kami untuk melaporkan hingga ke manajemen, ke pucuk pimpinan pula! Astaga, ini di luar skenario kami.

Sebenarnya, ini berawal dari obrolan ringan. Saya masih teringat detik demi detik bagaimana urusan obrolan per telepon antar sahabat itu berlangsung. Ketika itu, saya dan keluarga hendak mendampingi acara ‘lamaran’ seorang kerabat di Lampung. Saat itu kami menumpang kapal feri untuk menyeberang ke Bakaheuni. Dan sambil menikmati pemandangan laut yang amat mengesankan untuk saya yang baru pertama kali melakukan perjalanan melintasi samudra, saya dan suami mengisi perbincangan ringan.

“Aku lepasin aja deh pekerjaan perusahaan X ya Pak…. Si Pak S kemarin sms ke Mbak Ayi ( teman, red ) kalau harga tiketnya diminta dinaikin. Kita sudah berusaha mengarahkan ke hal-hal yang lebih real, bukan perkara salah atau benar. Dosa atau bukan. Kita sampaikan, bahwa harga itu publish setiap orang bisa mengakses informasi ke sana. Dan itu bisa jadi masalah di kemudian hari karena yang kami ajukan sistem discount dari harga umum itu…”

“Ya sudah, cari aja proyek lain yang lebih baik. Aku juga gitu kok. Ya kalau rejeki biasanya balik lagi. Ingat kan proyek dari PT. G waktu itu? Orang dalam minta nitip 10%, tapi aku tidak menyanggupi. Kusampaikan kami hanya bisa memberikan best price dan best support aja. Akhirnya proyek itu kembali ke kami, meski orang lain yang mendapatkan ordernya…!” Saya tentu hafal caranya memberikan dukungan. Dengan membesarkan hati, dengan memberikan contoh kasus lain yang semakin menggiring sebuah keyakinan bahwa rizki itu tak pernah salah alamat. Bahwa mencari rizki yang halal itu tidak sesulit yang dikhawatirkan banyak pihak. Bahwa memilih mendapat yang sedikit dibanding yang banyak tapi ‘ga jelas’ itu lebih nyaman untuk kami. Bahwa terjadinya korupsi bukan hanya sepihak saja sebagai pelaku. Tapi karena dua pihak yang bersekutu. Antara penyuap, dan yang disuap. Kedua pelaku menanggung resiko yang disediakanNya dengan setara.

Pak F tidak tahu lho kalau kami diminta jadi EO di sana…” saya jadi ingat Pak F, teman suami yang juga bekerja di perusahaan X. Saya berpikir, untuk bercerita padanya setelah semuanya clear. Pak F adalah bagian dari manajemen di PT. X, dan rasanya lebih nyaman jika kami memenangi tender bukan karena pertimbangan ada ‘seseorang kuat’ di sana.

Tak terasa, perjalanan begitu cepat terasa. Dan sesampai di penginapan, entah seperti ada frekuensi yang menghubungkan kami, Pak F menghubungi suami via telepon. Sebagaimana sebelum-sebelumnya, perbincangan antar sahabat itu menyebar ke segala topik. Hingga akhirnya tanpa disengaja ‘keceplosan’lah suami menceritakan perihal rencana mark-up yang menjadikan saya memilih mundur sebagai vendor EO di perusahaan X. Pembicaraan ditutup dengan janji bahwa itu hanya sekadar untuk diketahui. Dan bukan untuk di blow-up.

***

Kembali ke ruang rapat dimana kami berdua dihadirkan sebagai saksi bak di sebuah persidangan, akhirnya bukti outentik berupa sms dari handphone teman saya pun diserahkan. Dengan sebuah kesepakatan bahwa apa pun yang dilakukan perusahaan terhadap Pak S, kami tidak akan dilibatkan dalam perkara tersebut.

Sebuah peristiwa yang belum pernah kami alami sebelumnya, dan harus dihadapi.

Saya teringat kalimat suami ketika memberi arahan, bahwa ketika ada seorang team yang melaporkan kesalahan temannya, bertindaklah sebagaimana seharusnya. “Dalam sebuah kasus yang melibatkan saksi-saksi, ingatlah bahwa saksi itu harus dilindungi. Jangan sampai intel-nya malah kita bunuh!”

Dalam hati, saya berujar ; “Semoga Ibu Ys pun mempunyai pemahaman yang sama.”

Meski tetap, sebagai ibu-ibu, di sepanjang jalan saya dan teman berdiskusi melantur kesana kemari. Bagaimana jika Pak S lalu dipecat? Bagaimana keluarganya? Istri dan anak-anak yang masih membutuhkan seorang kepala rumah tangga yang menjadi pencari nafkah. Akankah beliau cepat mendapat pekerjaan lain sebagai gantinya mengingat secara usia juga sudah tidak muda lagi?

Sebenarnya yang masalah kita itu hanya satu dari gunungan masalah sebelumnya aja sih Bu. Menurut info Pak F, sudah lama manajemen mengendus hal-hal miring tentang Pak S. Termasuk vendor yang harus menyetorkan sekian per bulan karena posisi beliau sebagai kepala pembelian. Cuma itu semua desas-desus yang sulit dibuktikan, karena semua pihak seperti berusaha menutupi. Jadi kalau terperosok di jurang yang beliau gali kali ini, sebenarnya hanya soal waktu saja…..” Kalimat yang saya lontarkan memang adalah data yang kami peroleh dari Pak F, namun sekaligus upaya menghibur diri sendiri dan rekan saya yang terlihat tidak bisa tenang karena perasaan bersalah yang meliputi.

***

Ibu sekarang sudah puas kan karena saya sudah keluar dari sana???” Pertanyaan yang mengagetkan. Dan tentu saya jawab dengan spontan. Tidak ada gunanya untuk membela diri.

Begini Pak S,…. Saya jelas kaget, dan tidak menyangka hal ini bisa terjadi. Saya paham bagaimana sebuah keluarga akan menemui kesulitan manakala nafkah terhenti karena kehilangan pekerjaan. Dan itu bukan tujuan kami. Tapi perihal apa yang dialami Bapak, sekarang saya hanya mau kasih tahu Bapak aja ; minta ampunlah kepada Allah. Jangan pernah menyalahkan pihak lain jika hal ini terjadi. Masih bersyukur Allah memberi teguran Bapak di dunia, dan bukan membayarnya berikut bunga-bunganya di akhirat!. Dan jika Bapak bertanya ; apa saya puas?? Saya tidak punya kepentingan apa-apa selain sekadar menghindarkan diri dari ancaman azab Allah di akhirat nanti. Itu saja!!  Jika Allah menerima taubat Bapak, semoga Dia memberi ganti pekerjaan yang lebih baik. Saya hanya bisa bantu doa. Itu aja Pak S…”

Pembicaraan ditutup dengan suara amarah yang masih terasa mengalir lewat handphone. Saya terdiam sejenak. Mencoba mengingat, apakah memang kalimat itu yang harus saya ucapkan. Kalimat yang mungkin terdengar amat pedas untuk sebuah jiwa yang sedang terluka. Astaghfirullah… Ampuni kami ya Allah!

***

Sekitar 6 bulan kemudian, Pak S menghubungi saya. Kejutan beriktunya untuk saya pastinya. Suaranya terdengar ramah, bersahabat. Beliau cerita jika sudah mendapat pekerjaan baru yang lebih baik di perusahaan M.

“Subhanallah… senang sekali mendengarnya Pak. Semoga lembaran baru penuh berkahNya telah terbuka di hadapan Bapak…”

Ini adalah kabar gembira bagi kami semua. Pertama, adalah kabar bahagia karena Pak S tidak seterpuruk yang kami khawatirkan. Biar bagaimana pun, kami amat berkontribusi dengan cerita kelamnya. Keduanya, Pak S masih menghubungi saya untuk berbagi kabar. Ini adalah serupa karunia Allah yang tak terkira untuk kami. Saya bergumam ;”Demikian indahnya jika Allah berkenan membalikkan hati dan menghidupkannya kembali.”

***

Belum lama ini, Pak S menghubungi saya kembali. Kini sebagai pemegang wewenang cukup tinggi di perusahaan M, beliau mengajak kami bekerjasama kembali. Kami ditunjuk sebagai EO tanpa melalui proses tender apa pun. Setelah melihat rincian biaya yang kami ajukan memang realistis dan cukup kompetitif, tanpa tawar menawar sedikitpun, beliau berujar ; “Langsung dibuatkan invoice saja Bu, biar bagian akunting kami segera memproses pembayarannya 100%.”

Subhanallah…. Kejadian ini bukan sekadar urusan berniaga dan matematika tambah, kurang, kali dan bagi. Bagaimana Allah merengkuh mereka yang bertaubat dan menggenapkan niat memperbaiki kesalahan adalah sebuah hal yang menakjubkan. Seberapa jauh engkau tersesat, masih selalu ada jalan untuk kembali dan Dia akan menyambut kita dengan berlari jika sepenuh hati kita bertekad untuk berbenah diri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun