Survei terhadap calon Presiden (capres) 2014 mulai marak pada 2012. Dengan semakin dekatnya hari H pemilu Presiden, semakin banyak pula survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei. Hasil dari survei-survei tersebut mencerminkan gambaran kasar siapa saja tokoh pilihan responden yang paling diminatinya.
Publik sangat antusias menyambut publikasi hasil-hasil survei. Setiap publikasi hasil survei itu senantiasa diikuti oleh pewacanaan masing-masing tokoh yang masuk sebagai capres teratas di ranah publik. Terutama di media konvensional dan media sosial, hasil survei tak jarang menjadi perdebatan hangat, bahkan sesekali terjadi friksi antar-pendukung sang capres. Komentar-komentar yang menunjukkan kepuasan akan terlontar bila capres idamannya muncul sebagai capres teratas pilihan responden.
Tetapi, tak jarang hasil survei itu dikecam karena tidak sesuai dengan harapan kelompok atau perorangan. Komentar-komentar miring terhadap capres teratas pun bertebaran.
Hal yang ambigu muncul di kalangan partai-partai. Bila capres yang diusungnya gagal menduduki peringkat teratas, mereka menanggapi dengan sikap yang dingin atau malah sinis. Dari mereka terucap bahwa survei tersebut merupakan rekayasa yang mampu dibeli dengan uang, diselenggarakan oleh lembaga survei abal-abal, atau dianggap sebagai strategi licik.
Memang tak dapat ditepis bahwa ada lembaga survei yang menyelenggarakan survei dengan kaidah-kaidah ilmiah yang ketat. Mereka menggunakan metodologi survei yang dapat diuji oleh pihak lain. Namun, tak dapat dimungkiri juga bahwa ada lembaga survei yang sengaja merekayasa agar hasil surveinya menggiring publik untuk mempersepsi positif terhadap capres yang ditempatkannya di posisi teratas.
Untuk tujuan melihat hasil survei yang lebih netral, tulisan ini menyajikan hasil-hasil survei yang diselenggarakan berbagai lembaga. Pertimbangannya adalah variabel waktu penyelenggaraan survei. Waktu penyelenggaraan survei dianggap penting karena pilihan responden dapat berubah seiring berjalannya waktu dan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang dapat mengubah pilihan responden.
Pertimbangan selanjutnya adalah mengambil lembaga-lembaga survei secara acak. Baik lembaga itu dianggap memiliki kredibilitas maupun lembaga yang dianggap berpihak kepada capres tertentu. Hal ini agar hasil analisis tidak berat sebelah.
Namun sebenarnya sulit untuk menentukan mana lembaga survei yang kredibel dan mana yang tidak kredibel karena selama ini penilaian kredibilitas dilakukan melalui asumsi semata, tidak diuji dengan survei tandingan.
Hasil survei yang diselenggarakan oleh bermacam-macam lembaga survei ditampilkan urutan peringkat yang diwakili angka-angka kemudian dari peringkat itu diberi nilai bobot. Peringkat 1 (terbanyak dipilih oleh responden) diberi nilai bobot 10 sedangkan peringkat 10 (terendah) diberikan nilai bobot 1. Misalnya, capres Hatta Rajasa mendapatkan peringkat 10 hasil survei yang diselenggarakan oleh SMRC, maka nilai yang diperoleh Hatta adalah 1.
Nilai-nilai bobot itu kemudian dijumlah total dari semua hasil survei oleh semua lembaga penyelenggara survei yang dianalisis. Jumlah total nilai yang diperoleh oleh seorang capres digunakan untuk menentukan peringkat akhir yang disebut “10 Capres Teratas.”
Hasil survei dari berbagai lembaga itu dapat dilihat pada tabel di bawah ini yang diurutkan berdasarkan waktu penyelenggaraan dari terlama sampai terbaru. Nama-nama capres yang ditampilkan adalah nama-nama yang sering disebut oleh survei-survei selama ini.
Tabel Hasil Survei Capres dan Peringkatnya Berdasarkan Analisis Antar-Survei