Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Demit dan Dandaka di Luar Peta NKRI (2)

26 Januari 2014   13:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 17 1
Seluruh nilai dan pengetahuan saya tidak mampu mengelola kenyataan hutan hujan tropis yang lembab dan berawa seperti ini, dan hanya mampu melihatnya sebagai ancaman. Bagian kedua dari empat tulisan tentang pengalaman menyusuri tepian Sungai Sembakung.

Kecekatan Pak Abdullah untuk menyiapkan camp kami membuat saya merasa bersalah dengan kekecewaa saya sendiri. Saya membayangkan Vasco da Gama, Columbus, Cornelis de Houtman dan penjelajah-penjelajah abad itu serta hasrat mereka untuk menemukan terra incognita adalah hasrat yang sama dengan yang membersit di benak saya barusan. Sebuah hasrat yang berujung pada perbudakan dan penjajahan. Saya merasa seganjen seorang totok Belanda dengan sebuah kartu pos bergambar indie mooi seratus tahun yang lalu. Tapi sumpah, saya cuma seorang Jawa yang tak pernah berada di hutan belantara semacam ini sepanjang hidupnya!

Dengan cepat saya membentangkan terpal pada bidang yang sudah saya periksa baik-baik sebelumnya. Belum lagi saya selesai mengatur barang-barang, Pak Abdullah dan Pak Ismail telah meluncur kembali ke ketinting, menuju ke tengah danau. Anggi melompat ke ketinting dengan susah payah. Saya biarkan ia bersama mereka ke tengah danau dengan tujuan memberinya ruang pandang yang bebas yang tidak membuat frame-nya "bocor" karena kehadiran kami para "pembuat film". Dengan segera mereka segera mengabur di tengah danau di tengah siraman cahaya malam yang redup kebiruan. Saya meneruskan kegiatan saya.

Setelah terpal digelar, dengan pengetahuan yang saya dapatkan ketika menjadi anggota Pramuka seperempat abad yang lalu, saya menghabiskan satu kantong penuh garam untuk saya taburkan di sekeliling terpal, di belakang, terutama di belakang punggung saya, berlawanan arah dengan api unggun (sebuah upaya yang lagi-lagi tolol karena dari percakapan dengan Basri, seorang pencari ikan yang kami temui beberapa hari kemudian, kami kemudian tahu bahwa ular menyerang dari atas, dari dahan-dahan, dan bukannya dari permukaan tanah, sementara bahaya terbesar dari bawah adalah buaya, dengan mana kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berharap sebuah gambar eksklusif ketika mereka menerkam pergelangan kaki kami sendiri) dengan kengerian purbawi yang saya warisi sebagai spesies yang membenci ular sejak penciptaan pertamanya.

Air di ketel mendidih dan dengannya saya menenangkan diri dengan segelas kopi. Dengan cepat kanopi hutan menenggelamkan cahaya senja yang terakhir dan melenyapkan ketinting Pak Abdullah dari pandangan. Mereka tidak menyalakan mesin, samar-samar terdengar kecipak dayung di kejauhan. Langit semakin menggelap dan beberapa kali, saya menandai ketinting mereka dengan sorot lampu senter yang menyala sekali-kali. Dan yang terdengar setiap kali senter itu menyala adalah jeritan bekantan yang ketakutan di pucuk-pucuk pohon di pinggir danau. Sekali terdengar teriakan Pak Abdullah membelah kesunyian danau.

Saya senang mendengar teriakannya. Teriakan itu membubarkan kesunyian yang berhimpit-himpit di sekeliling saya. Teriakan itu terdiri dari bunyi "o" yang panjang dan diakhiri dengan sambungan bunyi "e" dengan nada yang menurun. Ia bisa meneriakkan itu beberapa kali, ke arah yang berbeda. Bila ia beruntung, akan terdengar bunyi yang sama dari sebuah arah, menandai keberadaan seseorang, sebuah makhluk berkecerdasan di tengah belantara yang tak sepenuhnya bisa ia atur sekehendak hatinya. Di kebunnya tempo hari, sebuah bidang hutan yang dibukanya sendiri di punggung bukit di hilir sana, teriakan itu sering ia perdengarkan. Waktu itu ada jawaban dari seberang jurang, tapi sekali ini tidak. Di danau itu cuma ada kami. Sedang danau itu demikian tenangnya, tak bergerak, wingit, singup, misterius...

Saya memandang ke sekeliling, meyakinkan diri bahwa suara berkemeresak di atas kepala saya adalah cuma suara monyet-monyet yang tidak berbahaya. Atau mungkin bekantan dengan hidungnya yang panjang dan tampak ramah seperti kartun. Perapian bergemeretak di hadapan saya. Di sana sini di sekeliling saya, saya bisa merasakan lembabnya lumpur. Di kejauhan, jeritan bekantan itu masih terdengar, untuk kemudian kesunyian itu berkumpul kembali. Tapi saya segera sadar bahwa hutan ini tidak sunyi. Suara-suara yang lagi-lagi tidak bisa saya namai asalnya berdengung dengan berbagai macam ragam. Tapi toh jutru dengan segala kebisingan itu saya malah merasakan apa yang disebut dengan gung liwang liwung di sekeliling saya.

(Bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun