Beberapa tokoh telah bersama sama menolak ketetapan tersebut dan menyebutnya sebagai langkah yang tepat guna menolak praktik oligarki politik yang kian kental. Namun hampir semua penolakan itu kemudian runtuh di ruang perdebatan Hakim Mahkamah Konstitusi.
Tercatat belasan pengajuan Judicial Review (Peninjauan Kembali) tehadap pasal 222 UU no 7/2017 sudah dilayangkan ke MK, namun hingga kini tidak ada satupun gugatan JR tersebut yang berhasil menembus ketetapan para Yang Mulia Hakim Konstitusi. Semua gugatan mental dan berakhir penolakan.
Tokoh tokoh seperti Prof. Dr. Effendi Ghazali, Prof. Refly Harun, Dr. Margarito Kamis, Prof Yusril Ihza Mahendra dan banyak lainnya tercatat ikut serta mengajukan gugatan. Namun berbeda dengan kebanyakan tokoh yang menggugat, nama AA LaNyalla Mahmud Mattaliti justru memulai dengan gerakan penolakan itu dengan membangun opini publik dengan cara berkeliling Indonesia mengajak masyarakat menelaah kembali UU no 7/2017 khususnya Pasal 222 dalam UU tersebut.
Apa yang dilakukan LaNyalla sejatinya sangat diperlukan dalam sebuah negara yang mengaku demokratis. LaNyalla dalam kapasitasnya sebagai seorang Senator (Sebutan untuk Anggota DPD RI) bergerak menggalang opini publik di seluruh belahan Indonesia dengan menyeru bahwa perbaikan terhadap nasib dan arah perjalanan bangsa ini harus segera dilakukan. Harus ada langkah cepat untuk mengembalikan arah perjalanan bangsa ini yang sudah bias menjauh dari cita cita luhur para pendiri bangsa.
Siapa LaNyalla ?, LaNyalla adalah seorang Senator. Ia dipilih dalam mekanisme pemilihan yang sah dan memiliki legitimasi kuat sebagai seorang anggota DPD RI mewakili Propinsi Jawa Timur. Raihan suaranya pada Pileg 2019 silam sangat kuat dan signifikan. Ia meraih dukungan 2.267.058 suara dari rakyat Jawa Timur. Suara itulah yang kemudian mengantarnya menjadi Ketua DPD RI dan berhak memakai nomor polisi kendaraannya RI 7. Nomor resmi kenegaraan untuk Ketua para Senator.
Gerakan dan aksi politik serta kepemimpinan LaNyalla di DPD RI sangat diperlukan di era kepemimpinan transformatif saat ini. Terlebih lagi bagi Indonesia. Sebagai negara berkembang, kepemimpinan dan langkah seperti itulah yang diharapkan untuk mampu membawa negara ke arah yang lebih jelas dan benar. Lalu, sebenarnya apa sih kepemimpinan transformatif itu?
LaNyalla memang tidak seperti kebanyakan politisi lain yang menari, meliuk memainkan isu penolakan PT 20 Persen dengan membawa narasi yang sama dengan politisi lain. Ia memainkan irama dan memukul gendang sendiri.
Memang isu politik yang diusungnya sama dengan apa yang dilakukan oleh Rizal Ramli, Yusril bahkan yang terbaru Gatot Nurmantyo. Akan tetapi narasi yang dipakainya adalah bahwa penolakan ini bukan semata menghapus praktik oligarki yang kian kental di ruang politik Indonesia. Ia mengajak rakyat untuk kembali membaca peta jalan arah perjuangan bangsa sesuai keinginan para Founding Fathers. Indonesia tahu persis isu Presidential Threshold adalah isu yang masif dimainkan. Karena itu ia memilih diksi dan arena sendiri. Tolak PT 20 persen, dan kembalikan peran MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan rakyat tertinggi.
Sulit ?, tentu saja, namun LaNyalla adalah seorang petarung. Setidaknya catatan perjalanan hidupnya adalah tentang perlawanan. Dalam bukunya, "LaNyalla - Jalan Hidupnya Ditempa Bagai Keris" tergambar jelas bahwa ia sudah mendobrak kemapanan sejak dari dalam rumahnya sendiri. Ia keluar dari rumah, berkelana dan hidup dari nol. Padahal jika mau, ia bisa hidup enak karena berasal dari keluarga yang secara ekonomi berkecukupan serta mampu. Â
Kembali ke gerakan LaNyalla, ia mengajak masyarakat untuk kembali membaca ulang peta jalan perjuangan dan cita cita bangsa. Sudah jelas bahwa negara ini didirikan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Keadilan itu tidak serta merta bisa dan dapat dicapai tanpa langkah yang tepat. Dalam setiap orasinya, LaNyalla selalu mengatakan sebuah keadilan sosial bisa terwujud jika pada setiap pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup rakyatnya dilakukan dengan cara musyawarah penuh rakyat.
Tentu langkah ini berbeda dengan kebanyakan politisi yang lebih mengedepankan narasi penolakan terhadap pemberlakuan PT 20 persen semata. LaNyalla membuka mata dan membangun kesadaran bahwa tidak ada tempat bagi oligarki di NKRI. Keadilan sosial dan masyarakat yang adil dan makmur tidak akan tercapai jika cara cara yang tidak demokratis dipertahankan.
Seperti kata LaNyalla dalam pidatonya, Bangsa Indonesia tidak kekurangan tokoh dan figur untuk bertarung menjadi pemimpin bangsa. Namun karena pemberlakuan PT 20 persen itu banyak figur yang semestinya mendapat tempat dan kesempatan untuk unjuk diri menjadi terpinggirkan dan tidak memperoleh kesempatan.
Memang jika ditimbang, pemberlakuan PT 20 persen lebih banyak dan besar mudaratnya. karena itu jalan yang sudah ditempuh dan menolak pemberlakuan ambang batas minimal pencalonan Capres/Cawapres itu harus ditolak. Negara ini tidak boleh disandera oleh kepentingan segelintir elit yang tidak memberikan ruang kepada putra putri terbaiknya untuk tampil menjadi pilihan dan memimpin.
Karena aksi dan langkah penolakan pemberlakuan ambang batas PT 20 persen itu sangat perlu dan patut ditolak. Dan sebagai Ketua DPD, LaNyalla memiliki hak dan kewajiban dalam UU untuk mendorong undang undang yang tidak demokratis itu. Ia sudah memulai dari dalam sistem. Langkah LaNyalla juga sudah diikuti oleh Senator Senator lain di DPD.
Maka oleh sebab itu, sudah selayaknyalah Yang Mulia Hakim Konstitusi berkumpul, bermusyawarah, mengkaji dan mengambil sikap serta ketetapan MK membahas dengan jernih lalu mengabulkan permohonan pengajuan peninjauan kembali tersebut. Tentunya semua demi kebaikan bangsa dan negara Indonesia di masa depan.