Beberapa waktu lalu saya menulis bahwa pemilihan umum merupakan esensi demokrasi yang secara teknis sebagai alat perjuangan rakyat memilih kandidat yang sesuai dengan hati dan nurani secara utuh. Pemilihan umum juga merupakan hari penghakiman bagi para kandidat yang berstatus petahana. Dan hari ini, berdasarkan hasil hitung cepat yang menjadi acuan, sudah pula diketahui siapa yang akan duduk sebagai Presiden dan Wakilnya serta partai politik mana yang akan meraih suara terbanyak. Partai politik dan kandidatnya telah menerima hukuman dari pemilih pada hari tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa demokrasi yang kita jalani saat ini acap kali dimaknai oleh sebagian besar kalangan masyarakat sebagai wadah merebut kekuasaan untuk kepentingan rakyat secara proprosional. Pesta demokrasi baru difahami sebatas pada proses sirkulasi kepemipinan belaka, dan belum menyentuh pada kisi kisi yang paling dalam yaitu hak untuk memilih pemimpin yang diyakini mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Maka tak jarang, demokrasi kita sering kali terjebak dalam politik identitas yang mana pilihan di bilik suara lebih ditentukan oleh kesamaan kultur, agama, ideologi atau yang selama ini dienal sebagai politik SARA. Pemilih dalam pandangan saya belum menunjukkan kedewasaan berpolitik yang didasari pada kesukaan akan visi dan misi atau program kerja calon kepala daerah yang bertanding.
Lalu, dosakah politik identitas ?, ataukah politik identitas itu sebuah kekeliruan dalam berdemokrasi?, sekarang mari kita bahas.
Pada dasarnya, politik identitas tidaklah dilarang. Tokh pemilih memiliki haknya untuk menentukan sikap di bilik suara. Namun dosa terbesar dari kasus ini tentulah (menurut saya) menjadi kesalahan para elit yang tidak bisa memberikan pendidikan dan pencerahan politik kepada pemilih.
Mereka (para elit itu) cenderung mempertahankan status quo dengan mengedepankan isu isu sektarian, daripada capaian kinerja dan janji kampanya yang logis. Saya akan membahasan bahwa bahwa politik identitas adalah kemunduran dalam alam demokrasi yang seharusnya sudah dilewati pada masa masa awal demokrasi bebas dan terbuka pada Pilkada sejak lima belas tahun yang lalu.
Disayangkan pula, berkembangnya politik identitas ini juga tidak dilerai oleh media. Media massa, baik media mainstream, maupun media sosial cenderung menjadi kanal bagi tumbuh kembangnya politik ini. Politik identitis adalah kejahatan demokrasi yang sengaja di bangun oleh aktor politik yang mempunyai hubungan kepentingan dan dianggap baik oleh masyarakat.
Politik identitas semestinya tidak terjadi karena merupakan bentuk Turn Back terhadap tujuan demokrasi yang sesungguhnya. Sikap pemiluhan yang patut disayangkan karena akhirnya berbuntut pada konflik yang awalnya hanyalah kontra pendapat belaka yang tidak diselesaikan dengan bijak dan dewasa.
Karena itu kita mesti menyepakati bahwa politik identitas haruslah kita minimalisir sebagai bentuk cara berpolitik. Ini mesti dilakukan, karena dimasa depan kita harus mengedepankan ide dan gagasan sebagai produk politik.