Sebagai pengagum Tasniem yang luar biasa sehingga perasaan kagum menjadi berkeping-keping tatkala ada perbedaan pandangan politik maka saya penasaran apakah Dian Paramita (Selanjutnya saya panggil Mita. Karena saya merasa belum pernah mengenalnya untuk tahu persis nama panggilan yang pas maka saya gunakan nama panggilan Mita merujuk pada nama panggilan yang Dian Paramita akukan: Mimit = Mita) sebelumnya mengikuti Facebook dan Twitter Tasniem. Jika memang ia adalah pengagum berat sehingga seakan-akan hapal setiap fragmen bersama Tasniem pastilah wajar jikalau saya menyimpulkan bahwa Mita pernah menjadi follower media sosial Tasniem. Saya penasaran apakah kekecewaan yang dramatikal darinya membuatnya tidak mengikuti lagi Tasniem di media sosial. Entah apakah rasa penasaran ini akan terjawab!
Kekecewaan yang timbul dari perasaan terlalu kagum memang bisa menyesakkan. Itu saya pahami. Namun pada orang yang terlalu kagum secara normal tidak akan menarik diri dari perasaan kagum pada pukulan pertama. Mereka yang terluka karena dikecewakan oleh cinta yang terlalu, kagum yang terlalu pastilah akan menyangkal perselisihan komitmen mengenai sesuatu. Ada ketidakpercayaan bahwa itu terjadi. Ada perasaan ragu-ragu apakah yang dikagumi telah berubah dari kenangan yang telah terbangun. Pun ketika didapati ada perubahan pada sosok yang dikagumi, pastilah proses penyangkalan terjadi: "Tidak, ia bukan orang yang kuanggap dulu aku kenal". Respon yang terlalu cepat terhadap kenangan kekaguman yang telah bertahun-tahun terbina tidaklah kemudian dalam waktu kurang dalam seminggu menjadi pemicu kegetiran dan kekecewaan. Kecuali memang ada yang salah dengan rasa kagum itu.
Kesan saya atas pembacaan terhadap 'Surat Terbuka untuk Tasniem Fauzia' ini saya torehkan dengan mengikuti struktur yang Mita pakai. Saya mengikuti struktur tersebut agar kesan saya ini dapat runtut mengikuti alur teks surat karangan Mita. Mita sendiri membagi surat terbuka karangannya menjadi beberapa bagian setelah pada bagian awal suratnya ia menceritakan sebuah prolog mengenai kekagumannya terhadap Tasniem Fauzia yang hancur gara-gara berbeda pandangan politik. Selepas prolog itu, Mita memulainya dengan 'sumpah jabatan Jokowi' dan seterusnya dan seterusnya.
Sumpah Jabatan Jokowi
Berbicara mengenai sumpah jabatan Jokowi menjadi gubernur Jakarta dan janji kepada rakyat Jakarta yang menjadi sorotan kritis Mita kepada Tasniem mungkin harus dicermati sekali lagi oleh Mita kalimat yang dituliskan Tasniem di dalam surat terbukanya.
Ketika Mita hanya menyorot kepada teks sumpah saja di dalam pelantikan Jokowi menjadi Gubernur DKI maka Mita telah melupakan bagian dari kampanye Jokowi yang berjanji -bukan bersumpah- kepada masyarakat Jakarta untuk menyelesaikan [atau membereskan] kerjanya untuk 5 tahun masa periode menjabat.
Menurut saya agak naif jika mengartikan janji 5 tahun mengemban tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta sebagai sebuah janji akan membuat [segala aspek di] Jakarta beres. Mengenai janji Jokowi kepada masyarakat Jakarta dapat Mita saksikan lewat video yang diunggah di YouTube ini.
Saya justru malah bertanya-tanya apakah Mita benar-benar membaca surat terbuka Tasniem.
Saya mungkin bisa memahami bagaimana Mita kurang cermat surat terbuka Tasniem sebab ia hanya menggunakan waktu empat hari di dalam merenungkan kekecewaan yang ia yakini ia dapati dari seseorang yang memiliki pandangan politik berbeda dengannya untuk kemudian menuliskan surat terbuka sebagai jawaban terhadap surat terbuka Tasniem. Namun jika diminta untuk menyimpulkan, jujur, saya masih belum memahami kekecewaannya.
Mengenai konstruk pemahaman Mita akan sejarah Prabowo di dalam kasus penculikan 1998, terlihat bahwa Mita menyimpulkan kasus itu belum selesai sebab penanggung jawab utama pada kasus itu dan narasi mengenai kasus itu juga simpang siur. Adakah Mita sudah membaca berbagai versi yang beredar mengenai kasus penculikan 1998? Jikapun Mita belum membaca berbagai versi yang beredar mengenai kisah itu seyogyanya Mita mulai membaca tulisan Pius Lustrilanang ini, atau memperhatikan pemaparan dari Prayudhi Azwar ini, atau misalnya juga merujuk kepada penyataan presiden kita lewat juru bicara kepresidenan Julian Pasha lewat berita ini. Jika Mita juga belum lega dengan narasi yang beredar mengenai kasus penculikan 1998, apalagi mengenai 13 orang yang hilang belum kembali, Mita bisa saja membaca pernyataan Andi Arief yang merupakan seorang aktivis 1998 dan juga kehilangan kawannya Widji Thukul lewat tautan ini.
Setelah membaca pernyataan, kisah, dan kesaksian tersebut semoga Mita dapat membantu penyebaran kekompleksan peristiwa 1998. Sejarah yang getir dan layak disematkan keyakinan bahwa ada intrik yang terlalu ruwet mengenai kisah pahit itu. Bahkan keruwetan mengenai pemberhentian dengan hormat atas diri Prabowo yang menjadi polemik juga telah dijelaskan oleh Marwah Daud Ibrahim lewat surat nomor 62/ABRI/1998 yang beritanya dapat disimak di sini.
Ditakuti vs Disegani
Membaca surat terbuka Mita mengenai pengamsalan memilih pemimpin dalam frame ditakuti atau yang disegani dengan merujuk kepada grup band The Moffats, band asing asal Kanada adalah menarik. Tambahan pula, Mita menggunakan argumen tambahan mengenai pemilihan pemimpin yang ditakuti atau yang disegani berdasar pengamatan dan penyimpulannya bahwa jaman sekarang adalah jaman yang ramah. Saya jadi bertanya-tanya ketika membaca surat terbuka Mita. Adakah ia menunjukkan definisi yang jelas pemimpin yang model apakah yang disegani itu?
Jikalau ia masih merasa bahwa dunia yang ia tinggali adalah dunia yang selalu damai dan semua masalah antarnegara selalu bisa diselesaikan dengan jalur diplomasi. Beruntunglah ia melihat keadaan seperti itu. Namun Mita menjadi tidak pas untuk melupakan bahwa perang masih sedang terjadi di bagian lain di dunia ini. Ini artinya di jaman sekarang permasalahan antarnegara masih saja ada yang menyelesaikannya lewat jalur perang bahkan di dalam konteks berdiplomasipun semangat kekeluargaan tidaklah cukup. Disadari atau tidak, diplomasi dilakukan oleh negara-negara di dunia dengan menggunakan pendekatan lobi, embargo, sadap menyadap, gertak sambal, dan kadang berdiplomasi sembari unjuk kekuatan perang. Mungkin terdengar tidak nyaman di telinga kita akan tetapi kadang keseganan timbul dari adanya posisi tawar yang berhasil diunjukkan.
Menyepadankan negara kita yang republik demokratis dan berdasar Pancasila dengan negara Korea Utara adalah sesuatu yang tidak dapat saya pahami. Sepanjang pengetahuan saya yang terbatas, Korea Utara adalah negara republik sosialis komunis. Pergantian kepala negara-nya saja terjadi lewat proses yang tidak demokratis. Mengenai ketidakmampuan PBB untuk masuk ke dalam Korea Utara adalah karena peran China sebagai penyokong utama pemerintahan Kim Jong Un di Korea Utara. Jikalau Mita tertarik untuk membaca mengenai kekompleksan kisah China dan peran PBB di Korea Utara maka silakan dibaca misalnya pada berita berikut ini.
Jadi jika hendak berkaca pada situasi dunia sekarang ini maka memilih pemimpin yang disegani karena paham bagaimana menaikkan posisi tawar yang dapat diunjukkan kepada negara lain dan paham geopolitik dunia adalah penting. Hal ini bukan berarti negara kita diarahkan untuk menjadi sebuah negara yang 'suka bikin rame' namun kompetensi tersebut harus dimiliki oleh pemimpin sebuah negara dengan kekayaan alam (potensi SDA) dan jumlah penduduk (potensi SDM) yang luar biasa ini.
Jokowi dan Bangsa Asing
Menuruti pemahaman terbatas saya mengenai diakui, disegani, dan menginspirasi maka fenomena Jokowi sebagaimana dilihat oleh Mita lewat pembelaan daftar 50 pemimpin terbaik di dunia adalah terasa tidak pas jikalau Mita menerima daftar itu tanpa mempertanyakan tolok ukur yang dipakai Fortune.
Ambil contoh Dalai Lama. Ia adalah pemimpin umat Budha Tibet dalam pengasingan. Dalai Lama terpaksa melarikan diri dari negaranya saat China 'menganeksasi' Tibet. Ia adalah pemimpin rakyat Tibet yang inspirasional dan kita tidak mungkin mengingkarinya. Namun masalahnya adalah pendekatan pasifis yang digunakan Dalai Lama terbukti kurang kuat di dalam mengimbangi kekuatan politik dan militer China. Tibet hingga kini masih saja di bawah kekuasaan China.
Kemudian jikalau hendak juga mengambil Bill Clinton sebagai teladan kepemimpinan maka ada sedikit dilema memang. Bill Clinton memang mantan presiden Amerika Serikat yang cerdas dan termasuk hebat di dalam kebijakan ekonominya. Akan tetapi perlu juga kita ketahui bahwa Bill Clinton adalah seorang presiden yang mengalami impeachment pada 19 Desember 1998 karena penyalahgunaan kekuasaan.
Lebih lanjut, saat Mita hendak merujuk Aung San Suu Kyi sebagai 50 pemimpin terbaik dunia di dalam majalah Fortune maka problem juga muncul. Suu Kyi harus diakui adalah pejuang dan pemimpin usaha demokratisasi di Myanmar yang memiliki daya tahan luar biasa. Anak jenderal militer Myanmar Aung San ini tabah di dalam menghadapi tekanan junta militer yang berkuasa di Myanmar. Ia wanita yang hebat. Meskipun demikian, Suu Kyi bukan tanpa cela. Suu Kyi terlihat tidak terlalu vokal ketika pembantaian terhadap muslim di Rohingya terjadi. Mita dapat merujuk kepada misalnya berita ini.
Jadi patut menjadi kekhawatiran kita bersama, sebagaimana Tasniem khawatir dan Mita-pun mungkin layak untuk khawatir, bagaimanakah memvalidasi tolok ukur pemimpin yang baik dan disegani ala majalah Fortune yang bukan menurut perspektif Barat?
Jokowi Mampu?
Saya agak berkernyit ketika membaca surat terbuka Mita mengenai penimbulan kesan bahwa Tasniem seolah-olah melihat bahwa Jokowi dipaksa oleh Megawati untuk menjadi capres tanpa rujukan yang jelas. Saya kemudian membaca ulang surat terbuka milik Tasniem yang ditujukan kepada Jokowi dan mendapati istilah yang dipakai oleh Tasniem adalah "pengaruh" dan "keterikatan yang sangat besar dengan beliau [Megawati]" serta dugaan Tasniem mengenai "beliau [Megawati] menyuruh Anda [Jokowi] sebagai capres" adalah kesimpulan yang dibangun oleh Tasniem setelah mencermati adanya 'perintah' Megawati kepada Jokowi sebagaimana dapat Mita baca dari berita Kompas tanggal 5 April ini. Adakah salah jikalau Tasniem melakukannya lewat to read between the lines?
Mengenai kompetensi kandidat lain di dalam memimpin yang disinggung oleh Mita, saya cenderung tidak sepakat. Bagaimana mungkin mantan perwira tinggi militer dianggap tidak memiliki kompetensi memimpin?
Blusukan Jokowi
Mengenai blusukan Jokowi saya tidak bersepakat pada surat terbuka Tasniem maupun Mita. Saya lebih suka merujuk kepada pendapat saya mengenai blusukan ini serupa respon saya atas surat balasan Achmad Room Fitrianto sebagaimana Mita bisa baca di sini.
Dana dan Kebocoran
Mengenai argumen Mita akan bagaimana Jokowi dan JK kelak akan memperoleh dana untuk semua program Jokowi-JK sudahlah tepat. Biarlah Jokowi dan JK menjelaskan bagaimana mereka akan memperoleh dana atas semua program yang dijanjikan ... yang hingga saat ini juga belum diungkapkan.
Menyinggung kesepakatan Mita mengenai adanya perdebatan mengenai kebocoran itu yang dikatakannya berasal dari klarifikasi Abraham Samad dan seakan-akan Mita mengarahkan perdebatan tentang kebocoran ini tidak ada kaitannya kecuali hanya dengan 'pengusaha yang tidak membayar pajak dan banyaknya produk impor yang masuk'. Padahal jikalau Mita benar-benar jeli membaca pernyataan Abraham Samad mengenai, okelah, potensi pendapatan yang bocor itu maka Mita akan mendapati bahwa Abraham Samad di Rakernas PDI Perjuangan di Hotel Ecopark, Ancol, Jakarta (7/9/2013) sebagaimana diberitakan oleh Kompas adalah juga terkait dengan hal-hal lain selain 'pengusaha yang tidak membayar pajak dan banyaknya produk impor yang masuk'.
Abraham Samad, di dalam berita ini, menyorot potensi pendapatan yang bocor ini juga meliputi kepemilikan 70% oleh asing 45 blok minyak dan gas yang ada di Indonesia. Bahkan Samad waktu itu mendorong nasionalisasi semua blok migas dan potensi sumber daya alam Indonesia. Angka potensi pendapatan yang bocor sebagaimana dikatakan Samad terkait dengan 'hanya' 45 blok migas yang ada saat itu adalah 7200 - 20.000 triliun. Perlu dicermati pula bahwa pada saat Samad menyatakan itu, ada rencana pembukaan 144 sumur migas yang baru di Indonesia. Oleh sebab itulah, angka potensi pendapatan yang bocor sebagaimana didengungkan oleh Prabowo-Hatta untuk bisa direngkuh adalah angka potensial yang moderat jika dibandingkan dengan angka fantastis Samad dengan hanya 45 blok migas.
Bertanya pada Hati Nurani dan Juga Akal
Sejujurnya saya terus menerus berkernyit dengan beberapa argumen yang diajukan Mita penggemar berat The Moffats lewat "Surat Terbuka untuk Tasniem" karangannya itu.
Penutup suratnya untuk Tasniem tersebut menampilkan kekhawatiran yang dinisbatkan kepada Tasniem padahal Tasniem tidak menyinggung tentang itu. Mita menganggap Tasniem 'mengkhawatiri' Jakarta dipimpin oleh Ahok padahal tidak tertulis hal demikian di dalam surat terbuka Tasniem untuk Jokowi.
Di dalam penutup suratnya untuk Tasniem, Mita kembali lagi mengulik kisah 13 orang aktivis yang masih hilang sebagai kesalahan Prabowo. Pun, Mita harus menyadari bahwa pelemparan tanggung jawab masih hilangnya 13 orang aktivis sebagai salah Prabowo adalah tidak berdasar karena dari kesaksian dan penuturan beberapa orang saksi hidup, 13 orang yang hilang tidak ada kaitannya dengan Tim Mawar di bawah komando Prabowo.
Saya sepakat dengan kepedulian Mita, dan juga Tasniem, mengenai masa depan bangsa ini sebagaimana tercermin di dalam korespondensi 'imajiner' mereka. Saya apresiatif terhadap kepedulian mereka mengenai kepada siapa bakal dijatuhkan pilihan yang pas untuk menjadi presiden.
Saya setuju bahwa bangsa ini butuh pemimpin yang tahu potensi kejayaannya. Benar bahwa bangsa ini rindu pemimpin yang mampu membawa bangsa ini disegani oleh bangsa-bangsa lain. Saya sepakat dengan Mita bahwa kita memang sedang 'bertaruh' mengenai masa depan anak cucu kita nanti. Namun ada beberapa hal yang tidak saya sepakati mengenai surat karangan Mita. Apakah ia menulis Surat Terbuka untuk Tasniem Fauzia dengan hati yang tidak emosional dan menggunakan akal?
Kesan saya terhadap Surat Terbuka karangan Mita atas Surat Terbuka Tasniem
Clayton, 3 Juli 2014
Dipa Nugraha
PS: Kesan ini boleh dibalas atau disanggah