Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Senja di Batas Kota

14 Juli 2012   05:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:58 167 2

gambar: http://3.bp.blogspot.com/-eB2lCLPe1so/TsKcOcbBp9I/AAAAAAAAAvU/cz1HAIBJZ_o/s320/Senja.jpg

Aku memandang seorang laki-laki tua yang sedang duduk di sebuah lincak reot di beranda rumah. Rasanya hatiku bergejolak. Amarah yang selama ini aku tahan sendiri sepertinya ingin menghambur keluar. Rasa benci yang luar biasa kembali memuncak, bahkan ingin rasanya aku pergi dari tempat itu segera mungkin. Tetapi entah ada sesuatu yang membuatku tidak mau beranjak dari kursi ini. Laki-laki tua yang ada di depanku itu tampak lesu, wajahnya kuyu. Ia tidak sesegar dan sesehat dulu, batinku. Pantaslah dia seperti itu! Batinku marah. Itulah karma yang dia terima, lanjutku dengan kesal masih berbicara dalam hati. Mata laki-laki itu menerawang jauh ke depan, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang berat. Wajahnya yang kurus menyiratkan dia seperti sedang depresi. Kuperhatikan terus dia tanpa membuatnya menyadari bahwa aku sedang memperhatikan dia. Dua detik kemudian, ada bayangan masa kecilku melintas di pikiranku. Aku teringat sekali bahwa laki-laki tua ini dulu sering menggendongku. Dia sering mengajakku jalan-jalan keliling malioboro di malam minggu. Dia juga dulu sering membelikan aku mainan dan pakaian. Rasanya menyenangkan waktu itu. Aku ingat betul dulu aku sangat mengagumi laki-laki ini. Buatku dia seperti seorang superhero dalam serial tv. Seseorang yang gagah dan baik hati. Bahkan dia lebih baik daripada ibuku, dia tidak pernah memarahiku. Cara yang selalu dia lakukan adalah menasihatiku secara baik-baik ketika aku baru saja melakukan kesalahan. Dia selalu membuatku nyaman dengan kata-kata dan sikapnya. Dia yang membuatku belajar untuk berpikir logis. Aku menyayanginya melebihi rasa sayangku pada ibuku sendiri. Tapi beberapa tahun kemudian, perasaan itu berubah menjadi kebencian. Bahkan mungkin kebencianku melebihi rasa benci ibuku terhadapnya. Ya, aku sangat membencinya. Tak ada alasan untukku untuk memaafkan laki-laki ini. Bahkan, aku bersumpah dalam hatiku tak akan sekalipun memaafkan dia. Laki-laki ini yang dulu adalah seorang superhero bagiku sekarang nampaknya menjadi seperti seorang penjahat yang telah melakukan perbuatan keji terhadap beberapa orang dan telah melukai perasaan mereka. Aku ingat betul, dalam beberapa momen laki-laki ini tak acuh padaku. Tidak serta merta menelantarkan aku, hanya saja untuk beberapa saat aku merasa tidak dianggap olehnya...

Aku bertanya-tanya dalam hati, apa aku harus benar-benar memaafkan laki-laki tua ini? Sebenarnya aku kasihan juga melihatnya duduk sendiri, tanpa teman bicara, dan kerjaannya hanya melamunkan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu dan tidak mau tahu sebenarnya. Tapi aku sendiri tidak sudi mengajaknya berbicara. Rasanya enggan untuk mengeluarkan suara.

Aku membencinya. Itu fakta yang saat ini aku tahu. Tapi dia adalah aya kandungku. Benar, itu fakta lain yang mau tidak mau aku harus mengakuinya. Ya, laki-laki itu adalah ayahku. Seorang ayah yang kehilangan kewibawaannya. Seorang ayah yang kehilangan arah dan bertindak serampangan. Seorang ayah yang tidak bisa memaknai arti kepercayaan yang sudah diberikan kepadanya. Seorang ayah yang benar-benar membuatku kecewa. Seorang ayah yang berubah dan kemudian hanya dalam beberapa detik saja dan untuk seterusnya dia menjadi seorang pembohong hebat. A BIG FAT LIAR! Seorang ayah yang membiarkan keluarganya menderita. Seorang ayah yang membuatku marah.. marah pada kenyataan bahwa aku mempunyai saudara lain yang tidak dilahirkan oleh ibuku sendiri! Yah, satu fakta lagi yang harus aku ingat betul.

Dulu mungkin dia bisa melakukan segalanya dengan mudah. Baginya, segala hal bisa dia lakukan. Sabotase, manipulasi, dan memalsu... Tapi rupanya dia tidak menyadari bahwa hidup itu tidak pernah sama... ada karma yang harus diterima atas setiap perbuatan. Sekarang semuanya menjadi rumit. Rumit buatnya dan berefek rumit pula buatku.

Aku menghela nafas panjang. Biarlah waktu yang menyelesaikan, batinku. Kemudian aku beranjak pergi meninggalkan dia yang masih terus melamun, memandang jauh matahari yang kian tenggelam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun