Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Pilihan

Layak

29 Januari 2015   16:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:09 66 0
Tulisan panjang-lebar ini merupakan makalah yang saya kirim kepada Panitia City Changer 2014. Informasinya, makalah ini lolos seleksi, tetapi panggilannya terlalu mendesak sehingga saya tidak dapat melanjutkan proses di ajang bergengsi itu.

Namun, apa yang saya tulis ini mudah-mudahan berguna untuk semua. Aamiin YRA.
MEWUJUDKAN PERMUKIMAN LAYAK HUNI BERKELANJUTAN SECARA PARTISIPATIF

Perubahan terjadi setiap saat, tanpa henti.
Barang siapa tidak berubah, maka akan tergilas oleh perubahan itu sendiri.

Change or Die
Sebagai bagian dari masyarakat yang berpenghasilan terbatas, hanya dari satu sumber yaitu gaji, maka pengendalian penggunaan penghasilan menjadi faktor penting dalam kehidupan. Mulai dari kebutuhan primer, skunder sampai tersier.

Salah satu kebutuhan primer yang saat ini banyak dilupakan para pegawai adalah papan. Kemudahan mendapatkan hunian dengan cara kontrak baik kamar ataupun rumah sering menjadi pilihan.

Alasan lainnya adalah bahwa membeli rumah sangatlah mahal, penghasilan yang ada tidak akan mencukupi dan sebagainya. Padahal, mereka yang berprinsip demikian biasanya mempunyai kendaraan pribadi mulai dari motor sampai roda empat yang harganya akan lebih tinggio dari satu unit rumah layak huni.

Alasan lainnya adalah bahwa dengan cara mengkontrak kamar atau rumah maka jika sudah bosan atau tidak betah maka bisa segera mencari lokasi yang lain. Selain itu, jika mempunyai rumah sendiri maka setiap tahun harus menyediakan anggaran untuk pemeliharaan yang tidak sedikit.

Ada juga yang selalu pindah rumah dengan cara kontrak karena alasan sudah mempunyai rumah di tempat tinggal mereka sebelumnya. Pembelian rumah di dekat tempat tugasnya hanya akan menjadi pemborosan, karena suatu saat akan ditinggalkan.

Pada dasarnya berbagai alasan dan pertimbangan yang diberikan mereka adalah benar adanya, masing-masing mempunyai pertimbangan matang dengan pertimbangan untung-rugi menurut versi masing-masing. Kami lebih condong mengatakan bahwa hal ini tidak lain dari efek domino kehidupan sebelumnya.

Seperti generasi sebelumnya yang harus melalui pendidikan di luar tempat tingal orangtua, maka kehidupan pelajar atau mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari kata tempat tinggal kontrak. Ada yang kontrak kamar, kontrak rumah beserta kawan-kawan ataupun hidup dalam asrama. Masyarakat menyebut mereka sebagai “kontraktor”.

Kepraktisan ini melekat sehingga ketika sudah mempunyai penghasilan tetap pun praktek sistem kontrak tempat tinggal terus dilakukan. Banyak alasan yang mendasari pemikiran mereka, tentu saja salah satunya adalah pengalaman hidup masa lampau.

Sesungguhnya harga yang dibayarkan untuk kontrak dan barang-barang fisik yang harus rusak saat penggantian tempat tinggal adalah sangat murah, bukti kebenaran prinsip yang dianut mereka. Tetapi, yang sangat mahal dan tidak dapat dinilai dengan uang adalah interaksi keluarga para “kontraktor” dengan lingkungannya. Ketika pindah rumah berarti pula ganti tetangga dan masyarakat permukiman secara keseluruhan dengan segala perilaku kehidupan yang tentu saja berbeda dengan tempat tinggal yang baru saja ditinggalkan. Tentu saja dampak terbesar adalah terhadap anak-anak, generasi yang semestinya bermasa depan lebih baik daripada kedua orangtuanya.

Dengan kata lain, jika hanya memandang bahwa manusia dalam kehidupan ini berhadapan dengan masalah fisik semata maka anggapan para “kontraktor” relatif benar. Tetapi jika melihat dari sisi makro, maka masalah sosial yang tidak dapat dibeli inilah yang sesungguhnya pengorbanan terbanyak dari mereka. Bahkan permasalahan fisik yang dianggap murah oleh mereka pun sering tidak benar adanya.

Kami termasuk orang yang sependapat dengan mereka di awal kehidupan berumahtangga, tetapi kami juga orang yang segera sadar bahwa pola pikir seperti itu harus segera berubah. Jika tidak berubah haluan maka sampai kapan pun kita tidak akan mempunyai tempat tinggal tetap. Padahal keluarga akan semakin besar, anak-anak bertambah banyak dan berbagai kebutuhan lainpun akan semakin membengkak.

Itulah sebabnya, kami termasuk orang yang sering bertukar pendapat dengan teman-teman yang muda, atau pegawai negeri yang baru saja diangkat, untuk hati-hati dalam menyikapi tawaran kredit dari berbagai bank. Sebab jika salah dalam perencanaan maka niat baik perbankan akan menjadi boomerang yang akan menjerat leher nasabahnya, yang hidup ketergantungan pada hutang.
Kepada mereka kami menyarakan agar mendahulukan tempat tinggal. Tentu saja rumah milik pribadi, baik dari orangtua ataupun membeli sendiri. Jangan sampai kita hidup dalam rumah sewaan, kasihan anak-anak dan masa depan kita sendiri. Oleh karena itu, jika hendak mengagunkan Surat Keputusan (SK) kepada bank maka jangan untuk kebutuhan konsumtif, tetapi pergunakan untuk memenuhi kebutuhan perumahan terlebih dahulu, baik untuk membeli rumah, uang muka kredit rumah ataupun renovasi rumah yang sudah ada.

Sebagai ilustrasi, kami menyampaikan pengalaman pribadi. Ketika tahun 2001 harus mengagunkan SK ke Ban Jabar untuk mendapatkan dana sejumlah Rp. 20 juta dengan masa hutang 5 tahun (60 bulan). Uang tersebut cukup untuk pembelian satu unit rumah type 21.

Setiap bulan gajipun dipotong untuk hutang pokok beserta bunga yang nilainya sama besar. Sebelum waktunya tiba, alhamdulillah ada rezeki, sehingga beberapa bulan sebelum bulan ke-60 dapat terlunasi. Tentu saja dengan pembayaran yang jumlahnya sama dengan kalau dicicil hingga 60 bulan sesuai perjanjian.

Pada tahun ke-lima itu pula, tetangga kami menjual rumahnya dengan harga yang 100% lebih tinggi daripada harga pembelian kami lima tahun sebelumnya. Harga yang tinggi itu ternyata sama saja dengan besarnya uang cicilan pokok dan bunga yang kami bayarkan ke bank Jabar. Walaupun hutangnya semula hanya Rp. 20 juta tetapi selama lima tahun itu kami membayar Rp. 40 juta.

Dengan kata lain, kami beruntung sekali dibantu oleh bank, bisa mempunyai rumah pribadi sejak lima tahun yang lalu. Ketika harga masih Rp. 20 juta, sekalipun kami harus membayar Rp. 20 juta tetapi rumah tersebut adalah milik pribadi kami dan harganya saat itu sudah naik menjadi Rp. 40 juta juga.

Kami membandingkan dengan rekan sekerja yang menggunakan uang pinjaman untuk membeli kendaraan roda empat yang saat itu dibanggakannya. Pada tahun kelima beliau harus menyekolahkan SK-nya untuk pinjaman berikutnya dalam rangka memenuhi kebutuhan lainnya, termasuk uang muka rumah. Kerugian lainnya adalah bahwa harga mobil yang dulu dibelinya dengan harga Rp. 20 juta sudah sangat usang dan ditawar tidak jauh dari separuh harga sebelumnya.
Padahal untuk tetap berkendara dengan mobil yang layak pakai, beberapa juta dikeluarkan untuk perbaikan kendaraan.

Sementara kami dan keluarga, jika ada dana lebihan maka akan digunakan untuk memoles rumah mungil itu secara bertahap sehingga enak ditempati. Bahkan, tanpa disangka-sangka, rumah kami tumbuh sampai belakang. Kebetulan pemilik lama melepas dengan harga yang sesuai, sehingga kami dengan bangga menggabungkan kedua rumah mungil kami menjadi kelihatan sangat luas.
Kami semakin sadar bahwa anggapan orangtua dulu sangatlah benar, kalau mau investasi maka belilah tanah. Harga tanah tidak akan berkurang, makin tinggi setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan permukiman. Pola pikir yang terbentuk oleh efek domino kehidupan masa lalu sudah waktunya dirubah, kembali ke pola pikir masa lalu yang sebelumnya banyak disepelekan. Pola pikir yang menganggap pendapat orangtua zaman dulu adalah kuno pun harus dirubah, banyak pelajaran dari pendahulu yang tidak pernah usang.

Alhamdulillah, beberapa orang mengikuti saran kami dan mengucapkan terimakasih beberapa tahun sebelumnya. Jika saja terlambat membeli rumah maka tidak akan pernah terbeli karena selain harga rumah dan tanah yang terus meroket, kebutuhan harian pun tidak pernah berkurang.

Semakin hari, harga tanah dan biaya pembangunan rumah makin tinggi. Kenyamanan lokasi pun menentukan kocek yang harus dirogoh. Tidak mengherankan kalau biaya yang diperlukan untuk sebuah rumah idamanpun semakin melangit.

Jika kita masih berkutat hidup dalam efek domino masa belajar, tidak memikirkan untuk memiliki tempat tinggal sejak awal maka kita akan mati tergerus oleh perubahan harga perumahan yang terus berubah. Dengan kata lain, tidak pernah akan memiliki tempat tinggal.

Hunian Layak Huni
Sekalipun banyak anggapan bahwa dengan mengontrak maka kita dapat memilih tempat tinggal sesuai dengan harapan, namun tetap dalam keterbatasan. Keterbatasan utama adalah tidak bisa berekspresi secara bebas menjadikan rumah yang ditinggali untuk layak ditinggali sesuai keinginan hati. Bukan rahasia pula kalau hidup sebagai pengontrak rumah selalu dihinggapi rasa was-was saat menjelang akhir masa kontrak.

Selain itu, di balik murahnya sewa dan kontrak ada biaya tak terhitung yang sebenarnya sangat tinggi. Misalnya rasa was-was seperti disebutkan di atas, juga barang dan perabotan yang harus rusak atau terbuang karena proses pindah rumah yang tidak mudah.

Berbeda sekali jika rumah tersebut adalah milik pribadi, bukan hanya bebas dalam mengiisi rumah yang ditinggali tetapi juga dalam menjadikan nuansa rumah sesuka hati. Sebab kunci kelayakan sebuah rumah sesungguhnya bukan terletak pada luasannya, bukan juga kemahalan harga rumahnya, apalagi keindahan arsitekturnya, juga kemewahan perabot yang menghiasi dan berbagai keunggulan yang sering ditawarkan lainnya, tetapi terletak pada susasana hati para penghuninya.

Untuk mencapai kelayakan seperti dikemukakan di atas maka terdapat faktor internal yang menentukan dan faktor eksternal yang melengkapi. Faktor internal diantaranya adalah penghuni dan rumah itu sendiri. Sementara lingkungan tempat tinggal baik makhluk hidup ataupun benda mati merupakan faktor eksternal. Kelayakan sebuah rumah hanya akan tercapai jika terdapat keseimbangan antara kedua faktor tersebut.

Oleh karena itu, sebuah hunian dalam permukiman masyarakat yang dapat mendamaikan hati penghuninya hanya akan tercapai jika kedua faktor tersebut di atas terpenuhi. Oleh karena itu komunikasi antara faktor internal dan eksternal menjadi penentu tercapainya harapan tersebut.
Faktor terpenting untuk tercapainya rumah layak huni adalah segeranya ada keputusan untuk memiliki rumah sendiri secepat mungkin. Soal luasan dan keindahan dapat direncanakan dengan sistem rumah bertumbuh. Rumah kecil dapat direnovasi secara bertahap dan terencana sehingga menjadi hunian yang layak.

Hanya setelah keputusan menetap diambil maka berbagai tindakan untuk menuju permukiman yang layak dapat dipikirkan, mulai dari keluarga sendiri, tetangga kiri-kanan dan para penghuni permukiman lainnya secara bersama-sama. Ketika kita hanya hidup sebagai “kontraktor” maka sebaik apapun ide untuk kelayakan permukiman bersama akan diabaikan orang lain atau bahkan mencadi cemoohan belaka.

Mewujudkan Permukiman Layak Huni
Sebagai makhluk sosial maka setiap manusia tidak akan bisa hidup sendirian. Semua saling tergantung kepada manusia lain. Demikian halnya penghuni sebuah permukiman maka dalam kehidupannya tidak akan bisa terlepas dari masyarakat penghuni permukiman lainnya.

Termasuk di dalamnya adalah ketergantungan diantara penghuni rumah itu sendiri. Kami menyebutnya sebagai faktor internal, karena segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dimulai dari dalam rumah yang dihuni secara bersama-sama. Dalam sebuah rumah dapat dihuni oleh anggota rumahtangga yang secara hukum dipimpin satu Kepala Keluarga, mungkin juga ada anggota keluarga lain atau bahkan rumahtangga dengan Kepala Rumah tangga yang lain. Tetapi bagaimanapun status penghuni rumah secara hukum maka segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dengan masyarakat permukiman berasal dari rumah yang kita huni, satu rumahtangga atau pada kasus tertentu keseluruhan penghuni rumah.

Kita tidak bisa berharap terlalu banyak dari masyarakat sekitar untuk berbuat sesuatu yang dapat menjadikan rumah dan permukiman tempat tinggal kita nyaman, jika tidak dimulai dari unsur terkecil yang paling dekat dengan kita, yaitu rumah kita sendiri. Tanpa memulai dari perilaku yang ada di rumah sendiri, harapan kita bukan hanya tidak akan diabaikan para tetangga tetapi bisa menjadi bahan gunjingan dan cemoohan.

Tempat tinggal kami termasuk permukiman yang sering disebut kompleks. Mungkin karena berlatarbelakang warganya sangat kompleks, ada petani, nelayan, pegawai negeri, tentara, polisi, pengusaha, wiraswastawan, wartawan dan lain-lain termasuk pengangguran. Belum lagi dilihat dari sisi pendidikan, tentu sangat beraneka, ada yang doktor, dokter sampai yang tidak kenal tulis baca. Latar belakang kehidupan mereka sebelum menghuni kompleks kami tentu lebih beranekaragam lagi.

Bukan rahasia lagi kalau kehidupan di kompleks adalah kehidupan yang teramat kompleks. Suasana panas sering timbul akibat perilaku penghuni lain, bukan hanya yang tidak menyenangkan, yang menyenangkan pun bisa jadi pemicu untuk hidup makin kompleks. Kalau perilaku tidak menyenangkan tidak perlu dibahas karena memang dimanapun berada aksi seperti ini pasti akan merugikan orang lain dan tidak sedikit mendapatkan reaksi untuk mematahkannya.

Kebahagiaan penghuni kompleks tidak selalu membanggakan para tetangganya, bahkan menjadikan warga permukiman yang lain sakit hati. Misalnya salah seorang tetangga membeli kursi tamu baru, maka tetangga lainnya tidak sedikit yang menggunjingkan, menyebutnya sebagai tukang pamer sampai menuduh mereka mendapatkan penghasilan yang tidak baik seperti mencuri sampai korupsi. Tentu tidak semua begitu, ada juga yang diam-diam mengurut dada, meminta kepada keluarga untuk membelikan barang yang sama atau bahkan lebih baik daripada yang dibeli tetangganya.

Ketika ada penghuni permukiman lain mendapat rezeki, bisa merenovasi rumah, maka banyak tetangga yang berpura-pura bolak-balik sampai pura-pura bertanya-tanya sebagai bahan masukan untuk dibicarakan dengan tetangga lainnya. Sumber dana tentu jadi pokok permasalahan utama, tentu saja dari sisi sudut pandang mereka yang lebih banyak negatifnya. Ada juga yang hanya diam, surat kalengnya tiba-tiba sampai ke lembaga perizinan. Petugas IMB tiba-tiba datang dan menghentikan kegiatan pembangunan yang mengubah bentuk asli perumahan. Kalau sudah demikian, banyak yang hatinya kembali lega lengkap dengan pembicaraan yang beraneka.

Itulah sebabnya, banyak rekan kantor yang tidak mau hidup di permukiman bernama kompleks yang dinilainya sebagai tempat tinggal yang penuh persaingan dengan tetangga. Mereka memilih hidup di perkampungan bersama masyarakat yang dimata mereka sangat nyaman. Walaupun sesungguhnya, kehidupan di perkampungan pun sekarang sudah sangat berubah. Bukan hanya kepadatannya yang lebih tidak teratur daripada kompleks tetapi juga masalah sosialnya.

Anggapan bahwa mereka masih “guyub” sudah sulit ditemui kecuali para acara kematian dan pernikahan. Demikian juga kegotongroyongan, mereka pun menganggap penghasilan berupa materi harus mengiringi tenaga yang dikeluarkan. Soal iri hati dengan tetangga, pada beberapa permukiman masyarakat perkampungan ternyata lebih parah daripada kompleks kami. Mungkin tergantung pada latar belakang para penghuni permukiman itu sendiri. Dengan kata lain, antara kompleks perumahan dan permukiman perkampungan ternyata sama, tergantung sikap kita dalam menghadapi suasana kehidupan permukiman secara makro.

Sebagai salah satu warga kompleks yang hidup diantara para tetangga yang demikian beraneka, kami pun mendapatkan pengalaman yang demikian. Ketika rumah kami masih sesempit rumah siput, kumuh dan muram, mereka dengan enaknya membuang bangkai sampai membakar sampai di depan rumah kami. Ada juga yang langganan menjemur kasur anaknya yang masih ngompol tepat di pintu pagar bambu kami. Pada saat mulai direnovasi, menyiasati kesempitanlahan dengan meninggikannya maka berbagai ucapan nyinyir bertaburan. Mulai dari menggasak uang kantor sampai berburu kekayaan dengan bersekutu dengan setan yang dalam bahsa kami disebut “nyupang”. Dengan modal anggapan yang terakhir maka masing-masing harus hati-hati, jangan-jangan ada anggota keluarganya yang nanti jadi tumbal.

Demikian juga ketika kami harus menghemat biaya transportasi ke kantor dengan mencicil motor. Ada saja pengetahuan yang dibagi mereka, tentang beda nomor polisi motor kredit dan motor yang dibeli lunas misalnya. Kalau soal yang berkataannya macam-macam memang sudah biasa. Kami hanya bersyukur bahwa setelah kami mampu kredit motor, beberapa tetangga membeli kendaraan yang lebih baik, dari motor sampai yang roda empat.

Jika menengok ke masa lampau, ketika kendaraan kami masih si doyok Honda 70, para ibu yangberkumpul di warung sering menyambut kedatangan kami dengan saling bisik. Kadang ada anak kecil yang berujar tak terkendali, “Traktor datang!”

Saat kami membeli perabot rumah tangga, maka pengantar sering kebingungan tidak tahu harus kemana mengantar. Beberapa kali bertanya kepada anggota masyarakat yang ada tetapi tidak memberikan keterangan yang jelas tentang alamat yang dituju. Padahal sudah ada sangat dekat dengan rumah kami, mereka pun kenal baik dan sehari-hari selalu baik-baik dengan kami. Sedah tidak malu lagi mereka terrus berbincang di depan warung tetangga ketika pengantar barang menemukan rumah kami yang tidak dikenal mereka.

Bukan hanya soal isi rumah, permasalahan juga muncul di tanah yang semula direncanakan pengembang untuk fasilitas umum, khusunya yang tepat berada di depan rumah kami. Ketika kami urug dengan tanah Lembang dan ditanami dengan bunga, mereka rabut. Diganti dengan pohon mangga juga dicabut dan digilas dengan roda kendaraan. Ketika tidak kami tanami maka tersiarlah ke semua tetangga bahwa tanah di depan rumah itu diterlantarkan oleh orang yang semestinya mengurus tanah kosong itu.

Bukan hanya sampai disitu, sebagai orang yang peduli lingkungan, mereka tanami tanah kosong itu dengan beraneka pohon yang tidak jauh berbeda dengan yang kami tanam dulu. Bedanya, lengkap dengan makian dan cacian yang diberikan kepada siapapun yang lewat ketika mereka beraktivitas. Bahkan di tanah untuk fasilitas umum itu, mereka pun mempersembahkan tempat sampah permanen tepat di depan pintu keluar rumah kami.

Soal tempat sampah ini, kami pernah menuliskannya di kompasiana.com tanggal 15 November 2010 dengan judul Rumah Bertempat Sampah Terbanyak di Dunia.
http://green.kompasiana.com/polusi/2010/11/15/rumah-bertempat-sampah-terbanyak-di-dunia-319119.html

Demikian juga berbagai hal yang kelihatannya biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa bagi para tetangga penghuni permukiman. Tentu saja tidak hanya berlaku untuk keluarga kami, keluarga penghuni rumah yang lain pun mengalami hal kompleks yang luar biasa ini. Sebuah konsekuensi logis dari penghuni rumah milik sendiri. Bagi yang hanya kontrak? Tentu permasalahannya lebih kompleks dan bertubi-tubi lagi.

Sadar akan sangat kompleksnya permasalahan hidup di permukiman kami, maka kami sekeluarga sepakat untuk memulai dari keluarga kami sendiri. Misalnya, mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan kepada kami dan semua orang khususnya penghuni kompleks tempat kami tinggal. Selalu berpikir positif akan rezeki para tetangga dan mensyukuri, jika ada tetangga membeli mobil misalnya, tidak perlu berpikir lain-lain tetapi mensyukuri kebahagiaan tetangga dan siapa tahu suatu saat kita membutuhkan dapat pinjaman kendaraan.

Dengan berpikir positif maka anggapan beberapa rekan yang memilih hidup di perkampungan tadi terpatahkan. Bukan hanya itu, dengan syukur dan do’a yang terpanjatkan ketika mendapat rezeki pribadi ataupun para tetangga maka hati terbebas dari iri, dengki dan sakit hati yang akan berdampak pada munculnya berbagai penyakit lainnya. Insya Allah, rezeki dari Yang Maha Kuasa juga seiring dengan pikiran positif dan perbuatan baik kita. Aamiin YRA.

Kamipun sepakat untuk tidak meladeni aksi yang menyakitkan hati dengan reaksi yang hanya akan membuat hati lebih sakit. Semisal tentang tetangga yang membuat tempat sampah tetap depan rumah kami, bahkan mereka mengubur beberapa binatang kekamingannya di dekat tempat sampah itu. Kami menaggapi pancingan nafsu jelek tetangga itu dengan membuat pagar yang cukup menutup pandangan rumah kami ke tempat sampah penuh lalat itu. Soal bau, ya, namanya sampah pasti bau, dan yang merasakan tentu bukan hanya kami tetapi juga beberapa tetangga lainnya termasuk yang membuang sampah di sana.

Reaksi kami atas tempat sampah tersebut lainnya adalah kami tidak membuang sampah di tempat sampah tersebut. Jika kami membuang sampah disana tentu akan ada rekasi dari pemilik tempat sampah tersebut, juga akan menabur benih bau sampah dan ikutannya dari para tetangga yang lain yang menganggap bahwa tempat sampah tersbut adalah milik umum. Tentu saja yang paling rugi adalah kami sekeluarga sebagai penerima dampak negatif dari berdirinya tempat sampah di depan rumah kami. Apalagi tukang sampah hanya mengangkut sampah seminggu sekali Itupun kalau tidak ada halangan, sudah beberapa kali sampah bertumpuk hingga hitungan bulan.

Kami membuang sampah rumahtangga kami ke Tempat Penampungan Sampah (TPS) yang didirikan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Indramayu. Letaknyalumayang jauh, tepat di gerbang masuk/keluar permukiman kami. Satu atau dua plastik kresek sampah kami buang setiap harinya, sangat mudah, sambil berangkat kerja pun bisa.

Dua tahun lalu dan sebelumnya, sungguh perbuatan kami itu adalah sesuatu yang langka. Warga permukiman selalu tergantung pada pengangkut sampah umum yang dibayar dengan iuran bulanan. Mungkin malu atau gengsi menjinjing sampah yang dianggapnya bukan pekerjaan yang pantas bagi penghuni permukiman. Selama beberapa tahun, kami hanyalah satu-satunya orang yang tidak tahu malu mengerjakan yang hanya dilakukan tukang sampah.

Alhamdulillah, satu demi satu warga mulai melihat apa yang kami lakukan tanpa malu ini sebagai kegiatan positif. Kemudian mengikutinya, membawa sampah sambil keluar kompleks. Makin hari, makin banyak yang mengikuti jejak kami. Sungguh kami tidak mentasbihkan bahwa mereka meniru perbuatan kami, mungkin ada yang terkesima oleh iklan obat peluruh perut yang menyatakan kejelekan orang yang menyimpan sampah di perut, atau merasakan sendiri betapa terganggunya oleh bau sampah yang tidak diangkut tukang sampah di depan rumahnya, atau banyak sebab lainnya.

Pengendaraan roda dua tidak malu lagi menggelantungkan sampah di setang kirinya. Ada juga yang menyimpan plastik kresek sembunyi di balik bemper sepeda motornya. Kadang kami bertemu dengan mobil mewah yang diparkir dekat TPS, pemiliknya menjinjing kantong plastik dan membuang sampah yang dibawanya dari rumah.

Sekalipun kami selalu membuang sendiri sampah rumahtangga ke TPS, namun kami tidak pernah menunggak membayar iuran bulanan untuk tukang sampah. Supaya tidak merepotkan, kami membayarnya enam bulan sekali. Jika tukang sampah memungut THR (Tunjangan Hari Raya) pun kami tidak menolaknya. Mereka adalah orang yang tetap berjasa kepada keluarga kami, mengurangi dampak sampah yang bertumpuk di depan rumah sebagian penghuni permukiman kami.

Drainase yang ada di depan rumah dan belakang rumah kami rawat dan perbaiki. Pengembang permukiman kami ternyata sudah membuat drainase yang cukup memadai tetapi para penghuninya yang tidak merawat atau bahkan mengalihfungsikjan drainase menjadi bagian dari rumahnya sehingga ketika musim hujan datang maka permasalahan banjir air kotor selalu jadi agenda harian.

Tentu saja dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu, misalnya ketika merenovasi rumah maka bukan hanya memperbaiki rumah tetapi juga menormalkan drainase. Kebetulan rumah kami diapit oleh drainase, depan dan belakang. Keduanya kami kembalikan kepada posisi semula, sesuai dengan perencanaan pengembang yang kami nilai sudah sangat baik.

Air drainase kami yang tidak pernah kering semula hitam dan kotor, kami manfaatkan untuk menyiram tanaman. Taman kecil kami penuh dengan bunga, juga tanaman buah seperti mangga dan jambu. Air drainase menjadi pupuk organik yang sangat bermanfaat menyuburkan tanaman. Drainase yang semula berisi air hitampun berangsur bersih, airnya semakin tampak cerah.

Lagi-lagi, hal inipun awalnya kami lakukan sendiri. Banyak yang melihat apa yang kami perbuat sebagai sesuatu yang tidak pantas dilakukan penghuni permukiman bernama kompleks. Mengangkat lumpur dan kotoran dari drainase untuk menyuburkan tanaman, menyiramnya dengan air kotor pula. Tetapi kami terus lakukan itu dengan alat yang sangat sederhana dan mudah dibuat sendiri, serok yang terbuat dari kaleng bekas cat dan juga kaleng susu.

Setelah beberapa tahun berjalan, akhirnya ada juga tetangga yang mengikuti apa yang kami lakukan. Serok yang digunakan dibelinya di pasar, tidak cukup kuat dan kokoh sehingga mudah rusak. Tetapi rupanya manfaat dari menguras drainase telah dirasakan, sehingga tetangga kami itu pun tidak malu meminjam serok kami. Kami pun membiarkan serok kami diluar rumah sehingga akan dengan mudah apabila ada yang mau memakainya.

Sampai pada suatu hari, serok milik kami tidak ada di tempatnya. Setelah ditunggu beberapa hari ternyata tidak juga kembali. Daripada berpikir yang tidak-tidak, lebih baik membuat serok yang baru lagi. Menganggap serok yang hilang sebagai bagian dari berhasilnya tindakan kami memasyarakatkan pengurasan drainase.

Benar saja, saat ini banyak yang menguras drainase. Bukan hanya untuk menyiram tanaman seperti kami tetapi juga menyiram jalan agar tidak berdebu dan terasa panas di siang hari. Air drainase pun tampak semakin cerah dan bersih, tidak lagi hitam dan bau tidak sedap.

Sebagaimana permukiman lain, masalah keamanan menjadi permasalahan tersendiri. Apalagi sebagian besar rumah harus ditinggal penghuninya di siang hari. Pencurian burung berkicau, barang-barang milik penghuni hingga kendaraan bermotor selalu menghantui. Padahal pintu keluar permukiman kami hanya satu. Sisi kiri kanan dan belakang adalah sawah dan tambak. Secara logika, permukiman kami relatif aman.

Tetapi kenyataannya sering berbalik, maling lari ke sawah dan bersembunyi di semak-semak. Pencuri motor dengan lihainya mengendarai barang curiannya meliak-liuk di tepian tambak. Tidak akan terkejar oleh mereka yang tidak terbiasa mengendarai motor di jalan sempit dan sulit dilalui itu.
Rumah seorang perwira polisi pun tidak luput dari aksi pintar para pencuri. Seorang pencuri berhasil masuk rumah ketika pengayom masyarakat dan keluarganya lengkap itu berada dalam rumah. Barang-barang kecil seperti hand phone dan DVD player pun digasak dengan mudahnya. Setelah pencuri pergi, penghuni rumah pun sadar bahwa beberapa barang miliknya diamankan orang. Sementara pencuri dengan mudahnya hilang seperti halnya barang-barang milik perwira polisi itu.

Sepeda anak-anak pun sering hilang, kadang pencurinya dengan amannya mengendarai hasil curiannya melalui satu-satunya jalan yang menghubungkan permukiman kami dengan dunia luar. Beberapa diantaranya sebenarnya tidak berniat jahat, hanya mengamen, tetapi ketika ada kesempatan maka sepeda anak kecilpun segera dibawanya dengan aman.

Pernah suatu malam kami dikejutkan oleh adanya beberapa orang yang naik ke atap kami. Ternyata beberapa polisi yang mendapat informasi adanya maling yang lari ke loteng kami. Beruntunglah maling itu tidak ada disana, kalau ada, tentu kami yang tidak tahu apa-apapun akan ikut direpotkan untuk mengurus perkara.

Di siang bolong pun seorang maling dengan pintarnya beraksi, sebuah motor baru yang diparkir di depan rumah diamankannya dengan mudahnya. Tidak ada yang curiga, tetangga lain menganggap laki-laki yang duduk-duduk di rumah itu sebagai tamu yang menunggu tuan rumah.

Pada kesempatan lain sebuah kendaraan roda empat pun ada yang menjebol dan mencurinya. Sungguh semaakin komplekslah permasalahan di permukiman kami. Jauh dari rasa aman dan tenteram sebagaimana diharapkan semua penghuni.

Masalah keamanan tentu saja tidak dapat kami lakukan sendiri, perlu kerjasama dengan semua pihak, termasuk Ketua RT dan RW. Rumah kami diberi penerangan yang cukup baik di lantai bawah maupun atas, termasuk di bagian atap. Pintu dan jendela berteralis. Khusus teralis pintu dilengkapi dengan kasa nyamuk, sehingga bukan saja sebagai pengaman dari pencurian tetapi juga menjadi ruang masuknya udara segar tanpa diikuti nyamuk dan serangga. Pagar depan dan pagar belakang pun dibuat tinggi tanpa menutupi pandangan dengan tetangga.

Sementara untuk kepentingan keamanan bersama, kami hanya menyarankan kepada Ketua RW untuk memikirkan dan mendiskusikan cara menjaga keamanan seluruh penghuni permukiman. Sedah sejak lama di kompleks kami ada pos keamanan yang sejak lama tidak pernah dipakai, juga pos kecil yang menjadi pangkalan tukang becak. Satu lagi adalah pos yang dibuat Ketua RW di depan rumahnya untuk kepentingan keluarga.

Alhamdulillah, tidak berapa lama keinginan itu terwujud. Rumah Ketua RW yang terletak di depan jalan masuk/keluar permukiman diberi portal. Sementara pos pribadi dijadikan pos keamanan bersama. Sementara untuk petugas keamanan diangkatlah dua orang Satuan Pengaman yang dibayar dari iuran bulanan.

Tentu saja Ketua RW berkorban lebih, memberikan konsumsi harian kepada petugas keamanan dan beberapa orang warga yang ikut menghabiskan malam di pos keamanan. Imbalannya pun tidak sedikit, keamanan dijaga penuh setiap saat. Para penghuni permukiman yang lain merasakan keamanan yang diidamkan.

Saat ini kami sedang berpikir tentang pemecahan bersama untuk mengatasi banjir yang beberapa bulan yang lalu terjadi. Permukiman kami digenangi air setinggi lutut hingga satu meter sampai dua minggu lamanya. Tidak ada rumah yang bebas banjir, kalau ada yang tidak kemasukan air hanyalah rumah kami yang lantainya kami tinggikan hampir satu meter dari posisi semula. Tetapi kamipun terkena dampaknya, kendaraan tidak bisa dengan mudah keluar, pulang-pergi kantor harus nyokor atau menggunakan sepatu boat tinggi.

Setelah banjir usai, beberapa warga yang masih trauma mengatasi permasalahan sendiri-sendiri. Meninggikan jalan di depan rumahnya masing-masing. Sebuah tindakan yang bagus tetapi penuh emosional sehingga mereka menyelesaikan masalah dengan tindakan yang akan mengantarkan mereka ke masalah baru.

Tentu saja kami tidak bisa mencegah ataupun bertukar pikiran dengan mereka yang masih trauma direndam air bah. Sebuah kejadian yang sebenarnya tidak pernah terjadi sebelumnya, bahkan selama 15 tahun kami menghuni permukiman tersebut baru kali ini terjadi. Biasanya hanya banjir kalau hujan lebat dan segera hilang dalam hitungan menit.

Banyak warga yang meninggikan jalan di depan rumanya, ada yang 10 cm ada juga yang lebih tinggi dari 20 cm. Diantara jalan yang sudah tinggi, ada beberapa yang tidak mau atau belum meninggikan jalan sehingga menjadi permasalahan ketika melalui jalan tersebut dengan kendaraan, khususnya roda empat. Permasalahan lain pun segera terjadi ketika hujan turun, rumah warga yang posisinya lebih rendah dari jalan menjadi tempat terbaik untuk air menggenang.

Banjir yang biasanya hanya beberapa menit di depan rumah berpindah ke dalam rumah warga dengan durasi surut lebih lama dan resiko kerugian lebih banyak. Rumah harus dibersihkan dari sisa banjir yang membawa air selokan dan berbagai kotorannya, perabot rumahtangga pun banyak yang rusak dan tidak bisa terpakai lagi. Terbukti bahwa cara mengatasi masalah dalam keadaan trauma dan emosional serta individual dan egois hanya membuat masalah baru dengan dampak lebih negatif tinggi.

Sangat beruntung bahwa ketika banjir bandang terjadi, kami yang mengamati arus air selama dua minggu betah bermukin di permukiman kami. Tanpa basa-basi dan banyak cerita kami menyampaikan temuan sederhana tersebut kepada Kepala Dinas Pengairan, Sumber Daya Air, Pertambangan dan Lingkungan Hidup. Tidak berapa lama sungai yang sudah beberapa tahun tidak mengalirkan air yang menjadi sebab banjir bandang pun dikeruk, rumah-rumah liar di pinggir kali digusur, bahkan rumah yang didirikan di atas sungai dibongkar paksa.

Sungai mati itupun sekarang bukan hanya bisa menampung air hujan tetapi juga bisa dimanfaatkan para petani tambak untuk mengalirkan air payau menuju tambak udang dan bandengnya.
Permukiman kami saat ini relatif layak sebagai tempat tinggal, keamanan dan kenyamanan lebih baik daripada beberapa tahun sebelumnya. Warga bisa dengan tenang meninggalkan rumahnya untuk bekerja, pada malam haripun bisa tidur nyenyak tanpa khawatir terganggu oleh orang yang berniat jahat.

Pengamen yang berani menjual suaranya kepada warga permukiman pun makin berkurang. Demikian juga para pemulung baik yang mengais tempat sampah ataupun yang membeli besi dan plastik dari para penghuni.

Berkurangnya pengamen berkaitan dengan penjagaan di pintu depan yang membuat nyali mereka yang kadang tergoda berbuat nekat menciut. Sementara sebagai dampak banyaknya warga kompleks yang membuang sampahnya langsung ke TPS adalah banyaknya tempat sampah rumah yang kosong, sehingga para pemulung sering kecewa harus jauh-jauh berjalan mengais sampah tanpa hasil. Saat ini mereka lebih nyaman mencari rezeki cukup sampai pintu gerbang permukiman, di TPS. Para pembeli besi dan plastik pun berkurang, tanpa bermaksud menuduh, entah mengapa berkurangnya lalu-lintas mereka ternyata berhubungan dengan raibnya water-mater dan kWh-meter di permukiman kami.

Permasalahan Permukiman
Saat ini proyek perumahan berkembang pesat di sekitar Kota Indramayu. Disisis lain, perkampungan pun tumbuh dengan tidak kalah cepatnya. Lahan sawah produktif secara bertahap ditimbun dengan tanah urug, tidak lama kemudian terbangunlah rumah-rumah siap huni. Ada juga pemilik lahan sawah yang menjual sebagai lahan siap bangun. Permukiman di perkampungan masyarakatpun bukan hanya semakin padat. Penguninya tidak lagi seperti perkampungan tradisional yang saling mempunyai hubungan kekerabatan.

Pengembang perumahan dengan berbagai cara, terutama menawarkan rumah yang bukan hanya relatif murah tetapi juga dengan jaminan kenyamanan bagi penghuninya. Tawaran utama yang dijanjikan pengembang umumnya adalah memproklamirkan permukiman yang ditawarkan adalah bebas banjir. Hal ini dibuktikan dengan pengurugan yang cukup tinggi agar bangunan lebih tinggi daripada jala/n terdekat.

Bagi permukiman yang berada di dekat permukiman sebelumnya maka sudah menjadi rahasia umum kalau sebuah pengembang baru cenderung meninggikan lantai rumah yang direncanakannya lebih tinggi daripada perumahan yang sudah ada sebelumnya. Bukan hanya untuk menjegah terjadinya banjir ketika musim hujan tetapi juga meninggikan nilai tawar kepada calon konsumen.
Persaingan tidak sehat ini tentu saja suatu saat akan menjadi sumber konflik berkepanjangan diantara penghuni perumahan setelah ditinggalkan oleh pengembangnya. Sementara di perkampungan yang dihuni oleh masyarakat dengan berbagai latarbelakang berbeda pun menuai permasalahan sosial baru.

Dengan gambaran keadaan di atas maka beberapa permasalahan permukiman yang mendesak untuk diselesaikan di Kota Indramayu antara lain adalah :

1. Banjir
Ketinggian Kota Indramayu berkisar antara 0 – 1 m dpl. Dengan posisi topografi yang demikian maka tidak mengherankan kalau banjir merupakan faktor penting yang harus segera diatasi. Pengembang perumahan pun berlomba menjadikan ketinggian urugan sebagai bahan promosi, sementara di perkampungan masyarakat meninggikan tanah yang akan dibangun untuk rumahnya.

Tindakan individualis yang hanya mementingkan diri dan kelompok ini merupakan benih dari permasalahan di masa yang akan datang.

Di sisi lain, berkembangnya permukiman selalu identik dengan berkurangnya lahan produktif yang semula menjadi penampung air selama hujan. Beralihnya fungsi lahan pertanian juga diikuti dengan kurangnya perawatan hingga tidak berfungsinya sungai yang semula dibuat untuk mengairi sawah.
Dengan kondisi topografi dan penanganan yang belum terpadu seperti saat ini maka tidak mengherankan kalau banjir akan menjadi ancaman bagi permukiman di Kopta Indramayu.

2. Sampah
Setiap hari setiap rumahtangga menghasilkan sampah rumahtangga yang jumlahnya tidak sedikit. Ada sampah organik, banyak yang anorganik. Idealnya setiap rumah harus mempunyai tempat sampah, tetapi keterbatasan lahan menjadi sebab utama.

Hal ini terutama terjadipermukiman perkampungan tumbuh dengan cepat. Pemerintah Kabupaten Indramayu pun membangunkan tempat sampah kolektif di pinggir jalan. Setiap hari sampah diangkut truk sampah.

Di sisi lain, masih banyak masyarakat Kota Indramayu di permukiman yang mengambil jalan pintas dengan membuang sampah di sungai yang mengalir dekat rumahnya. Tentu saja hal ini akan mengganggu kelancaran mengalirnya air dan menjadi pemandangan yang sangat buruk ketika musim kemarau.

Sampah juga secara umum menjadi permasalahan tersendiri di kompleks perumahan, sekalipun disediakan TPS tetapi sering tidak mencukupi. Apalagi sampah dari TPS tidak diangkut oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan setiap hari. Belum lagi, letak TPS yang umumnya di pintu gerbang perumahan. Tentu saja hal ini menjadi permasalahan tersendiri.

Sekalipun mereka patuh memenuhi aturan untuk menyediakan ruang terbuka sebesar 40 % namun pada umumnya pengembang perumahan tidak merencanakan tempat penampungan sampah dalam site plan-nya. Hal ini tentu aakan menjadi permasalahan tersendiri setelah permukiman terisi penuh dan pengembang telah menyelesaikan kewajibannya menyediakan hunian layak huni.

3. Air Bersih
Satu-satunya sumber air bersih bagi warga Kota Indramayu adalah air dari PDAM. Hal ini tidak terlepas dari posisi Kota Indramayu yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa dengan ketinggian dari permukaan laut hanya 0 – 3 meter saja. Oleh karena itu sumur bor yang dibuat masyarakat hanya akan menghasilkan air payau hingga asin.

Tidak mengherankan kalau beberapa tahun sebelumnya atau bahkan hingga kini sebagian masyarakat memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci, terutama pada musim hujan. Seiring dengan makin tingginya kesadaran masyarakat akan kesehatan maka jumlah mereka yang memanfaatkan air sungai untuk kehidupan sehari-hari inipun semakin berkurang setiap tahunnya.

Sumber air besih PDAM untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Indramayu berasal dari sungai. Air sungai diproses nsedemikian rupa sehingga menjadi air bersih yang layak untuk digunakan untuk kehidupan sehari-hari.

Tingginya kadar kaporit yang digunakan PDAM dalam merubah air sungai menjadi air bersih menyebabkan masyarakat umumnya enggan menggunakan air PDAM untuk konsumsi. Agar bau kaporit hilang maka air PDAM harus ditampung di bak terlehih dahulu minimal 1 hari.

Keterbatasan sumber air yang akan diolah PDAM menjadi air bersih menyebabkan debit air bersih yang dihasilkan tidak setabil. Apalagi ketika musim kemarau tiba maka ketersediaan air beresih makin berkurang, kran air bak tidak mengalir sebagaimana biasa. Untuk mendapatkan air untuk mandi saja harus berjam-jam mengangkutnya dari kran terendah yang umumnya terletak di depan rumah.

Kekurangan air semakin terasa jika ada warga permukiman yang menggunakan pompa air seperti Sanyo dan merek lainnya untuk menyedot lansung dari paralon PDAM. Jika hal ini dilakukan maka masyarakat penghinu permukiman lainnya tinggal gigit jari.

Keadaan lebih parah terjadi jika kemarau panjang. Air sungai yang berasal dari selatan semakin berkurang, sementara air laut mulai masuk ke sungai. Sekali air lain menembus bendung karet yang ada di bawah Jembatan Bangkir maka masyarakat Kota Indramayu akan merasakan nikmatnya air PDAM yang berasa asin.

Hal yang tidak kalah buruknya adalah ketika sumber air bersih PDAM berasal dari air sungai yang kotor. Bukan hanya bau kaporit yang makin menyengat tetapi endapan hitampun sering masuk kran, bahkan kadang-kadang diikuti dengan masuknya binatang kecil ke dalam bak mandi.

Dengan makin berkembangnya usaha air isi ulang dan sejenisnya maka kebanyakan masyarakat permukiman di Kota Indramayu lebih memilih menggunakan air tersebut untuk kebutuhan konsumsi. Padahal air isi ulang yang diprmosikan sebagai air pegunungan itu tidak lain diambil dari air PDAM Kota Cirebon. Sekalipun promosi itu ada benarnya juga, air PDAM memang berasal dari air pegunungan Kabupaten Kuningan.

4. Keamanan dan Ketertiban
Saat ini di Kota Indramayu berkembang hunian dengan jaminan keamanan bagi penghuninya, berbatas tembok tinggi dengan masyarakat sekitarnya. Umumnya untuk perumahan non-subsidi. Sementara permukiman bersubsidi dibangun tanpa perencanaan keamanan yang Keamanan

Saat ini di Kota Indramayu berkembang hunian dengan jaminan keamanan bagi penghuninya, berbatas tembok tinggi dengan masyarakat sekitarnya. Umumnya untuk perumahan non-subsidi. Sementara permukiman bersubsidi dibangun tanpa perencanaan keamanan yang memadai.

Sedangkan di permukiman perkampungan faktor keamanan menjadi ancaman tersendiri. Rumah-rumah yang makin berdempet dengan penghuni yang makin beraneka ragam latar belakangnya serta persaingan antar penghuninya menjadi penyulut tumbuhnya permasalahan keamanan.

Khusus pada permukiman perkampungan tinggalan Belanda yang saat ini letaknya di tengah Kota Indramayu maka permasalahan keamanan yang ada terutama adalah keamanan kendaraan roda empat penghuni yang umumnya diparkir di pinggir jalan raya yang sangat sepi ketika malam hari.

Permasalahan keamanan lainnya bagi warga permukiman adalah tentang premanisme. Mungkin sangat tidak masuk akal kalau ternyata di Kota Indramayu yang sangat banyak Polisi-nya ini masih terjadi aksi premanisme secara terbuka. Hal inhi terutama terjadi di kompleks perumahan bersubsidi.

Ketika warga kompleks merenovasi rumah maka masyarakat perkampungan terdekat kadang bertindak sebagai preman. Umumnya adalah dengan membatasi jalan masuknya mobil material, sehingga harus diteruskan dengan menggunakan jasa mereka. Aada juga yang membatasi masuknya tukang dari luar, renovasi harus dilakukan oleh warga yang menghuni perkampungan sekitar permukiman.

Tentu saja hal ini sangat merugikan, pengangkutan material berarti bertambahnya biaya angkut. Ongkos angkut pun kadang ditetapkan sewenang-wenang namun tidak ada pilihan kecuali menuruti kemauan mereka. Ironisnya, sekalipun mereka sudah diberi jatah tetapi masih sering diikuti dengan pencurian material. Apalagi kalau kehendak mereka tidak dituruti.

5. Jalan Permukiman
Permukiman perkampungan di Kota Indramayu umunya tumbuh tanpa perencanaan yang baik. Rumah tumbuh tak terkendali sehingga jalan yang tersedia umunya hanyalah jalan setapak yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya. Dengan makin tingginya harga tanah maka semakin sulit untuk menyediakan lahan untuk melebarkan jalan yang dibutuhkan penghuni.

Di sisi lain, di Kota Indramayu masih tersisa permukiman lama yang direncanakan Belanda yang sampai saat ini masih dapat dirasakan keteraturan tataletak dan kenyamanannya. Namun dengan berkembangnya perekonomian masyarakat dan berubahnya gaya hidup maka perencanaan yang baik itu menjadi seolah tampak tidak tepat lagi.

Lebar jalan permukiman tersebut hanya sekitar satu meter, cukup untuk sepeda atau sepeda motor saja. Sementara kebanyakan penghuni permukiman saat ini memiliki kendaraan roda empat yang tidak pernah diparkir di rumah pemiliknya.

Permukiman yang dibangun pengembang perumahan lebih beruntung, jalan yang tersedia relatif lebar. Cukup untuk kendaraan roda empat berpapasan, bahkan di beberapa perumahan tersedia jalan lingkungan yang dipisahkan dengan jalur hijau.

Permasalahan baru timbul ketika pengembang telah menyelasikan kewajibannya, jalan lingkungan menjadi tanggungjawab para penghuninya. Dana APBD tidak diperkenankan untuk membiayai perbaikan jalan di kompleks perumahan. Dengan kata lain, warga penghuni permukiman harus bertanggungjawab untuk membiayai sendiri perbaikan jalan lingkungannya.

Alternatif Pemecahan Masalah
1. Banjir
Permasalahan banjir adalah permasalahan yang sudah sangat umum terjadi di semua permukiman perkotaan, apalagi di Kota Indramayu yang ketinggiannya hampir sama dengan laut itu sendiri. Banjir juga sering datang tanpa dapat diduga sebelumnya. Namun jika dicermati lebih jauh maka permasalahan inti dari terjadinya banjir adalah perilaku masyarakat itu sendiri.

Oleh karena itu beberapa tindakan yang kami sarankan untuk mengatasi banjir di Kota Indramayu antara lain :
i) Sampai saat ini Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kota Indramayu belum ada, sehingga arah kebijakan pengembangan kota sama sekali tidak terarah. Pemerintah Kabupaten Indramayu menjalankan peraturan daerah tersebut secara konsisten, tidak pandang bulu, apalagi memberi contoh yang tidak benar kepada masyarakatnya dalam pemanfaatan ruang kota.
ii) Berkurangnya lahan pertanian produktif di wilayah kota sebagai akibat pembangunan permukiman yang selama ini tidak terarah harus segera dicegah. Sambil menunggu selesainya Perda tentang RDTRK Kota Indramayu , instansi yang berwenang terhadap perizinan perumahan harus bekerja keras untuk mencegah terjadinya pengalihfungsian lahan pertanian produktif yang selama ini menjadi penampung air hujan.
iii) Instansi yang berwenang menangani pengairan dalam hal ini Dinas PSDA, Tamben dan Energi Kabupaten Indramayu sudah saatnya mendata dan menata kembali sungai-sungai yang selama ini mati atau dimatikan atau bahkan beralih fungsi serta bertindak tegas terhadap masyarakat yang membangun rumah di tepi sungai atau bahkan di atas sungai yang sengaja ditimbun.
iv) Kawasan permukiman perkampungan masyarakat pun sudah waktunya ditata dengan perencanaan yang baik. Arahan umum dari Pemerintah Kabupaten memang diperlukan, tetapi perencanaan partisipatif akan jauh lebih efektif diterapkan untuk menggali potensi yang ada di masyarakat dan lingkungannya serta merencanakan masa depan kawasan permukiman yang sesuai dengan kehendak masyarakat penghuninya. Rencana aksi yang dihasilkan masyarakat secara partisipatif akan jauh lebih bisa dilaksanakan daripada rencana canggih yang diberikan secara top-down.
v) Warga permukiman kompleks perumahan yang telah ditinggalkan pengembangnya juga sudah saatnya memikirkan secara bersama-sama mengatasi permasalahan banjir di lingkungannnya. Merencanakan secara partiisipatif untuk menghasilkan rencana aksi penanggulangan banjir secara komprehensif. Bukan hanya yang dapat dilaksanakan secara mandiri oleh warga tetapi juga ada kemungkinan diajukan dengan menggunakan dana Alokasi dana Desa/Kelurahan atau bahkan APBD Kabupaten Indramayu.
vi) Koordinasi antara instansi yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan pembangunan perumahan dan juga antar pengusaha perumahan sudah saatnya dijalin dengan kuat. Persaingan yang pada akhirnya merugikan warga permukiman yang dibangun hendaknya tidak dilakukan, tetapi lebih mengetengahkan kenyamanan bersama. Instansi berwenang ddapat menjadi juru damai jika terjadi keberbedaan kepentingan diantara para pengembang.

2. Sampah
Bagi sebagian permukiman, sampah merupakan masalah yang sangat mendominasi. Hal ini tidak mengherankan mengingat setiap rumahtangga setiap harinya tiada henti menghasilkan sampah.

Untuk mengatasi permasalahan sampah di permukiman di Kota Indramayu antara lain :
i) Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Indramayu sudah saatnya mempunyai site-plan persampahan permukiman. Bukan hanya menyangkut lokasi permukiman atau kompleks perumahannya tetapi juga rencana penempatan TPS di tempat yang pantas, tidak mengganggu penghuni tetapi mudah dijangkau baik oleh warga permukiman ataupun mobil pengangkut sampahnya DKP. Khusus untuk kompleks perumahan maka koordinasi dengan pengembang sangat diperlukan, demikian juga koordinasi dengan penghuni perkampungan.
ii) Selain itu Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Indramayu pun sudah saatnya menambah armada pengangkut sampah sehingga sampah tidak mesti menumpuk di TPS yang mengakibatkan bau tidak sedap dan munculnya berbagai jenis serangga seperti lalat hijau misalnya.
iii) Jumlah TPS di kompleks perumahan harus disesuaikan dengan kapasitas permukiman itu sendiri. Demikian juga jumlah bak truk sampah yang ditempatkan di setiap TPS. Khusus untuk permukiman perkampungan, bukan hanya diperlukan dibangunna TPS tetapi juga tempat sampah ukuran kecil yang memudahkan warga permukiman tersebut membuang sampahnya. Tempat sampah dibedakan antara yang organik dan anorganik.
iv) Rencana aksi penaggulangan sampah secara terpadu akan dengan lebih mudah dibuat oleh para warga perumahan dan permukiman perkampungan itu sendiri. Perencaan partisipatif akan dengan mudah mengantar warga permukiman untuk menghasilkan produk perencanaan yang sangat sederhana itu dan menerapkannya, mulai dari penanganan sederhana hingga kemungkinan pengolahan sampah menjadi produk yang lebih bermanfaat bagi mereka.
v) Peraturan yang mengatur tentang sanksi yang diberikan kepada masyarakat yang membuang sampah di sungai harus segera diterapkan. Jika belum ditindaklanjuti dengan aturan daerah maka hendaknya segera dibuat. Penerapan yang tegas tanpa pandang bulu akan lebih efektif.

3. Air Bersih
Pemasalahan permukiman di Kota Indramayu lainnya adalah terbatasnya air bersih terutama pada saat musim kemarau. Beberapa langkah yang kami sarankan untuk mengatasi krisis air bersih di Kota Indramayu antara lain :
i) Sudah saatnya PDAM kreatif mencari sumber air tawar di Kota Indramayu karena sesungguhnya banyak titik air tawar yang dapat dibor pada kedalaman tertentu. Alternatif lainnya adalah dengan mengalirkan air irigasi Rentang untuk menambah air yang akan diproses menjadi air bersih untuk masyarakat. Dengan demikian, ketergantungan terhadap Sungai Cimanuk yang sering teriterusi air laut ataupun air sungai yang kotor dan memerlukan biaya tinggi untuk mengolahnya, akan berkurang. Sementara warga permukinan Kota Indramayu tercukupi kebutuhan air bersihnya.
ii) PDAM pun sudah saatnya mengganti teknologi biaya tinggi untuk pengolahan airnya dengan teknologi yang lebih ramah. Penggunaan kaporit yang berlebihan secara terus menerus akan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya.
iii) Masyarakat penghuni permukiman perkampungan ataupun warga kompleks perumahann perlu dipandu untuk menghasilkan rencana aksi penanggulangan kekurangan air bersih secara partisipatif. Jika diperlukan maka pengadaan titik air bersih bersama akan sangat besar manfaatnya.
iv) Sanksi yang tegas harus diterapkan kepada warga permukiman yang menggunakan Sanyo dan sejenisnya untuk menarik air langsung dari pipa PDAM. Sanksi lebih tegas lagi jika ternyata air disedot sebelum melewati watermater.
v) Pemerintah Kabupaten Indramayu sudah saatnya menjaring investor yang bisa memanfaatkan potensi air Laut Jawa untuk sumber air bersih. Sejak lima belas tahun yang lalu kemungkinan menghasikan air siap konsumsi ini telah dikaji tetapi sampai sekarang juga diterapkan. Jika potensi air laut ini dimanfaatkan maka Kota Indramayu bukan hanya tidak akan kekurangan air bersih tetapi juga menjadi penghasil garam yang berkualitas.

4. Keamanan dan Ketertiban
Secara umum untuk mengatasi masalah keamanan di permukiman sebenranya relatif mudah, hanya diperlukan ketegasan dari aparat keamanan maupun warga penghuni permukiman itu sendirii. Oleh karena itu,beberapa hal yang kami sarankan untu menjaga keamananpermukina antara lain :
i) Pengembang perumahan non-subsidi yang umumnya telah melengkapi fasilitas untuk keamanan warga permukimannya pada saat serah-terima dengan warga hendaknya menyerahkan sepenuhnya kewenangan pengamanan permukiman terhadap para penghuni. Termasuk di dalamnya tentang petugas satuan pengamanan dan berbagai fasilitas yang menjadi hak mereka.
ii) Sementara pengembang perumahan ber-subsidu yang umumnya tidak melengkapi batas perumahannya dengan pagar tinggi pun mempunyai kewajiban untuk memulai penjagaan keamanan sejak awal sehingga pada saat tanggungjawabnya selesai maka tinggal meneruskan serah terima kewajiban tersebut kepada warga penghuni permukiman tersebut.
iii) Untuk permukiman permukiman dan kompleks perumahan yang sudah ditinggalkan pengembangnya maka penjagaan keamanan menjadi tanggungjawab bersama dari para warganya. Ketua RT dan Ketua RW memegang kendali untuk memfasilitasi dibuatnya perencanaan ketertiban dan keamanan di lingkungannya secara partisipatif. Rencana aksi bukan hanya memuat soal hak dan kewajiban warga secara bersama menjaga ketertiban dan keamanan tetapi juga tentang sanksi yang diberlakukan, baik sanksi secara hukum ataupun sanksi sosial.
iv) Sedangkan warga penghuni permukiman tinggalan kolonial Belanda secara partisipatif
v) Sementara masih maraknya premanisme juga dapat diatasi dengan sikap yang tegas dari para warga, tindakan melanggar hukum sudah saatnya dilaporkan kepada yang berwajib. Jika ada perlindungan di balik aksi para preman maka laporan disampaikan kepada institusi yang berhak menanganinya. Demikian juga apabila ada warga permukiman yang melakukan tindakan pemerasan maka bukan hanya diganjar hukuman formal tetapi juga sanksi sosial. Hal ini bisa terwujud dengan kebersamaan penghuni dalam penegakkan keamanan danketertiban.

5. Jalan Permukiman
Sungguh beruntung bahwa saat ini alokasi dana pembangunan untuk Desa dan Kelurahan relatif besar. Bahkan bisa menembus angka milyaran rupiah. Hal ini merupakan peluang yang lebar untuk tercapainya jalan lingkungan yang memadai.

Beberapa saran kami untuk mengatasi jalan lingkungan antara lain adalah sebgai berikut :
i) Permukiman perkampungan tinggalan kolonial Belanda yang ada di tengah Kota Indramayu merupakan wilayah yang harus dijaga kelestariannya. Namun demikian jalan lingkungan perlu disesuaikan dengan kebutuhan sekarang, walaupun terbatas untuk kendaraan roda dua. Drainase yang sudah sangat baik perlu dilestarikan tetapi dapat dipadukan dengan keperluan akan jalan lingkungan yang semakin bertambah. Perencanaan partisipatif diperlukan untuk melestarikan tinggalan kolonial sekaligus menjadikan permukiman yang nyaman untuk ditinggali sesuai dengan tuntutan zaman.
ii) Warga penghuni perumahan bersubsidi dan non-subsidi yang sudah ditinggalkan pengembangnya pun pada akhirnya harus memikirkan tentang jalan lingkungan secara mandiri. Rencana aksi pemeliharaan jalan lingkungan dapat dihasilkan secara partisipatif oleh masyarakat penghuni permukiman tersebut.
Hasil perencanaan partisipatif tentang jalan lingkungan untuk permukiman perkampungan tinggalan kolonial dan kompleks perumahan yang telah ditinggalkan pengembangnya dapat disampaikan kepada pihak kelurahan untuk dapat dianggarkan dari Alokasi Dana Desa/Kelurahan.
iii) Para pengembang perumahan yang saat ini masih menjalankan kewajibannya kepada para penghuni permukiman berkewajiban untuk mempersiapkan konsumennya untuk memelihara sendiri jalan lingkungan yang ada. Sekalipun ada kemungkinan dapat diusulkan kepada pihak Desa/Kelurahan untuk mendapatkan dana bantuan.
iv) Untuk pembuatan dan pemeliharaan jalan lingkungan permukiman perkampungan juga tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab pihak Desa/Kelurahan. Secara partisipatif warga permukiman dapat terlibat aktif untuk mengusulkan rencana aksi pembuatan dan pemeliharaan jalan lingkungan.
Mewujudkan Permukiman Layak Huni Berkelanjutan
Mewujudkan permukiman yang layak huni sesungguhnya bukanlah hal yang mudah tetapi dengan cara sederhana berbagai kesulitan untuk mewujudkannya dapat pula disederhanakan. Dua hal yang paling penting adalah keterlibatan warga permukiman dalam memikirkan masa depan huniannya

Oleh karena itu beberapa hal yang harus dilakukan seorang penggiat permukiman berkelanjutan (city changer) adalah sebagai berikut :
i) Memotret keadaan permukiman warga secara umum, baik permukiman perkampungan tinggalan kolonial, permukiman perkampungan, permukiman perumahan subsidi dan non-subsidi yang telah ditinggalkan pengembangnya ataupun yang masih dalam tanggungjawab pengembang. Dari sini dapat dilihat berbagai sarana fisik seperti jalan lingkungan, air bersih, telepon, listrik dan gas. Juga aspek sosial seperti informasi tentang tokoh masyarakat dan struktur organisasi yang ada hinggaaspek keamanan dan ketertiban.
ii) Menggali informasi secara langsung dari para warga permukiman tentang harapan mmereka untuk terciptanya hunian yang layak dan kendala yang dihadapi selama ini. Beberapa alternatif pemecahan masalah yang telah dilakukan dan tanggapan masyarakat dan pemerintah atas usulan tersebut juga merupakan informasi yang sangat berharga.
iii) Berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait, baik pemerintahan maupun swasta untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang permukima n dan berbagai permasalahannya serta perencanaan yang akan dilakukan di masa yang akan datang. Juga informasi tentang kegiatan/proyek yang pernah dan akan dijalankan beserta besar dan sumber dananya.
iv) Berbagai informasi primer dan sekunder yang diperoleh diramu menjadi rencana aksi, siapa melakukan apa, dimana, bagaimana dan kapan waktu pelaksanaannya serta pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaannya. Untuk memudahkan maka dibuat dalam bentuk proposal kegiatan yang sederhana dan mudah dipahami.
v) Berkoordinasi dengan pemerintahan dan pihak-pihak yang terkait tentang pentingnya mewujudkan permukiman layak huni secara berkelanjutan yang hanya dapat dicapai jika warga masyarakat penghuni permukiman membuat sendiri perencanaan untuk mencapainya. Merekalah yang paling mengetahui potensi, kendala dan hambatan yang ada di lingkungannya.
vi) Bersama-sama dengan pihak terkait menggali kesadaran warga akan besarnya potensi dan kemampuan diri yang mereka miliki yang akan menjadi kekuatan tersendiri dalam mewujudkan permukiman yang layak secara berkelanjutan. Dengan instrumen sederhana, warga permukiman digiring untuk mmemikirkan harapan terwujudnya hunian yang layak secara berkelanjutan dan cara menggapainya. Produk akhirnya berupa rencana aksi yang akan dijalankan warga secara mandiri ataupun dengan bantuan pihak lain seperti pemerintahan ataupun swasta.
vii) Melaksanakan rencana aksi bersama warga permukiman dan pihak-pihak yang terkait. Untuk kegiatan yang tidak melibatkan pihak lain maka dapat langsung dilkaksanakan tetapi jika melibatkan pihak lain seperti pemerintahan ataupun swasta maka diperlukan koordinasi yang lebih harus dijalin. Bukan tidak mungkin memerlukan waktu yang leih lama dari rencana semula.
viii) Mengevaluasi secara berkala pelaksanaan rencana aksi bersama arga permukiman dan pihak terkait dan berupaya menemukan permasalahn dan alternatif pemecahannya.
ix) Melaporkan progress kegiatan yang dilaksanakan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kepada pihak-pihak terkait termasuk perwakilan warga permukiman.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun