Ada yang bertanya kepada saya, “Apa inti tulisan sebelumnya (kalo ada yang belum baca, monggo (klik disini) ko ga mudeng ya?” Inilah jawabannya saudara Arie, tulisan pertama barulah intro, intro yang kepanjangan tentunya, hehe.
Seperti yang diceritakan sebelumnya, Minggu kemarin saya berkunjung ke rumah sahabat lama untuk mengambil jam. Sesampainya saya di sana, saya disuguhkan potongan campur sari atas hidupnya yang sebelumnya tidak diketahui karena selama enam tahun terakhir, komunikasi kami terbatas.
Hari itu, Mawar lebih banyak bercerita tentang hidupnya belakangan ini, entah dari mana datangnya kekuatan itu, saya mendengarkan semua ceritanya, komentar juga sih dikit-dikit, hehe. Biasanya kan saya lebih banyak ngomong ketimbang ngedengerin cerita orang (sedikit curhat, saya memiliki ketidakfokusan verbal, yang artinya sulit focus kalo mendengarkan orang bercerita secara verbal (maaf teman2, gw udah berusaha focus kus kus J)).
Back to the topic, mendengar ceritanya, ada bagian dalam hati yang tersentuh, hidup itu ga sempit teman alias luas, luas, dan luas!!! Hidup itu pasti ada memiliki dan kehilangan, mau ga mau, siap ga siap, saat kehilangan itu ada di depan mata, kita mesti terima. Saat bisa menerima itu semua, ada energi untuk saling menguatkan, orangtua menguatkan anak, anak menguatkan orangtua, kakak menguatkan adik, dan seterusnya. Kesimpulan ini terlihat agak sotoy alias sok tahu, seolah-olah saya udah hidup lama aja dan tahu bagaimana hidup itu sebenarnya. Hey, emang saya ga tau banyak tentang hidup, tapi kenyataannya cerita-cerita Mawar membuat saya berpikir seperti itu, hehe. Menyenangkan bisa mendengar cerita Mawar, membuka potongan lain yang tidak pernah dilihat.
Ketika ngobrol-ngobrol dengan Mawar, ibunya lewat. Beliau mondar-mandir mau mandi, tapi ada barang yang ketinggalan, persis seperti mama saya di rumah kalau mau mandi, mondar-mandir ga jelas sambil nenteng-nenteng anduk plus riweh. Ga terlalu penting ya bahas ibu-ibu yang mau mandi, ga ada gregetnya juga (Maksud Lo, Din?? Hehe). Itu tadi hanya intermezzo sebelum beralih ke pelajaran lainnya lagi, J.
Saat datang ke rumah Mawar, ibunya menyambut dengan senyum, mempersilakan duduk, kemudian kami ngobrol santai sebentar. Saat ngobrol santi itu, beliau menceritakan tentang teman lama saya juga yang baru saja melahirkan. Waww, mendengar berita bahagia seperti itu siapa yang tidak senang? Tapi, kesenangan itu berbalik menjadi sebuah simpati saat fakta lain diceritakan olehnya. “Suaminya meninggal saat anaknya baru berusia dua minggu…Radang Otak…!”, Innalilahiwainailaihirojiun, kesenangan dan kesedihan itu bedanya tipis teman, malah kadang sulit membedakannya.
Lagi-lagi saya dihadapkan pada contoh “menerima” seperti yang diungkapkan di awal. Mau ga mau, siap ga siap, takdir yang ditentukanNya harus diterima dengan lapang dada. Saat penerimaan itu muncul dari hati terdalam, beuh, sepertinya ada cahaya warna-warni yang muncul dari dalam diri, menciptakan kedewasaan berpikir, dan menimbulkan aura menyenangkan (ini semua Cuma khayalan saya aja, mungkin akan lebih dari ini, J).
Begitulah ceritanya.
Kebetulan, hari Minggu itu, di rumah yang diceritakan ibu Mawar tadi, akan ada pengajian memperingati empat puluh hari kelahiran anaknya teman saya itu. Kebetulan juga rumah Mawar dan Melati (sebut saja begitu biar gampang) berdekatan, plus saya lagi main ke rumah Mawar, maka diputuskan untuk ikut pengajian itu.
Enam tahun, dan sudah banyak hal yang terjadi.
Hari itu saya mulai mengerti sedikit apa yang dimaksud abang saya (lagi-lagi ngaku-ngaku) dalam novelnya yang berjudul “Rembulan Tenggelam di Wajahmu”, bahwa hidup adalah “sebab-akibat” dan selalu ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul di hati masing-masing. “Kenapa gw harus masuk IPB bukan UNDIP? Kenapa juga bukan masuk jurusan gizi malah jurusan Statistika?? Kenapa gw diterima kerjanya di riset marketing yang penuh kuesioner dan deadline bukan di kantor-kantor yang normal?? Kenapa, kenapa, dan kenapa??. Terus kenapa gw ga secantik Angelina jolie? (Huahaha, ini mah ngaco.com, emang udah nasib Din, hehe).
Selalu akan ada jawaban atas “karena” atas setiap pertanyaan itu. Sebuah pemahaman atas “karena” itu bisa diperoleh ketika kita bisa lebih bijaksana, memberi ruang agar hati bisa berdamai dengan semuanya. Berat bray, but just a moment, let our brain think it, siapa tahu ada manfaat untuk kehidupan selanjutnya, hehe.
Well, dari semua tulisan geje yang direncanakan pendek tapi malah jadi penjang gak karuan kayak gini, intinya apa???? Saya simpulin dua, pertama, menyenangkan sekali bisa mendengarkan cerita orang-orang, maka saya berpikir untuk bertemu dengan sebanyak-banyaknya orang dan belajar dari cerita atau gerak mereka. Semoga ada kesempatan untuk itu, amin. Kedua, menerima, berusaha mendamaikan hati dengan semua, supaya penerimaan menjadi bermakna. Aih, konsentrasi mulai luntur, tulisan mulai ngawur, sebaiknya tulisan ini jangan diulur-ulur, salah-salah bisa babak belur (geje lagi, maaf-maaf), hehe. Sekian saja tulisan dari saya ini semoga bermanfaat. Saya punya dua dessert sebagai penutup, enjoy it (kalo mau, hehe).
***
Alam hari ini sedang berbahagia. Lihat saja langitnya, biru cerah, ceria sekali. Awan putih bagai kembang gula, membuat keceriaan semakin terasa manis. Awan-awan itu bergerak mengikuti aliran angin, perlahan. Dari kejauhan kulihat pakaian bayi, celana, gurita, dan perlak, melambai-lambai, seolah sedang bercanda dengan angin. Sebentar ke kiri, sebentar ke kanan. Entah kenapa, lambaian itu menyampaikan sesuatu, sesuatu tentang hidup, tentang memiliki, tentang kehilangan. Sangat menyentuh, memberi efek kejut pada diriku.
Matahari bersinar terang, tapi tidak terlampau terik, mungkin belum. Alam sedang berbahagia, entah kenapa, meski terang seperti ini, suasananya berasa sejuk. Mungkin karena lantunan yang sedang didengungkan di dalam sana.
Sayup-sayup bacaan rawi terdengar dari ruang tamu. Aku duduk di garasi yang sudah diubah menjadi ruang tamu, tanpa kursi. Tikar dan karpet melintang bebas, garasi yang biasanya sempit terlihat lebih luas. Ada beberapa ibu yang duduk didekatku, kebanyakan yang lain duduk di dalam, khusuk membaca rawi dan shalawat. Aku tertegun sesaat, mencoba menggali hal yang saat ini terpampang jelas dihadapanku, mencoba mengkaitkannya dengan masalah abstrakku, tentang masa depan, tentang keresahan-keresahan selama ini, tentang arah yang sedang kucari. Ah, semuanya bisa lebih sederhana jika kita bisa lebih bijaksana, memberi kesempatan hati untuk berdamai dengan semuanya.
***
When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be
Will I be pretty, will I be rich
Here's what she said to me.
Que Sera, Sera,
Whatever will be, will be
The future's not ours, to see
Que Sera, Sera
What will be, will be. Que Sera-Sera
Referensi :
Novelnya Tere-Liye
http://mataharikumataharimu.multiply.com/
http://www.orangeyellowandblue.blogspot.com/