Kenapa? Karena kami yang berwajah asing ini sering ditipu. Haha. Bukan Cuma itu sih alasannya, terkadang jika kami tidak pandai mengetahui situasi pasar, belanja di sana bisa bikin kantong ngocor kaya air dari kran. Muahal e rek! Harga yang seharusnya bisa saja dinaikan karena factor ke“bule”an kami. Hahah padahal, kan ga semua bule itu kaya raya ya? Aku sendiri udah trauma dengan berbelanja di pasar, meski terkadang harus juga pergi kesana karena ga semua bahan masakan di hipermart bagus dan murah. Ada beberapa sih yang bisa di beli dipasar misalnya: daun bawang, bawang Bombay, peterceli, atau daun-daun rumput lainnya. Termasuk tulang sapi. Sisanya ya beli dihipermart karena selain banyak barang yang sudah murah kami bisa menemukan bahan-bahan aneh yang memang sudah di diskon. Karena dianggap tidak berguna. Benar makanan seperti inilah yang dicari oleh kami para mahasiswa, yang penting enak dan sehat. Meski bagi beberapa orang bahan makanan seperti itu sudah seperti limbah yang tak layak komsumsi saja.
“Appaaaah? Kak ada kepala salmon!” jerit Dita saat berdiri didepan counter ikan salmon
“Waaoooow” mata ku berbinar memandang kepala ikan salmon yang besarnya hampir tiga kali gemgaman tanganku
“Kak, gimana kalo makan malam kali ini kepala salmon saja??” tanya Sam yang sedari tadi mematung disebelah Dita sambil menelan air ludah. Sam adalah salah satu mahasiswa jurusan geologi, perawakannya yang berkulit hitam, tinggi besar dan cepak selalu membuat teman-teman asing lain salah kira. Mereka selalu mengira bahwa Sam datang dari Afrika. Hehe
“Hmm, bolehlah sesekali-kali kita makan malam mewah, kalian sudah bosen dengan telor ya?” tanyaku menyimpulkan
“Hm-m Kak, bosen banget, bukan cuma bosen makannya tapi saya juga bosen bisulan tiap abis makan telor” keluh Sam sambil mengelus-elus pantatnya yang sudah bisulan lebih dari 2 minggu. Maklum saja sebagai mahasiswa kami harus pintar atur uang dan gizi. Tak peduli rasa yang penting perut dan otak harus terisi.
Setelah kami mendapatkan dua kepala salmon yang masing-masing seharga 110 Rubel dan 90 Rubel[1 rub 400 rupiah], kami bertiga melenggang bahagia pulang menuju asrama yang jaraknya hanya 15 menit menggunakan mashrut .
Sesampai di asrama, Sam dan Dita langsung saja mengambil pisau dan talenan untuk dapat dengan segera memereteli kepala salmon untuk diolah oleh ku.
“Kak, jarang banget ya kita bsa dapat kepala salmon sebesar ini dengan harga miring begini, rejeki kita untuk dapat makan malam bergizi hari ini, nih” ujar Dita sambil asik mulai memereteli bagian-bagian dari kepala salmon
“Iya, mungkin orang Rusia menganggap kalo ini limbah, keras, ga bisa dimakan kecuali diambil sari nya untuk sup. ” jelasku mengira-ngira
“Mereka ga tau sih ya kak kalo di Indonesia ada sup kepala kakap di restoran padang. Mana mahal lagi ya kak?” timpal Sam sambil menahan air liur, melihat betapa besarnya kepala ikan salmon yang kami beli
“Hehehe, iya Sam. Berkah buat kita kalo mereka tau kepala salmon bisa lebih enak dari pada ikan lainnya mereka pasti makan sambil merem melek ya? Hahaha” candaku sambil mengiris kecil daun Ukrop
Setelah seluruh bagian kepala lepas masing-masing sampai pada bagian yang terkeras pada kepalanya sudah berupa potongan kecil maka, ikan siap dibawa kedapur! Sam membantuku membawa 2 baskom pretelan ikan salmon di kedua tangannya. Sedangkan aku sibuk membawa penggorengan, minyak goreng, dan bahan-bahan memasak lainnya. Hmmm Yummi..
Sesampainya didapur, kami bebarengan dengan mahasiswa asal Vietnam yang ternyata juga sedang memasak ikan salmon. Benar-benar ikan salmonnya. Bukan Cuma kepala ataupun buntut ikan salmon. Ikan yang besarnya mungkin 2 kilo dan harganya berkisar antara 3000 rubel sampai 4500 rubel khusus cuma badan tanpa kepala. Iya, kepalanya kami yang beli.
Kami yang baru datang kedapur dengan membawa pretelan ikan salmon cuma bisa tersenyum kecut.
“Privet, ribbi gotovite? ” sapaku iseng basa-basi [hai, masak ikan?]
“Privet, da. A Wvi?” tanyanya kembali [hai, iya, anda?]
“Toze Ribbi” jawabku sepet [ikan juga]
Ah, begini nih. Jadi malas kan! Kalo harus terlihat kesenjangan social antara mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa asal Vietnam. Huh
Saat aku dan Sam mulai menggoreng ikan, aku melihat si Vietnam masih sibuk mem-file daging ikan salmon raksasa dengan memisahkan kulit dari dagingnya. Warna orange dagingnya membuat kami berdua takjub. Ikan salmon memang benar-benar ikan Dewa yang lezat.
“Kak, itu kulitnya bakal diapain ya? Ko dipisah deket sampah begitu sih?” tanya Sam memperhatikan si Vietnam memasak
“Ga tau Sam, kayanya si bakal dibuang deh,” jawabku menebak
“Ah, serius kak? Sayang banget ya? Kan kulitnya juga enak kak”
“Lah, terus? Mau gimana lagi. Mungkin bagi mereka itu limbah yang ga enak di makan, maklum Sam beda tradisi, beda kantong”
“Tapi Kak, sumpah. Itu mubazir banget. Apa ga kita minta aja ya?”
“Apa? Diminta? Berani kamu minta?”
“Nanti kalo ditanya ama dia jawabnya apa? Kan udah jelas jadi sampahnya dia kak?”
“Iya juga, masa kita makan sisa sampah dari Negara lain, memalukan bangsa Indonesia aja”
“Tapi kak, sayang banget, ga sedikit lagi. Kayanya mereka mau ada pesta deh. Itu dagingnya aja hampir dua kilo”
“Sam, kalo kita minta sampah mereka dan bilang kalo kulit-kulit itu mau kita makan, itu sama saja merendahkan derajat bangsa dan Negara Sam, benar-benar memalukan” kataku sambil sok ber wibawa.
“Tapi saya mau makan kak, tapi malu minta sama dia” Sam mulai dilemma
“ Ya udah kalo gitu, kita jangan minta, nanti kalo kulitnya di taro dimeja dapur kita pungut aja gimana?”jawabku penuh inspirasi
“Jadi pemulung dong?” sela Sam
“Ye. Daripada minta? Malu tau!” jawabku sengit
Disaat-saat genting perdebatanku dengan Sam tentang kulit ikan salmon itu tiba-tiba si Vietnam dengan muka kosong membawa sebagian kulit ikan ke cerobong sampah dan seketika itu spontan,
“Aaaaaaaaarghhhh.... Net! Net! Net! Ne Wvibrasivai!!!” aku menjerit [jangan, jangan, jangan, jangan dibuang]
Duh, betapa malunya aku,mulutku keceplosan berteriak histeris sampai si Vietnam seketika juga terdiam sambil memandangku heran dan Sam pun langsung tepok jidat sambil membuka mulut lebar-lebar
“Sto? Sto takoe? Pacemu?” [apa? kenapa?]
Karena sudah terlanjur basah, meski di bibir berkata enggan sebetulnya naluriku sebagai kakak yang bertanggung jawab atas gizi adik-adiknya maka dengan wajah menahan malu yang teramat sangat aku langsung menjawab
“Da, net, eto kozhi ti wvibrasivaesh? A mozna mne?” jawabku dengan wajah memerah padam [iya, eh tidak, itu kulit mau kami buang? boleh buat saya?]
“Za cem tebya eto nuzna?” Tanya si Vietnam heran [untuk apa kamu?]
Sial. Kenapa harus pakai Tanya sih? Kan aku jadi salah tingkah menjawabnya
“Hmm.. Eto, V nashi strana kozi u ribbi ochen vkusno, a Mi nikogda wvibrasivaet ikh” [hmm, itu, di negara kami kulit ikan sangat lewat, jadi kami tidak pernah membuangnya]
“O, nu v Vietname eto mushor” jawabnya enteng [o, divietnam itu sudah jadi sampah]
Sial, kalah telak sekarang. Rasanya benar-benar tak punya muka. Sedangkan Sam berpura-pura sibuk menggoreng sambil menguping pembicaraan kami tanpa komentar apa-apa.
“Net, v Indonezii kozhi u Ribbi vkusno kogda ikh mi jelayem sukhariki ili kreker” jawab sepenuh reruntuhan hatiku [tidak, di Indonesia, kulit ikan elezat saat dibuat krupuk]
“kharasho, vwot wvasmite” [baiklah, ini, ambilah]
Aku mengambil semua kulit yang hampir terbuang itu dengan perasaan campur aduk, antara malu, senang dan prihatin. Untungnya setelah itu ternyata si Vietnam lekas keluar dari dapur, entah apa ia akan kembali memasak nanti atau memang dimakan sebagai sashimi saja. Yang jelas dia punya cerita baru tentang mahasiswa Indonesia yang meminta sampah kulit makanan dia. Kamipun punya cerita baru di kamar setelah tragedy kulit dan potongan kepala ikan matang semua.
“Gimana Sam? Enak kulit salmonnya?” tanyaku
“Wah ada kulit salmon? Dapet darimana? Kan kepala ikan ga ada kulitnya Kak?” tanya Dita yang tidak tau apa-apa
“Enak banget kak! Apalagi kalo tau dapatnya dengan perjuangan yang mempertaruhkan nama bangsa”
“Iya Sam, tapi aku jadi ga selera makan sekarang, hahaha” jawabku sambil menahan haru
Baru kali ini aku makan dari sampah orang lain, beda bangsa lagi! namun meski begitu ada satu harapan terbesit pada malam hari ini bahwa suatu saat nanti ketika aku sudah tidak lagi menjadi mahasiswa aku harus tunjukkan kalo aku bukan cuma bisa beli kepala salmon atau minta sampah kulit salmon, tapi bisa beli dan berenang bareng ikan salmon. Amiin
*ingatan yang terselempit
#Bangil, 13 Nov 2012