Bendera bergambar “palu dan arit” berkibar tinggi di bantaran Mekong. Simbol itu, bendera merah, menghidupkan imajinasi akan Indonesia di masa lalu. Tapi aku belum ada saat itu. Aku hanya mengetahui dari cerita yang beredar, atau dari buku-buku yang pernah dibredel. Di sini, bendera merah di mana-mana, biarpun hanya sebagai simbol.
Inilah Vientiane, ibu kota Laos. Atas ajakan seorang kawan berkebangssan Prancis, aku memutuskan untuk ikut bersepeda memutari kota ini. Pagi ini, aku memutuskan untuk meninggalkan lapangan di tepi sungai Mekong, beberapa anak laki-laki mulai bermain sepak bola di sana. Ini pengalaman pertamaku berkendara di jalur kanan. Sepinya kendaraan membuat kayuhan kakiku bisa melanglang kencang.
Perjalanan dimulai dengan mengambil peta wisata yang tersedia di guesthouse. Saat membuka peta itu, di benakku berkecamuk pertanyaan. Apa yang dicari para pelancong di kota ini. Di depan guesthouse terlihat seorang wanita yang sedang menenggak minuman keras sambil bercanda dengan tukang tuk-tuk yang parkir. Aku dan temanku terus melaju.
Tidak banyak kendaraan yang melintas. Begitu kontras dengan kondisi di negara asalku. Tidak, tidak usah jauh-jauh. Kondisi ini begitu kontras dengan negara tentangga. Bangkok, ibu kota Thailand yang menderu sebagai kota yang padat dan modern. Dari Setthathirat road kami menuju wat Sisaket. Wat berarti kuil, didominasi warna kuning emas, ribuan patung budha berukuran kecil, dan lukisan budha yang memenuhi dinding.
Kami tidak menemukan tempat parkir, sepeda ini kami letakkan begitu saja di halaman Wat. Seketika ketenangan merasuk dalam hatiku. Sangat jauh dari gambaran kuil yang megah berlapiskan emas, kuil ini begitu sepi. Suasana desa menyeruak seketika. Mungkin karena barisan pohon kelapa dan bentuk bangunan berarsitektur gaya siam yang sederhana dan kurang terawat, sehingga suasana di tempat ini lebih tampak seperti kampung halamanku di ujung selatan Jawa Timur.
Perjalanan selanjutnya, kami menuju Patuxai atau Victory Gate, yang merupakan jantung kota Vientiane. Dari jauh bangunan ini mengingatkanku akan India Gate di New Delhi, atau mungkin lebih mirip Tugu Simpang Lima di Gumul, Kediri. Patuxai ini dibangun antara tahun 1957-1968 untuk mengenang pahlawan yang telah gugur dalam perang kemerdekaan Laos dari penjajahan Perancis. Kami menaiki tangga yang ada di dalam Patuxai ini sampai puncak tertinggi. Di sini kami bisa melihat Vientiane dari atas.
Setelah ditempa angin sejuk dari puncak Patuxai, kami pun langsung menuju Pha That Luang. Bangunan yang tercetak dalam uang kertas dan menjadi simbol nasional Laos. Pha That Luang ini merupakan stupa budha besar yang berlapiskan emas. Namun sayang, kami hanya dapat memasuki pelataran dan tidak dapat melihat patung budha berlapis emas itu. Lelah seharian mengayuh sepeda, kami lebih memilih tidur beristirahat di atas rumput. Menunggu matahari beranjak beberapa derajat. Dan tak dinyana, kami sempat tertidur.
Di sekeliling area Pha That luang ini terdapat beberapa wat dan patung budha tidur. Juga terdapat pasar dan pemukiman. Kami memutuskan untuk kembali, karena aku akan berangkat ke Vietnam sore ini. Guillaume, seorang teman dari Prancis yang telah menemani perjalanan kami ini juga tampak sudah lelah. Kami pun kembali menuju tepi sungai Mekong. Kembali berimajinasi tentang negeri komunis, yang sekarang hanya tinggal simbol-simbol fantasi.