Pertanyaan yang kau ajukan sore itu di beranda rumahmu.
Sejenak aku terdiam dan tak tahu harus menjawab apa namun akhirnya kujawab datar dan mantap,"Saya hanya bisa mendoakanmu."
Kemudian, kamu menatapku dalam dan tajam. Diam-diam, kesedihan memenuhi relung hatiku. "Hanya doa? Taukah kau, sahabatmu, Retno membelikanku BB keluaran terbaru. Belum lagi, tetangga depan rumahmu itu rela meneraktirku makan malam dan berbelanja bulanan. Lalu, si Atika, gadis model di belakang rumahmu itu tak pelit mengajakku plesiran bersama teman-temannya di sebuah cottage yang indah di pinggiran kota. Hanya doa saja yang kau bisa?"
Aku membeku. Dingin.
"Bagaimana dengan harta kedua orangtuamu?"
Aku tersengat lebah. "Ini urusan antara kau dan saya. Kita selesaikan mereka berdua saja. Jika memang kau serius denganku, mengapa kau selalu bertanya apa yang bisa kuberikan kepadamu? Jika aku bertanya, apakah yang bisa kau berikan kepadaku, maka apa yang akan berikan?"
Lelaki itu terdiam. Lelaki idaman para perempuan di kota kami yang kecil. Kota yang terletak tak jauh dari ibukota.
Lelaki yang tampan dengan penghasilan besar itu mendadak kaku. Lidahnya yang tajam tak lagi mampu mengeluarkan kata-kata.
Ah, mengapa aku begitu bodoh menyatakan perasaanku kepadanya. Seharusnya, biarlah kupendam saja perasaan itu namun katanya akan lebih baik diberitahukan kepada pihak yang kita cintai jika kita memang mencintainya.
Sore ini, perasaanku bagaikan pusaran angin besar yang meniup kaca jendela rumahku semalam. Sungguh menegangkan. Padahal, aku sudah menduga jawaban yang akan dia berikan. Namun, aku tetap saja cuek mengutarakannya.
"Kau perempuan bodoh." Ucapnya tajam.
Aku tersenyum. "Ya, saya memang perempuan bodoh yang tidak bisa memberikanmu seperti yang dilakukan perempuan lainnya. Saya hanya bisa mendoakanmu dengan ilmu yang kupunyai."
Lelaki itu menatapku lurus. "Doa apa?"
"Umm, anggaplah ini doa untukmu walaupun lebih tepatnya sebuah ajian, ummm.... Jaran Goyang.... Ini ampuh untuk laki-laki ataupun perempuan, semoga saja." Jawabku kalem.