Karena berjodoh, penulis mendapat kesempatan berkenalan dengan Dasavidha Rajadhamma, yaitu Sepuluh Kualitas yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin.
Mempelajari kualitas-kualitas yang ada, pikiran penulis yang bungsu ini melanglang buana dan bertanya,
"Akan adakah kesempatan penulis menjadi sesempurna itu?
Adakah di dunia ini satu orang saja pemimpin yang sebegitu luhurnya?
Dan dengan kualitas keluhuran ini, akan aman kah dia di dunia yang dihuni banyak kecurangan dan keculasan?"
Apatis.
Dangkal.
Syukurlah, terlepas dari keawaman dan mentahnya pikiran dia
Penulis lalu tersadar.
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan untuk dijawab.
Kesepuluh Dhamma ini adalah cita-cita keluhuran yang sempurna.
Layaknya anak tangga menuju Nirvana.
Manusia memandang dari dasar dan bertanya,
"Apa mungkin aku mendaki semua anak tangga ini. Mungkinkah ada satu orang saja yang sanggup?"
Pikiran-pikiran ini akhirnya menyurutkan keinginan untuk meraih apa yang baik.
Sungguh sayang sekali.
Baik untuk dipahami.
Ajaran ini bukan tentang menjadi sempurna atau tidak sama sekali, tetapi
Sepuluh bimbingan yang bertujuan untuk mengarahkan langkah kita agar menjadi seorang pemimpin yang tauladan.
Dimana bajik dan bijak keduanya sama-sama berpijak.
Siapapun kita, kita adalah seorang pemimpin, bukan?
Setidaknya pemimpin bagi diri sendiri.
Ini bukan sebuah doktrin hitam-putih:
"Kalau tidak memenuhi kesepuluhnya, berarti batal jadi pemimpin yang baik."
Ini adalah sebuah guideline:
Sebagai seorang pemimpin, apakah sudah memiliki at least satu atau dua kualitas yang wajib dipunya?
Dengan penyadaran ini, maka penulis bertekad untuk menaiki anak tangga pertama.
Cukup baik rasanya, jika penulis bisa memiliki satu kualitas luhur dahulu.
Dan bagi penulis, anak tangga pertama dia adalah: Akkodha
Akkodha dimaknai sebagai tanpa kemarahan; tiada membenci. Memiliki emosi yang stabil tetapi memiliki ketegasan sesuai dengan kewenangannya.
Penulis yang seorang ketua kelas di salah satu sekolah, bukanlah orang yang pemarah, tetapi terkadang memiliki emosi yang sulit dikendalikan.
Ingin marah karena:
Semua berubah
Keinginan belum terwujud
Orang lain tidak paham
Kondisi tidak ideal
Kemelekatan...
Penulis merasa dirinya menderita karena yang ada di kepala dia tidak atau belum terwujud menjadi kenyataan. Namun sebenarnya memahami bahwa di dalam kenyataan ini ada banyak hal yang di luar kendali.
Yang bisa dilakukan adalah mengkondisikan isi kepalanya agar lebih sesuai dengan kenyataan.
Karena salah satu kunci terciptanya kebahagiaan adalah dengan menerima kenyataan.
"It's easier to put on slippers than to carpet the whole world," kata seorang yang bijak.
Maka penulis bertekad untuk memakai sepasang sandal ini dan memulai perjalanannya menaiki anak tangga pertama.