Maka, saya menulis.
Dinamika hubungan manusia yang penuh dengan dialektika.
Terkadang mesra.
Terkadang penuh cedera.
Di dalam kemelut hati yang terluka, muncul sebuah cerita:
Iya, aku salah.
Tapi tolong jangan tegur aku.
Aku tidak mau melihat borok itu.
Aku tahu dia ada, tapi tidak bisa tahan apabila orang lain melihatnya.
Worse, menunjuk-nunjuknya, seolah aku sendiri tidak menyadarinya.
Bahkan seorang 'aku' pun tidak mampu membedakan, mana kawan dan mana lawan.
Kalau kau kawan, mengapa tak sekalipun kau menanyakan tentangnya?
Tak nampakkah kau borok bernanah ini?
Ah, mungkin kau tidak menyebutkan dia, karena takut aku terluka.
Karena dia menganga.
Jijik.
Kalau kau lawan, aku maklum.
Kau meneteskan air garam yang pedih.
Kau bangunkan aku dari pembiaran ini.
Menggoyang-goyangkanku dari kestabilan yang dengan susah payah kupertahankan.
Karena sudah terlalu sakit.
Ah, merecoki kehidupanku yang tentram saja!
Kau Kawan atau Lawan?
Bukan keduanya.
Kamu Guru Kehidupan.
Kau bukan kawan, karena kau tak ramah.
Bukan juga seorang lawan, karena kau pun tak segan untuk menjamah.
Pergolakan ini.
Dialog di dalam kepalaku ini.
Biarlah hanya aku yang tau.
Kita saling paham bahwa kau mencium bau.
Karena kau pun bukan orang dungu.
Tapi tolong, pura-pura lah tidak tahu.
Aku malu.
Pergi.
Aku lebih baik sendiri.
Akan kuratapi lukaku ini.
Sendiri.
Maaf.
Aku belum siap.
Mengijinkan kamu merawat luka ini.
Aku masih ingin berpura-pura luka ini tidak nyata.
Nanti pada masanya.
Aku pun akan berpura-pura.
Bahwa aku baru saja menyadarinya.
Padahal sudah lama.
Aku tersiksa olehnya.
Terima kasih.
Tapi maaf.
Kupakai caramu saat kamu sudah tidak ada.
JANGAN KAMU!
Selamat tinggal.
Guru Kehidupan, yang aku terlalu malu
Bahkan untuk sekadar merindu.