Jakarta – Sengaja catatan ini dibuat dini hari menjelang Pemilu Presiden yang akan dimulai dalam hitungan jam di Indonesia. Sebab saya yakin mayoritas dari kita sudah mantap dengan pilihannya, dan biarkan tulisan ini jadi semacam bacaan ringan mengenai cara pandang lain dari seseorang pada pesta demokrasi lima tahunan ini. Sesuai dengan judul tulisan, Pemilu kali ini memang beda untuk saya pribadi. Memang Pemilu 2014 ini bukan yang pertama, saya sudah pernah menggunakan hak pilih di Pemilu 2009. Akan tetapi, rasa-rasanya baru tahun ini saya benar-benar meyakini, memilih, dan memperjuangkan pilihan hati nurani saya. Pada Pemilu Legislatif 2009, rasa skeptis ternyata sudah menjangkiti saya yang menjadi pemilih pemula saat itu. Reformasi yang dimulai sejak 98, tak membawa lompatan besar bagi bangsa Indonesia. Wal-hasil, secara pragmatis saat itu saya berfikir daripada bertanggung-jawab pada koalisi pemerintahan yang korup, saya tetap menunaikan kewajiban warga negara dengan memilih partai yang sudah tahu tak akan lolos parliamentary tresshold. Saya pun memprovokasi keluarga dan itu berhasil ssekedar menggugurkan hak pilih kami. Sedangkan di Pemilu Presiden, kontradiktifnya saya ikut dengan pilihan arus utama sebab merasa negara akan tetap berjalan, siapapun pemimpinnya. Namun, satu hal yang berbeda di tahun ini adalah adanya harapan yang teramat kuat. Rasa itu tiba-tiba datang setelah 10 tahun merasa bangsa ini jalan di tempat. Bukan berarti tidak mengapresiasi kinerja pemerintah selama ini, tapi entah rasanya ada yang kurang. Menurut saya itu adalah harapan itu tadi. Antara rakyat dan pemerintah seperti ada jurang yang lebar. Rakyat merasa negara tidak hadir dan berbuat sebisanya untuk membangun masyarakat. Di satu sisi, hal ini positif karena meningkatkan partisipasi rakyat, tapi bagaimanapun hasilnya tak akan optimal. Sedangkan pemerintah jadi serba salah. Karena tak mendapatkan kepercayaan rakyat, jadinya tak berani untuk melakukan hal-hal yang mungkin tidak populis. Padahal tak sedikit program pemerintah yang bagus seperti BPJS akan tetapi kurang dapat sorotan dari publik. Akan tetapi, tahun ini beda. Harapan itu datang dan membuat rakyat jadi sangat bergairah dengan Pemilu. Meski tidak selalu hal positif yang ditunjukkan, tapi ini adalah dinamika demokrasi kita. Tiap orang tak sungkan lagi, melalui ranah online atau offline, menunjukkan dukungannya pada pilihan politik tertentu. Di Social Media seperti Facebook dan Twitter, hal tersebut nyata terjadi. Tak jarang para simpatisan terlibat adu argumen yang tak kurang juga menjurus ke black campaign dan berkata kasar karena membela pilihannya. Memang tak sepatutnya seperti itu, tapi ya itulah dinamika. Saya coba memandang hal tersebut lebih positif bahwa berbagai sikap itu terjadi karena tiap orang punya harapan pada sosok yang didukungnya. Saya pun coba menimbang dari empat nama yang ada dalam kontestasi capres dan cawapres di Pemilu 2014. Kemudian harapan itu jatuh pada dua sosok yang pernah saya pilih dan bertemu sebelumnya dalam kesempatan berbeda, yaitu pak Jokowi-Jusuf Kalla. Baik pak Jokowi atau pak Jusuf Kalla, secara langsung pernah saya temui dan berjabat tangan. Dua kali jika dengan pak Jokowi, dan satu kali dengan pak JK yaitu saat syuting acara Jalan Keluar Kompas TV sekitar tahun 2011. Akan tetapi, pusat perhatian dan harapan, mungkin bukan hanya saya, tapi banyak orang di Indonesia tertuju pada pak Joko Widodo atau Jokowi. Beliau memang sosok yang fenomenal, tapi saya ingin menceritakannya dari pengalaman serta apa yang saya dengar selama ini.
KEMBALI KE ARTIKEL