Langit Samarinda menyala jingga kala Dimas melangkah keluar dari hotel tempatnya menginap. Usianya yang menginjak 40 tahun tak mengurangi semangatnya menjalani peran sebagai Sales Manager untuk produk cat kayu waterbased yang kini mulai banyak diminati pasar. Setelah bertahun-tahun berkarier di industri ini, Samarinda menjadi salah satu kota yang selalu membawa pengalaman baru baginya. Ada sesuatu yang menenangkan sekaligus menantang dari kota ini: kehangatan masyarakatnya dan potensi besar dalam bisnis kayu dan furnitur yang mendunia.
Hari itu, Dimas dijadwalkan bertemu Nurul, General Affair sebuah perusahaan besar yang sedang merencanakan proyek renovasi gedung mereka. Perusahaan tersebut mempertimbangkan untuk mengganti semua cat kayu lama dengan cat waterbased yang lebih ramah lingkungan.
Di Kafe Mahakam River View, tempat mereka sepakat bertemu, pemandangan Sungai Mahakam menghampar luas. Dimas tiba lebih awal, menikmati semilir angin sungai sambil menyesap kopi hitam. Sesaat kemudian, Nurul datang. Wanita berusia 32 tahun itu tampak energik dengan blus putih sederhana dan senyum ramah yang segera mencairkan suasana.
"Pak Dimas? Maaf ya, saya sedikit terlambat. Macet di jalan tadi," ucap Nurul sembari mengulurkan tangan.
"Ah, tidak apa-apa, Bu Nurul. Samarinda memang selalu penuh kejutan di jalanan," balas Dimas, menjabat tangan Nurul dengan hangat. "Silakan duduk. Sudah pesan sesuatu?"
Percakapan mereka pun dimulai, membahas rencana besar perusahaan Nurul. Dimas dengan lancar memaparkan keunggulan cat kayu waterbased yang diusung perusahaannya --- mulai dari rendahnya emisi VOC, ketahanan terhadap cuaca, hingga bagaimana produk itu bisa mendukung standar keberlanjutan lingkungan. Nurul mendengarkan dengan serius, sesekali mencatat sesuatu di buku kecilnya.
"Jadi, dengan semua keunggulan ini, cat waterbased bukan hanya solusi untuk tampilan, tapi juga untuk kelangsungan bisnis yang lebih bertanggung jawab," ujar Dimas, menutup penjelasannya.
Nurul mengangguk, matanya memandang ke arah Sungai Mahakam sejenak sebelum beralih lagi ke Dimas.
"Jujur, kami sudah lama mencari alternatif yang lebih ramah lingkungan, tapi selalu ragu dengan performanya. Penjelasan Bapak meyakinkan sekali," kata Nurul sambil tersenyum. "Tapi bagaimana dengan daya tahannya terhadap kelembapan? Kita tahu Samarinda kan cukup lembap."
Dimas tersenyum. "Itu pertanyaan bagus, Bu Nurul. Cat kami dirancang khusus untuk kondisi seperti ini. Formulasinya diuji di laboratorium dengan simulasi cuaca tropis. Bahkan, kami sudah ada testimoni dari klien di Kalimantan lainnya yang membuktikan ketahanannya hingga lebih dari lima tahun tanpa masalah berarti."
Percakapan mereka terus mengalir, tak hanya tentang produk, tapi juga soal kota Samarinda, pengalaman Dimas berkeliling Indonesia, dan cerita Nurul tentang rutinitasnya di perusahaan. Dimas tak bisa tidak mengagumi cara bicara Nurul yang lugas namun bersahaja. Sementara itu, Nurul diam-diam merasa nyaman berbicara dengan pria dewasa yang tampak begitu berdedikasi pada pekerjaannya.
Ketika malam mulai turun, suasana di kafe menjadi lebih hangat dengan lampu temaram. Nurul sempat terdiam sesaat, memandang Dimas yang tengah menjelaskan strategi implementasi. Ada sesuatu yang berbeda dari pria ini, pikirnya. Bukan hanya karena pengetahuannya, tetapi juga cara ia mendengarkan dan memberi tanggapan.
**"Pak Dimas,"** Nurul akhirnya bertanya, "apa yang membuat Bapak begitu yakin dengan produk ini?"
Dimas tersenyum lebar. "Karena saya percaya, perubahan kecil seperti beralih ke cat ramah lingkungan bisa membawa dampak besar. Saya ingin anak-anak kita nanti tetap bisa menikmati keindahan alam ini. Seperti Sungai Mahakam yang sedang kita lihat sekarang."
Jawaban itu membuat Nurul terpaku sejenak. Ada ketulusan yang terasa dalam setiap kata Dimas. Ia ingin mengutarakan sesuatu, tapi ragu-ragu.
---
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Dimas kembali ke Yogyakarta. Proyek dengan perusahaan Nurul berjalan lancar. Proposal yang ia ajukan diterima, dan kontrak segera ditandatangani. Namun, ada sesuatu yang tertinggal di Samarinda. Bukan dokumen, bukan barang, tapi kenangan percakapannya dengan Nurul.
Di sisi lain, Nurul merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Sejak pertemuan itu, bayangan Dimas sering menghampiri pikirannya. Bukan hanya karena profesionalisme pria itu, tapi juga caranya membuat percakapan yang ringan terasa berarti. Nurul sadar, ia telah menyimpan rasa yang lebih dari sekadar kekaguman.
Tapi waktu telah berlalu. Nurul terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tak sempat menghubungi Dimas. Hingga suatu hari, ketika ia tengah menikmati senja di Mahakam River View, ia menyadari perasaan itu.
**"Kenapa aku tidak mengatakannya waktu itu?"** gumam Nurul, menggenggam cangkir kopinya erat. Tapi ia tahu, Samarinda dan Mahakam masih akan menjadi saksi. Dan siapa tahu, jalan mereka akan kembali bertemu.
---
Di Yogyakarta, Dimas menatap kalender di mejanya. Ia tersenyum kecil. "Samarinda," katanya pelan. Sebuah kota yang bukan hanya menyimpan peluang bisnis, tetapi juga sesuatu yang lain --- sebuah kenangan manis di tepi Mahakam yang takkan ia lupakan.