Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Obituary untuk Jery

27 April 2011   17:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19 103 0
Where did we come from?

Why are we here?

Where do we go when we die...

Spirit Carry On - Dream Theater

Hari ini dapat kabar sedih. Tidak ada kabar yang lebih sedih daripada kabar tentang kematian seorang kenalan kita.

Dan hari ini gue dapat kabar tentang kematian Jery. Seorang petugas tukang sampah didekat kosan gw didaerah Setiabudi Jakarta Selatan. Bronchitis telah merenggut jiwanya. Ia seoranghomeless. Kebiasan tidur dipos hansip selama bertahun-tahun telah menghancurkan paru-parunya. Ia tidak pernah mengeluh sakit. Namun beberapa hari sebelumnya Ia menumpang tidur dirumah kakaknya hanya untuk terbujur kaku esok paginya

Tapi dia bukan tukang sampah biasa. Jery adalah seorang tukang sampah ajaib. Dia tukang kebersihan komplek perumahan satu-satunya yang gue kenal mengerti banyak hal dari soal politik, ekonomi sampai liga-liga bola internasional.

Pokoknya Jery satu-satunya orang yang paling update tentang berita diantara orang-orang yang nongkron diwarung kopi mpok ningsih.

Penampilan Jery mirip kaya mbah surip kalo gue bilang, tapi mpok ningsih bilang Jery lebih mirip Gombloh penyanyi tahun 80-an. Dengan rambut kriwil dan gigi ompongnya dia memang mirip penyanyi itu. Tapi gue juga pernah ngasih julukan Jery the Grouch plesetan dari Oscar the Grouch karakter di Sesame Street mahluk hijau yang hidup ditong sampah. Tapi gue pikir-pikir itu terlalu kasar.

Ga banyak orang yang tahu nama aslinya Jery kecuali berberapa orang lama setia budi seperti mpok ningsih atau babeh pitung. Gue sendiri sampai sekarang ga tau nama aslinya. Gue pernah nanya ke mpok ningsih kalau-kalau Jery dulu sebenarnya mahasiswa drop out. Tapi mpok ningsih yakinin gue klo Jery sekolahnya cuma sampai Sekolah Rakyat. Rumahnya dulu yang sekarang telah menjadi gedung imperium dijalan HR Rasuna Said.

Dari kecil Jery suka mancing dan nangkap burung. Tapi memang hobi baca. Mungkin karena itu pengetahuannya lebih luas dibandingkan orang-orang sekitarnya.

Jery suka berdiskusi dengan gue. Mungkin gue satu-satunya orang diwarung kopi itu yang masih mau diajak ngobrol serius. Dia sangat semangat kalau nanya tentang opini politik gue. Walaupun sebenarnya gue agak apatis akhir-akhir ini dan cenderung oportunis tapi Jery tidak pernah bosan minta diajari tentang teori dialektika sejarah Hegel atau tentang teori benturan peradaban Samuel Huttington.

Mungkin karena itu dia jadi memanggil gue dengan sebutan 'kawan filsuf' padahal biasanya dia panggil orang dengan sebutan bang atau coy tak perduli umurnya. Tapi lebih mending karena sebelumnya dia sempat memanggil gue dengan sebutan 'sufi' gara-gara gue ikut pengajian Hizbut Tahrir dimesjid depan gedung femina. Kata Filsuf dia dapat dari bang hamdan yang meminjam baca buku gue tentang Sartre karangan T.J Levine. Jery memang jagonya kopi paste. Sama kaya kopi hitam yang selalu dia minum setiap sore.

Jery memang bisa terlihat seperti siapa saja. Dimata gue dia seperti Marx yang berusaha keras menyelesaikan Das Kapital nya sebelum dilumat oleh paru-paru basah. Atau seperti seorang alkemis didalam novel Paulo Coelho, walaupun satu-satunya hal yang pernah gue lihat dirubah dengan ajaib olehnya hanyalah sebuah uang logam Rp 500 menjadi sebatang rokok samsu yang dia hisap dipinggir lapangan setia budi sambil cengar-cengir menunggu teman ngobrol.

Tapi gue suka melihat Jery sebagai seorang peziarah, sama seperti gue, seorang peziarah yang sedang mencari jalan pulang.

Jery seperti orang dalam lirik lagu Semisonic... maybe tomorrow, i'll found my way... home



Pernah gue kasih Jery celana bekas pakai gue. Lama gue lihat dia tidak memakai celana itu dan ternyata lebaran haji tahun itu dia memakainya sambil cengar-cengir menunggu orang selesai solat ied.

Jery tidak pernah solat, puasa dan menjalankan rukun islam lainnya, dia pernah nanya bagaimana seharusnya orang yang percaya bahwa ada Tuhan namun tidak percaya agama. Gue bilang kata yang cocok adalah 'agnostik'. Dan seperti biasa Jery langsung kopi paste sehingga setiap orang yang menanyakan agamanya dia akan bilang 'saya agnostik'.

Jery memang unik. Ia tidak pernah mengeluh tentang kesulitan hidup, apalagi penyakitnya. Ia tidak pernah mau diberi uang namun tidak akan menolak bila ditraktir kopi dan indomie, apalagi sebatang samsu.

Bronchitis telah memberitahunya bahwa waktunya telah usai didunia ini. Seperti chairil anwar yang ingin hidup seribu tahun lagi. Namun bila telah tiba waktunya, apa bedanya mati hari ini atau esok.

Selamat jalan kawan filsuf. R.I.P...... Rest  In your Pilgrim journey

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun