Ada yang menarik pada demo warga kali ini. Enam penduduk warga Rawakebo, Cempaka putih memilih untuk mengubur diri mereka hidup-hidup dengan hanya menyisakan leher dan kepalanya saja. Mereka nekat melakukan hal tersebut karena menolak atas penggusuranpada rumah mereka.
Mereka merasa berhak atas lahan rumah mereka karena mereka telah menempatinya selama puluhan tahun.
Kusen, 78 tahun, pemilik lahan tersebut mengaku bahwa ia menggarap lahan tersebut sejak tahun 1957. Namun ia memang tidak bermaksud menguasai sendiri oleh karena itu ia tidak pernah berniat mengurus sertifikat tanah tersebut. Dari 6,5 hektar lahan yang ia garap awal kini ia hanya memiliki 1.400 m2 tanah saja. Sisanya ia bagi-bagikan pada 33 kepala keluarga yang kini ikut menempati lahan tersebut.
Ceritanya jadi pelik ketika pemerintah bermaksud membangun gedung pengadilan agama diatas lahan tersebut. 33 kepala keluarga tersebut dipaksa pindah dengan kompensasi Rp. 40 juta.uang dengan jumlah sedemikian dirasa tidak mencukupi untuk dibagikan kepada 33 kepala keluarga. Kini mereka menuntut keadilan pada pemerintah. Berbagai macam demo telah mereka lakukan. Dari membakar gambar Gurbernur Fauzi Bowo hingga yang terakhir ini untuk menarik perhatian publik, mereka mengubur diri.
Demo memang bukan saja menjadi ajang penyampaian aspirasi saat ini. Dengan semakin terdistorsinya suara rakyat kecil demo menjadi ajang mencari publikasi. Dan menjadi simbiosis mutualisme dengan pers. Maka warga pun harus kreatif dan imajinatif untuk menarik perhatian.
Dalam demokrasi memang himpunan totalitas perhatian bisa menjadi suara terbanyak yang akan menjadi penilaian atas kebenaran. Banyaknya publisitas atas suatu artis bisa menjadi penilaian penting tidaknya pribadi artis tersebut. Banyaknya simpati atas seorang pejabat bisa menjadi penilaian benar atau tidaknya pejabat tersebut.
Maka demo pun harus menarik publisitas sebanyak-banyaknya. Menarik perhatian dan simpati secara masif dan berulang-ulang.
Apalagi bagi rakyat kecil yang kurang mempunyai akses terhadap keadilan hukum. Hukum boleh mempunyai kredo sama atas semua orang. Namun siapa yang bisa menyangkal tanpa kecerdikan dan uang seorang yang benar bisa menjadi salah. Pengadilan telah menjadi momok menakutkan bagi banyak rakyat kecil seolah menjadi tembok besar yang tak dapat ditembus.
Ketimpangan sosial selalu menjadi ciri setiap kota yang sedang berkembang. Tidak terkecuali Jakarta. Daya tariknya yang kuat telah membunuh penduduknya perlahan-lahan. Melalui polusi, sanitasi, ketimpangan kesempatan atau pemiskinan penduduk pinggiran.
Distribusi pendidikan yang tidak rata selalu menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang tak mungkin berujung. Mereka miskin karena mereka bodoh, mereka bodoh karena mereka tidak dapat mengecap pendidikan yang cukup, mereka tidak dapat mengecap pendidikan karena tidak ada biaya atau miskin.
Pemerintah boleh saja mengatakan bahwa pendidikan sudah dijamin melalui APBN. Namun dilapangan siapa yang dapat menutup mata atas mahalnya biaya diluar SPP siswa.
Dan kebodohan pasti akan berujung pada pemiskinan dan pembodohan. Di era informasi yang semuanya terjadi begitu cepat ini. Seorang pribadi yang mempunyai kekurangan pengetahuan akan rentan terhadap eksploitasi dan penindasan.
Jadi siapa yang dapat menjamin bahwa kemiskinan dan bentrokan horisontal antar rakyat akan berakhir? Mungkin sudah saatnya kita memikirkan sistem keadilan yang dapat menjamin hak dasar setiap rakyat. Hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk kesempatan ekonomi, hak untuk tempat tinggal layak dan hak untuk mendapatkan informasi yang berimbang. Jadi kapan?