“Ingin tahu siapa dan bagaimana dirimu? Cobalah menulis sebuah cerita lalu baca kembali tulisanmu dan posisikan dirimu sebagai pembaca.”
Setelah itu kadang kau akan menemukan betapa sedihnya dirimu, betapa mengharapnya dirimu akan sesuatu, atau betapa ambisiusnya kamu.
Menulis itu ajaib. Jika kau takut membual di dunia nyata, kau bisa membual dalam sebuah cerita hingga kau lelah dan sadar membual itu sangat memuakkan. Atau kalau tidak, jika kau takut untuk jujur. Kau bisa menulis cerita yang berisi kejujuranmu hingga habis tak bersisa lalu kau akan sadar betapa leganya dirimu sehabis itu. Menulis itu seperti mata yang melihat, telinga yang mendengar, hanya saja tak bernyawa tak bersuara. Yang lebih ajaibnya lagi, kau mungkin tak bisa jadi Tuhan bagi orang lain tapi kau bisa jadi Tuhan untuk tulisanmu. Menulis menjadikanmu orang yang luar biasa. Mungkin belum bagi orang lain, tapi sudah bagi dirimu sendiri.
Setidaknya itu pandanganku, itu yang pernah dan telah menguatkanku. Saat tak ada telinga mau mendengar atau mereka mendengar tapi terlalu penuh protes, tulisan adalah telinga semu dunia yang dengan sukarela mendengar tanpa mengkritik. Tapi percaya saja, mungkin kau akan mengkritiknya sendiri nanti. Bisa besok, satu bulan atau satu tahun lagi. Saat kau membuka dan membacanya kembali.
Terakhir, kau juga dapat bonus. Sebuah Tiket perjalanan masa lalu secara cuma-cuma dan hanya kau yang bisa menyaksikannya. Hebat bukan! (Dz)