Aku sendiri seorang pendatang di kota ini. Bukan penduduk asli dan kurang mendalam dalam hal karakter orang-orang di tempatku tinggal.
Kutanyakan hal itu dalam hati mengingat dr pengalaman kawan yang pernah cukup lama di lingkungan tersebut bahwa seringkali ajakan semacam itu adalah basa-basi. Ia telah membuktikannya. Ia memenuhi undangan berkunjung ke tempat orang yg mengajak namun responsnya biasa saja. "Bukan keramahan yg wah" seperti dalam bayangan atau harapan awalnya. Isi pembicaraan pun biasa saja bahkan, nggak begitu penting.
Hal diatas juga pernah aku rasakan. "Kok nggak pernah main sih ke G?" Kalau sekali dua kali sih nggak papa diucapkan. Ketika sudah lebih dr tiga kali aku menanggapinya serius. Aku benar-benar main ke kampung G. Ternyata bertemu dng beberapa orang termasuk yg mempertanyakan sikapnya biasa-biasa saja. Agak kecewa juga sih karena mengharap dan membayangkan keramahan yg sedikit beda dari sikap yg biasa-biasa saja.
Pertanyaan dalam pertemuan tak terduga, "Kapan nih main ke kota B?" Sering membuat aku kebingungan. Kalau ia serius kenapa tidak menelpon lagi secara khusus dan membuat ajakan serupa? Kota tersebut begitu luas. Kemana yang harus aku kunjungi. Rumahnya atau tempat pertemuan lain? Kalau main/berkunjung ke rumahnya apakah ada kepentingan yg perlu dibicarakan atau hanya ngobrol ringan. Berkunjung dari jauh tentunya harus membawa buah tangan. Perlu juga itu dipikirkan. Nggak lenggang kangkung.
Seringkali aku menemui ketidakramahan dari satu dua orang keluarga pengundang ketika telah sampai ke misalnya yang mengundang. Bagi aku, ini demikian mengganggu pikiran. Prinsip aku, "nggak mau bikin sepat mata orang" seringkali kupraktekkan. Sehingga mendingan mundur cepat2 pulang daripada ketidaknyamanan hati sendiri dan orang lain.
Apakah aku berprasangka buruk karena merasa ada kekeringan air ketulusan dan keramahan sejati? Akhirnya ku banyak bertanya. Ku bertanya kepada seorang Bugis-Makassar, kawanku. Ia bercerita bahwa dalam pengalamannya di tempatnya kala benar2 mengajak orang untuk berkunjung ke tempatnya adalah benar2 tulus. Bukan basa-basi. Orang yang diundang telah dikontak dan janji kepastian datangnya telah ada. Si pengundang seringkali malah menjemput yang diundang di suatu tempat serta mengantar sampai ke rumah pengundang. Mungkin itulah pengejawantahan prinsip atau falsafah dari ungkapan – ungkapan sikap orang-orang Bugis yang termanifestasikan lewat kata-kata: TARO ADA' TARO GAU (satunya kata dan perbuatan) atau “Sekre Kana Nijuluki” yang berarti ”satunya kata dalam perbuatan”.. Terus terang saya cocok dan setuju dengan prinsip diatas. Yah, memang sih berbagai etnis di Indonesia tentu takkan disamaratakan dengan Bugis-Makassar.
Aku kira praktek diatas perlu diadopsi. Ketulusan sejati dan keramahan yang sebenarnya memang sangat membahagiakan. Kalau belum siap ramah dan tulus, sebaiknya menahan diri dari keseringan mengucap, "kapan nih main ke rumah?" karena bagi sementara orang ungkapan itu ternyata malah memusingkan diri yang diundang.