1. Bukan cuma mementingkan simbolitas atau formalitas alias bungkus saja, tetapi juga substansi, intisarinya jauh lebih penting untuk ditangkap dan diamalkan.
2. Lebih mendahulukan dan mementingkan akhlak ketimbang teori ilmiahnya dalam pengamalan ajaran Islam.
3. Sangat memanusiakan manusia, sehingga memperlakukan manusia secara fleksibel, tidak kaku, persuasif, gradual (bertahap) dalam merubah akhlak seseorang, menghargai kemanusiaannya, sehingga orang kafir atau pendosa itu tetap dihargai kemanusiaannya, dan yang dibenci adalah kekufuran dan maksiyatnya.
4. Sangat menghargai perbedaan alias demokratis. Sehingga perbedaan yang ada dianggap sebagai unsur perekat dan harmonisasi kehidupan sosial; bukan dianggap sebagai musuh, atau penghalang.
5. Sangat apresiatif dan akomodatif terhadap budaya lokal yang baik di mana Islam itu berkembang. Islam tinggal mewarnai hal-hal yang kelirunya saja.
6. Mengembangkan konsep Islam rahmatan lil alamin, sehingga Islam disampakan dengan damai, mengajak bukan mengejek, keramahan bukan kemarahan. Selain itu sangat peduli juga dengan pelestarian lingkungan hidup sehingga bisa hidup serasi dengan alam sekitarnya.
7. Memperhatikan keseimbangan baik lahir batin, dunia dan akhirat,
hak dan kewajiban, pikir dan dzikir, juga keseimbangan ekosistem lingkungan dengan kebutuhan hidup manusia.
8. Tidak menyulitkan manusia, selalu memberi kemudahan di saat darurat, terdesak, sakit atau dalam perjalanan, tidak memaksakan sesuatu di luar kesanggupan manusia.
9. Tidak boleh berlebih-lebihan dalam segala hal, baik mencintai, membenci, menghormati, makan, minum, berpakaian dan lain-lain.
10. Moderat dan fleksibel dalam memahami ajaran agama. Tidak kaku, picik, dan terlalu ketat. Memahami hukum tidak sekedar bicara hitam-putih atau halal-haram, namun dimungkinkan mencari terobosan hukum sebagai solusi yang membawa kemaslahatan bersama.
11. Kalau tidak tahu, harus bertanya kepada ahlinya. Maka jika mau belajar agama, harus belajar dari ahlinya. Bertanya tentang tafsir, kepada ahli tafsir. Bertanya tentang hadits kepada ahli hadits. Bertanya tentang fiqih, kepada ahli fiqih dan seterusnya. Tidak cukup Islam dipahami dari terjemahan al-Qur'an dan hadits saja, karena bisa sesat dan menyesatkan. Al-Qur'an dan hadits sebagai pedoman hidup umat Islam harus dipahami dengan disiplin keilmuan yang mumpuni, tidak boleh dengan logika semata.
Untuk dapat memahami maksud ayat dan hadits, umat Islam harus belajar agama  dari guru ngaji yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah saw. Di mana para guru tersebut selalu mendasarkan pendapat mereka kepada karya-karya ulama klasik dari berbagai disiplin keilmuan. Terutama dalam bidang menafsirkan ayat dan memahami hadits, mereka membaca karya-karya para ahli tafsir seperti tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir at-Thobari, Tafsir al-Maraghi dan sebagainya. Selain itu juga menelaah ulumuttafsir (ilmu-ilmu yag berkaitan dengan penrafsian al-Qur'an seperti mengetahui asbabun Nuzul, aqsamul qur'an, amtsalul Qur'an, nasakh-mansukh, munasabah ayat, dan lain-lain).
Begitu pula dalam memahami hadits harus memahami hadits, mereka pasti menelaah kitab-kitab syarah hadits seperti syarah shohih al-Bukhary (Fathul Bari, Hidayatul Bary, 'Umdarul Qory, Irsyadus Syari dan lain-lain), syarah shohih Muslim, syarah Sunan Abi Daud ('Aunul Ma'bud), syarah Sunan At-Tirmidzy (Tuhfatul Ahwadzy) dan sebagainya. Karena itu, penting sekali seorang guru ngaji agar tidak ngawur dalam menyampaikan ajaran agama, minimal harus menguasai Nahwu Sharaf agar mereka bisa merujukkan penjelasannya dari penjelasan para ulama salaf dan khalaf yang tertuang pada kitab-kitab kuning. Â Selain itu juga bertujuan agar bisa menangkap makna ayat dan hadits secara utuh, baik dan benar.
(Cep Herry Syarifuddin, Januari 2021)