Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Pentingnya Dua Kalimah Syahadat

5 Januari 2012   15:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:17 3646 0
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduknya sebagian besar muslim. Bahkan, negara kita ini termasuk negara muslim terbesar di dunia. Apabila seluruh penduduk muslim di Timur Tengah dikumpulkan menjadi satu, jumlahnya masih lebih banyak Indonesia. Namun dengan jumlah muslim yang besar ini, kebanyakan dari mereka belum memahami benar agama yang dianutnya sendiri. Kebanyakan masih kurang memahami apa itu Islam, bahkan tidak memahami dua kalimat syahadat, kalimat yang sangat penting dalam agama iniSedikit banyak telah ada beberapa salah persepsi mengenai dua kalimat syahadat. Padahal bila kita salah dalam memahami dua kalimat syahadat ini, bisa dipastikan dalam melaksanakan ibadah selanjutnya akan ada kesalahan di sana sini. Apalagi mengucapkan dua kalimat syahadat adalah bagian dari rukun Islam yang pertama. Untuk itu marilah kita kaji kembali, mengapa dua kalimat syahadat ini begitu penting.Syahadatain (dua kalimat syahadat) menjadi penting karena merupakan asas dan dasar bagi rukun Islam lainnya, dan menjadi tiang untuk rukun iman dan dien. Syahadatain merupakan ruh, inti dan landasan seluruh ajaran Islam. Oleh karena itu syahadah menjadi sangat penting. Lebih detailnya lagi, ada beberapa hal yang menyebabkannya menjadi penting, yaitu karena: 1. Syahadah adalah pintu masuk ke dalam Islam 2. Syahadah adalah intisari ajaran Islam 3. Syahadah adalah dasar-dasar perubahan menyeluruh 4. Syahadah adalah hakikat da'wah para rasul 5. Syahadah adalah keutamaan yang besar 1. Pintu masuk ke dalam Islam Sahnya iman seseorang adalah dengan menyatakan syahadatain. Tanpa mengucapkan kalimat ini, maka amal yang dikerjakana bagaikan abu, atau fatamorgana yang terlihat tapi tidak ada. Dalam Al Qur'an Allah menyebutkannya bagaikan debu yang berterbangan, walaupun amal yang dilakukan adalah amal yang baik sekalipun, namun tidak didasari oleh syahadat. "Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan." (QS. Al Furqan[25]: 23) Allah menjadikan amal mereka bagaikan debu yang berterbangan karena mereka tidak beriman. Dengan demikian jelaslah bahwa syahadatain ini menjadi pembeda manusia, mana yang muslim dan mana yang kafir. 2. Intisari ajaran Islam Syahadah juga merupakan intisari dari ajaran Islam. Artinya, pemahaman seorang muslim terhadap agamanya (Islam), tergantung kepada pemahaman dia tentang syahadatain itu sendiri. Paling tidak ada tiga prinsip dalam kalimat syahadatain ini: 1. Pernyataan Laa ilaaha ilallah merupakan penerimaan penghambaan atau ibadah kepada Allah SWT saja. Melaksanakan minhajillah (sistem/aturan Allah SWT) merupakan ibadah kepada-Nya. 2. Menyebut "Muhammad Rasulullah" merupakan dasar bahwa penerimaan cara penghambaan itu dari Muhammad SAW. Jadi, Rasulullah merupakan teladan dan ikutan dalam mengikuti minhajillah. 3. Penghambaan kepada Allah SWT meliputi segala aspek kehidupan. Ia mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan dirinya sendiri, dan dengan masyarakatnya. 3. Dasar-dasar Perubahan Total Syahadatain merupakan dasar yang dapat merubah seorang manusia dalam aspek keyakinannya, pemikirannya, maupun jalan hidupnya. Perubahan di sini meliputi berbagai aspek kehidupan manusia secara individu atau masyarakat. Umat terdahulu langsung berubah ketika menerima kalimat syahadatain ini. Sehingga mereka yang tadinya bodoh (jahiliyah) menjadi pandai, yang kufur menjadi beriman, yang sesat mendapat hidayah, dsb. Artinya, syahadatain selain dapat merubah individu, juga mampu merubah sebuah masyarakat, misalnya yang tadinya saling bermusuhan dapat berubah menjadi masyarakat yang bersaudara di jalan Allah. Contohnya adalah masyarakat Mekkah ketika zaman Rasulullah. Ketika sebelum diutusnya Rasulullah SAW, masyarakat Mekkah ketika itu adalah masyarakat yang jahil, banyak melakukan maksiat, suka mengkubur hidup-hidup anak perempuan mereka, menyembah berhala, dsb. Namun ketika Rasulullah diutus membawa risalah dengan syahadatainnya, maka masyarakat Mekkah dapat berubah menjadi masyarakat yang penuh hidayah, menjauhi maksiat, tidak menyembah berhala, dll. 4. Hakikat Da'wah Para Rasul Syahadah juga merupakan hakikat da'wah para Rasul. Setiap Rasul semenjak nabi Adam AS hingga nabi Muhammad SAW, membawa misi da'wah yang sama, yaitu Laa ilaaha ilallah (syahadah). Da'wah mereka senantiasa membawa dan mengarahkan umatnya kepada pengabdian kepada Allah SWT saja. 5. Keutamaan yang Besar Yang terakhir yang menyebabkan syahadah itu penting adalah karena syahadah itu sendiri merupakan keutamaan yang besar. Banyak ganjaran dan pahala yang diberikan oleh Allah SWT dan dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan syahadah ini sendiri dapat menghindarkan kita dari neraka. Dalam Hadits dikatakan, "Allah SWT akan menghindarkan neraka bagi mereka yang menyebut kalimat syahadah." Atau dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, "Dua perkara yang pasti, kata Rasulullah SAW. Maka seorang sahabat bertanya, "Apakah perkara itu ya Rasulullah?" Rasulullah SAW menjawab, "Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia tetap masuk surga." (HR. Ahmad). Demikianlah kelima hal yang menyebabkan syahadatain ini menjadi sangat penting. Semoga setelah memahami hal ini, kita semakin termotivasi untuk lebih jauh memahami apa itu Syahadatain, apa itu Islam. Yang pada akhirnya, memudahkan kita dalam beribadah kepada Allah SWT. Amin. Syahadat yang Diterima Allah SWT Hudzaifah - Sebagai seorang muslim, tentu harus senantiasa mempertahankan diri agar keimanan kita tetap terjaga. Dengan kata lain, kita harus berusaha untuk menjaga kalimat syahadatain yang kita ucapkan dari kondisi kendor (futur) atau melemah. Lebih jauh lagi, kalimat Laa ilaaha illallah tidak mungkin kita aplikasikan kecuali dengan dua hal, yaitu terpenuhinya syarat-syarat syahadatain, dan tidak adanya hal-hal yang membatalkan syahadatain. Untuk itu, kita perlu mengetahui apa saja syarat-syaratnya agar kalimat syahadatain kita dapat diterima Allah SWT, dan hal-hal apa saja yang dapat membatalkannya. Artikel ini mencoba mengupas yang pertama, yaitu syarat-syarat diterimanya syahadat. Untuk bagian yang kedua, insya Allah akan dikupas pada artikel lain. Syarat Syahadatain "Syarat" adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya, maka yang disyaratkannya itu tidak sempurna atau tidak dapat terealisasi. Jadi, jika kita mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa memenuhi syarat-syaratnya, bisa dikatakan syahadat itu tidak sah. Syarat syahadatain itu sendiri ada tujuh, yaitu: 1. Pengetahuan (lawan dari kebodohan) 2. Keyakinan (lawan dari keragu-raguan) 3. Keikhlashan (lawan dari kemusyrikan) 4. Kejujuran (lawan dari kebohongan) 5. Kecintaan (lawan dari kebencian) 6. Penerimaan (lawan dari penolakan) 7. Ketundukan (lawan dari pengingkaran) 1. Pengetahuan Manusia yang menyatakan sesuatu, tentu harus mengetahui dan memahami dahulu apa yang dia ucapkan, begitu juga dengan syahadatain. Seseorang yang bersyahadat, harus memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Dia wajib memahami isi dari dua kalimat yang dia nyatakan itu, serta bersedia menerima konsekuensi ucapannya. Orang-orang yang bodoh (jahil) tentang makna syahadatain, tidak mungkin dapat mengamalkannya. Contohnya yaitu dalam kalimat Laa ilaaha illallah. Kita harus pahami bahwa kalimat ini mencakup dua dimensi, yaitu penafikan (Laa ilaaha = tiada ilah) dan penetapan (illallah = selain Allah). Artinya, kita harus mengetahui bahwa dimensi penafikan di sini berarti penolakan terhadap semua sembahan selain Allah. Dan dimensi penetapan dalam kalimat ini adalah penetapan bahwa hak Uluhiyah (ketuhanan / yang disembah) hanya bagi Allah semata. Allah SWT berfirman: "Maka ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah." (QS. Muhammad: 19) Allah SWT juga menfirmankan hal serupa dalam ayat lain, antara lain di Al Qur'an surat Ali Imran ayat :18. Lawan dari pengetahuan ini adalah ketidaktahuan akan makna syahadat (kebodohan). Mempelajari hal ini merupakan salah satu kunci mendapatkan rahmat dari Allah dan mendapatkan kebaikan. Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa meninggal, sedang ia mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang disembah kecuali Allah, ia masuk surga." (Hadits, dalam As Shahih diriwayatkan dari Usman RA.) 2. Keyakinan Keyakinan di sini berarti mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa sedikitpun keraguan terhadap makna tersebut. Artinya, seseorang yang bersyahadat mesti meyakini ucapannya dengan makna yang sebenarnya, tanpa ragu sedikitpun. Dalam Al Qur'an Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar." (QS. Al Hujurat: 15). Artinya, lawan dari keyakinan adalah keraguan. Keyakinan akan membawa seseorang kepada keistiqomahan, sedangkan keraguan akan menimbulkan kemunafikan. Dalam Hadits, juga dinyatakan sebagai berikut: Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda, "Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Tidak ada seorang hamba yang bertemu dengan Allah dengan dua kalimat ini dan tidak ragu tentang kedua-duanya, kecuali masuk surga." (HR. Muslim) 3. Keikhlashan Istilah "keikhlashan" diambil dari kata "susu murni" (al laban al khalish), yang maksudnya tidak lagi dicampuri kotoran yang merusak kemurnian dan kejernihannya. Artinya, ikhlash berarti bersihnya hati dari segala sesuatu yang bertentangan dengan makna syahadat. Dengan demikian, ucapan syahadat mesti diiringi dengan niat yang ikhlash, lillahi ta'ala. Ucapan yang bercampur dengan riya' atau kecenderungan tertentu tidak akan diterima Allah SWT. Allah SWT berfirman: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus..." (QS. Al Bayinah : 5) Syahadat sendiri merupakan bagian dari ibadah, oleh karena itu harus dilakukan dengan ikhlash. Dan ikhlash, merupakan lawan dari kemusyrikan. Setiap perbuatan yang mengandung kemusyrikan, maka akan menghapus amal perbuatan itu sendiri. Dan orang yang melakukannya menderita kerugian, karena pekerjaannya sia-sia tidak bermakna. Dan tidak ikhlash juga berarti mengadakan tandingan-tandingan selain Allah SWT selain tuhannya. Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Az Zumar : 39). 4. Kejujuran Dalam hal ini, kejujuran adalah bahwa "lahirnya" tidak boleh menyalahi "batinnya". Keduanya harus saling sesuai dan sejalan, yaitu antara lahir dan batinnya, antara ilmu dan amalnya, antara apa yang ada di dalam hatinya dengan apa yang dikerjakan oleh raganya. Oleh karena itulah pernyataan syahadat harus dinyatakan dengan lisan, diyakini dalam hati, lalu diaktualisasikan dalam amal perbuatan. Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang mengucapkan: "Tiada tuhan selain Allah" dengan jujur dalam hatinya, maka ia akan masuk surga." (HR. Bukhari). Allah SWT berfirman: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al An'am: 82) Lawan dari sikap ini adalah kebohongan yang melahirkan kemunafikan, yaitu menampakan sesuatu yang sebenarnya tak ada dalam hatinya. Atau bahwa ia menyimpan kekufuran dalam batinnya, tetapi menampakkan iman dalam lisan dan raganya. Kejujuran dan kemunafikan diuji melalui cobaan. Cobaan ini akan menjadi seleksi bagi seseorang. Sejarah menunjukkan bahwa cobaan merupakan cara untuk mengetahui siapa yang betul-betul berjuang di jalan Allah, dan siapa yang tidak bersungguh-sungguh berjuang. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman: "Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)." (QS. Al Ahzab : 33) 5. Kecintaan Kecintaan dalam hal ini yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan juga mencintai orang-orang yang beriman. "...Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah..." (QS. Al Baqarah : 165) Cinta kepada Allah SWT yang teramat sangat, merupakan sifat utama orang yang beriman. Mereka juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah SWT. Cinta juga berarti rasa suka yang dapat melapangkan dada. Ia merupakan ruh dari ibadah, sedangkan syahadatain merupakan ibadah yang paling utama. Dengan rasa cinta ini, segala perintah dan larangan akan terasa ringan, tuntutan dari syahadatain akan terasa ringan. Seseorang yang beriman, akan melimpahkan cintanya terlebih dahulu kepada Allah SWT, Rasul-Nya, dan jihad, sebelum mencintai yang lainnya. "Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS. At Taubah: 9) Dan jika seseorang ingin merasakan manisnya iman, maka ada baiknya pahami hadits berikut ini: "Tiga hal, yang barangsiapa dalam dirinya ada ketiganya, akan mendapatkan manisnya iman, bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, bila seseorang mencintai seseorang yang lain, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan apabila ia tidak ingin kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkan dirinya dari kekufuran itu sebagaimana ia tidak ingin dijebloskan ke dalam neraka." (HR. Bukhari). Cinta itu juga harus disertai amarah. Yaitu kemarahan terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan syahadat, atau dengan kata lain, semua ilmu dan amal yang menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Selain itu ia juga murka terhadap para pelaku atau pembawa ajaran dengan segala ilmu dan amal yang mereka bawa. Rasulullah SAW bersabda: "Ikatan iman yang terkuat adalah cinta karena Allah dan marah karena Allah." (HR. Thabrani dari Ikrimah dan Ibnu Abbas). Lawan dari kecintaan adalah kebencian. 6. Penerimaan Penerimaan di sini yaitu kerendahan dan ketundukan, serta penerimaan hati terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan hal ini harus membuahkan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, dengan jalan meyakini bahwa tak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran yang datang dari syariat Islam. Allah SWT berfirman: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (QS. Al Ahzab: 36) Artinya, bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain kecuali Kitabullah (Al Qur'an) dan Sunnah Rasul. Dan mukmin sendiri adalah mereka yang berhukum kepada Rasul Allah SWT dalam seluruh persoalannya, dan ia menerima secara total keputsan Rasul, tanpa ragu-ragu sedikitpun. Allah SWT berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An Nisaa: 65). Dalam Al Qur'an surat An Nur ayat 51, Allah SWT juga menfirmankan hal serupa. Lawan dari penerimaan di atas adalah penolakan atau pembangkangan. Yaitu membangkang dan berpaling dari ajaran-ajaran Rasulullah SAW dengan hatinya, sehingga ia tidak ridho dan tidak menerima ajaran-ajaran tersebut. Allah menggambarkan orang-orang seperti itu dalam ayat berikut ini: "Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan"." (QS. Thoha: 124-126) 7. Ketundukan Pernyataan syahadat harus diiringi dengan ketundukan. Ketundukan yaitu tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahiriyah. Artinya, kita harus mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Perbedaan antara "penerimaan" (yang sudah dijelaskan di atas) dengan "ketundukan" yaitu bahwa penerimaan merupakan pekerjaan hati, sedangkan ketundukan pekerjaan fisik. Dalam suatu hadits, dinyatakan: Dari Abi Muhammad Abdillah bin 'Amr bin Al 'Ash RA, berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, sehingga hawa nafsunya tunduk kepada ajaran yang aku bawa." Oleh karena itu, setiap muslim yang bersyahadat selalu siap melaksanakan ajaran Islam yang merupakan aplikasi syahadatain. Ia bertekad dan menentukan agarkan hukum dan undang-undang Allah SWT berlaku pada dirinya, keluarganya, maupun masyarakatnya. Dengan kata lain, seseorang yang mengucapkan syahadat, berarti dia juga harus mengaplikasikannya dalam amal sholeh. Dan Allah akan membalasnya dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik [839] dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An Nahl : 16) Lawan dari ketundukan adalah pengingkaran, yaitu tidak mau melakukan apa yang diperintahkan Allah atau sebaliknya, justru mengerjakan apa yang dilarang-Nya. Seseorang yang bersyahadat adalah orang-orang yang tunduk dan taat kepada Allah. Setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat syahadat di atas, maka akan timbul di dalam dirinya sikap rela dan ridho untuk diatur oleh Allah SWT, Rasulullah, dan Islam, dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan dalam setiap keadaan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun