JANUARI selalu punya cara sendiri untuk meluruhkan apa yang pernah dibangun Desember. Hujan jatuh tanpa jeda, seolah hendak mencuci kenangan, membiarkan bumi meresapi sesuatu yang baru.
Di sudut kafe kecil di pinggiran kota, mereka bertemu lagi. Seperti menemukan oase di padang sahara, setelah tahun-tahun yang terlalu panjang menunggu.
Awan, lelaki yang selalu membawa senyum seperti langit selepas badai, duduk di kursi kayu di pojok ruangan. Di depannya, meja kecil dengan dua cangkir kopi yang mengepul tipis, menawarkan kehangatan dalam dingin yang menggigit.
Di seberangnya, Kirana, perempuan yang pernah mencuri waktunya—dan hatinya—berada di sana. Matanya penuh cahaya, meski sedikit mendung bertengger di ujung bulu matanya.
“Mengapa hujan tak pernah berhenti di bulan ini?” tanyanya. Suaranya tenang, tapi ada serpihan rindu di sana yang tak bisa ia sembunyikan.
Awan tersenyum, matanya menatap keluar jendela. “Mungkin karena Januari adalah cara semesta mengajari kita untuk menumbuhkan sesuatu. Seperti pohon, Kirana. Kita butuh air untuk hidup.”
Kirana terdiam, memutar sendok kecil di cangkirnya. Waktu telah menjauhkan mereka, tapi memori tentang percakapan seperti ini tetap lekat. Awan selalu punya metafora untuk segalanya, dan itu yang membuatnya jatuh cinta bertahun-tahun lalu.
“Lalu, apa yang kita tumbuhkan kali ini?” tanyanya pelan.
Awan menatapnya. Ada jeda sebelum ia menjawab, seakan memilih kata-kata yang tak akan berakhir sia-sia. “Harapan,” katanya akhirnya.
Di luar, hujan semakin deras. Tetesannya seperti irama yang mengiringi cerita mereka. Kirana ingat bagaimana semuanya dimulai—di taman kecil, di bawah hujan yang sama. Dia ingat tawa Awan, bagaimana lelaki itu selalu membuat dunia tampak sederhana, meski saat itu mereka sama-sama tahu hidup tak pernah benar-benar mudah.
“Tapi harapan tak selalu tumbuh, Awan. Kadang ia mati bahkan sebelum sempat berakar.”
“Bukan karena hujan yang salah,” balas Awan cepat. “Kadang tanahnya memang belum siap.”
Kirana tersenyum samar, merasa kalah dengan logika lelaki itu. “Dan menurutmu, tanah ini sudah siap sekarang?”
Awan mengangguk. “Aku tak akan berada di sini kalau tidak.”
Kirana menghirup kopinya perlahan, menikmati kehangatan yang menjalar ke tubuhnya.
Ia ingin percaya, tapi hatinya belum sepenuhnya yakin. Januari adalah bulan yang penuh kebingungan, pikirnya. Di satu sisi, ia menawarkan awal baru. Di sisi lain, ia mengingatkan tentang akhir yang pernah ada.
Namun, saat ia melihat ke mata Awan, ia melihat sesuatu yang tak pernah berubah: keyakinan.
“Kirana,” suara Awan memecah lamunannya. “Aku tak tahu bagaimana caranya mengulang apa yang pernah hilang. Tapi aku ingin mencoba.”
Kirana menatap hujan di luar jendela. “Hujan tak pernah meminta maaf karena datang terlalu sering. Tapi dia selalu meninggalkan sesuatu—kehidupan. Mungkin kita bisa seperti itu.”
Awan tersenyum lebar. “Kamu selalu punya cara untuk mengalahkanku dengan kata-kata.”
Di luar, hujan mulai reda. Matahari samar-samar muncul di balik awan, seperti mengintip apakah mereka sudah siap untuk memulai lagi. Di dalam kafe, mereka duduk berdua, dengan secangkir harapan yang baru mulai tumbuh.
Dan Januari pun menjadi saksi bahwa cinta, seperti hujan, selalu tahu cara untuk kembali. ■