AI, singkatan untuk artificial intelligence, adalah kata yang tak lagi asing, namun tetap misterius. Sepuluh tahun lalu, ia bagai sesuatu dari cerita Asimov atau layar "2001: A Space Odyssey." Kini, ia seperti cahaya matahari di jendela kita -- menerobos perlahan, menyinari, tetapi tidak selalu kita sadari.
Orang dahulu bekerja dengan tangan, keringat, dan waktu yang menguras kehidupan mereka. Lalu datang mesin, dan "pekerja" baru lahir -- bukan lagi otot, melainkan kode-kode yang tak pernah tidur.
Kita, misalnya, mulai mempercayakan catatan rapat kita kepada transcriber AI yang bekerja lebih cepat dari notulen terbaik. Kita meminta AI menggambar, menulis, bahkan memberi saran, "Apa makan malam terbaik hari ini?" Manusia kemudian menjadi pemimpi, AI menjadi pelaksana.
Tapi ada kutipan Hannah Arendt yang menghantui: "Apa yang kita lakukan di dunia ini bergantung pada apa yang kita pikirkan tentang diri kita." Jika AI lebih cepat berpikir, siapakah kita?
Di dunia perdagangan, AI adalah juru tak terlihat. Pernahkah Anda berpikir, barang yang Anda beli dalam satu klik itu sesungguhnya direncanakan bertemu dengan Anda sejak berbulan lalu? Ia mempelajari kebiasaan kita, merekam jam kita terjaga, bahkan menit kita ragu-ragu. "Barang ini akan cocok dengan celana yang Anda beli minggu lalu," bisiknya tanpa suara.
Sokrates pernah berkata bahwa hidup yang tidak diperiksa adalah hidup yang tak layak dijalani. Tapi di zaman AI, kita hidup tanpa perlu memeriksa: AI tahu segalanya lebih dulu.
Namun, bukan cuma belanja dan bekerja. Hiburan kita pun semakin tak lagi milik kita. Film yang kita tonton adalah hasil rekomendasi algoritma. Lagu yang kita dengar adalah prediksi selera kita. Bahkan ketika kita tak tahu mau menonton apa, AI memberi kita pilihan. "Hidup Anda saya sederhanakan," begitu ia berjanji. Tapi pernahkah kita bertanya, berapa banyak kebebasan yang kita gadaikan di tangan algoritma? Jacques Ellul, seorang filsuf teknologi, mengingatkan, "Kita tidak bisa memiliki teknologi tanpa efek samping, tanpa risiko bagi kebebasan kita."
Lantas, apa yang tertinggal dari kita?
Di ruang-ruang digital, kita dikelilingi oleh perhitungan yang nyaris sempurna, di mana setiap gerak kita diterjemahkan menjadi angka.Hidup berjalan lancar, tetapi kita semakin jarang terkejut. Tiada lagi kebetulan. Tiada lagi pertemuan yang tak sengaja. AI meredam kekacauan, tetapi ia mungkin memadamkan sebagian keajaiban hidup.
Namun, seperti Prometheus yang mencuri api dari para dewa, kita telah mencuri kemampuan berpikir dan memberikannya kepada mesin. Masalahnya, api bisa menghangatkan, tetapi bisa juga membakar. Di masa depan, siapa yang memegang kendali?
Dan jika suatu pagi, seorang anak bertanya, "Ibu, kenapa kita tidak lagi berpikir?" Sang ibu mungkin akan menjawab, "Karena mesin melakukannya lebih baik." Tapi apakah jawaban itu yang kita inginkan? Atau, seperti filsuf Kant berbisik, "Sapere aude -- beranilah berpikir untuk diri sendiri."
AI memang menciptakan dunia yang nyaman, tetapi kenyamanan seringkali menggoda kita untuk berhenti bertanya. Dan barangkali, di sinilah kita akan diuji: di antara kode-kode yang semakin sempurna, mampukah kita tetap menjadi manusia?
Bogor, 18 Desember 2024