Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Ilusi

29 April 2012   05:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59 123 0
Irwan segera berwudhu ketika ia mendengar adzan salat dzuhur yang terdengar dari sebuah mesjid tak jauh dari rumahnya. Setelah berwudhu, ia mengganti pakaian hariannya dengan baju koko berwarna putih bersih dan ia juga memakai sarung berwarna biru dengan motif kotak-kotak.

Setelah itu, tanpa pamitan dengan Ibunya yang sedang memasak makan siang, ia pergi ke mesjid Orang tua Irwan sudah terbiasa dengan kebiasaan anaknya yang terkadang pergi tanpa pamitan. ‘Paling hanya ke warung atau ke rumah temannya,’ begitu kata orang tuanya. Merka berpikiran kalau anaknya tak mungkin pergi jauh.

Letak mesjid tak jauh dari rumahnya. Di pintu masuk mesjid tertulis ‘Ar-Rahman’ yang merupakan nama mesjid tersebut.

Setelah sampai, ia langsung memasuki mesjid dan melaksanakan salat qabliyah sebelum melaksanakan salat Dzuhur. Irwan termasuk anak yang rajin salat dan taat agama. Semua salat sunah dan wajib ia laksanakan. Begitu juga dengan puasa. Ia selalu melaksanakannya. Padahal orang tuanya tidak menyuruhnya begitu. Orang tuanya sendiri sampai bingung kenapa anaknya sampai rajin sekali dalam hal agama.

Setelah salat, ia berzikir dan berdo’a. “Ya Allah. Tolong harmoniskan hubungan Ayah dan Ibuku,” ia mulai berdo’a. “Tolong kembalikan hubungan mereka seperti dulu. Aku nggak mau mereka berantem terus,” ia mulai meratap. Memang sudah setahun ini hubungan antara Ayah dan Ibunya kurang harmonis. Karena keadaan ekonomi keluarga yang tak kunjung membaik. Irwan pun menangis dalam do’a nya. Keadaan keluarganya itu telah membuatnya terpukul. Ia tidak mempermasalahkan keadaan ekonominya tapi hubungan orang tuanya yang tidak harmonis. Apalagi kejadian ini sudah berlangsung selama setahun.

Setelah selesai berdo’a, ada seorang pria yang menghampirinya. Penampilannya bersih. Kulitnya sawo matang. Irwan tidak mengenali pria itu. Pria itu duduk di sebelahnya dan tersenyum kepadanya. Irwan membalas senyuman pria itu.

“Kenapa kamu nangis pas berdo’a tadi?” Tanya pria itu. “Nggak apa-apa. Emang kadang saya kalo lagi berdo’a suka menangis,” jawab Irwan sambil mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. “Apa ada masalah yang menimpa kamu?” Tanya pria itu lagi. “Nggak ada kok,” jawab Irwan gugup.

“Ayolah. Ceritakan saja. Saya siap mendengarkan. Saya janji deh nggak bakal kasih tau siapa-siapa,” pria itu meyakinkan Irwan. Irwan ragu untuk menceritakannya. Tapi ada perasaan percaya yang tumbuh kepada orang itu. Entah bagaimana rasa percaya itu bisa ada kepada orang yang baru ditemuinya itu. Akhirnya Irwan menceritakan masalah yang ia hadapi kepada pria itu. Pria itu merespon dengan nasihat-nasihat dan kata-kata bijak yang menggugah hati Irwan.

Tidak hanya curhat mengenai masalah yang ia hadapi saja, ia dan pria itu juga ngobrol tentang banyak hal. Terutama mengenai agama dan jihad. Irwan pun merasa cocok ngobrol dengan pria itu. Karena pengetahuan pria itu sangat luas. Apalagi tentang agama. Karena di sekolahnya, Irwan tak banyak mendapat pengetahuan mengenai agama. Akhirnya mereka saling berkenalan. Ternyata nama pria itu adalah Farhan. Ia tidak tinggal di daerah rumah Irwan. Ia tinggal di kota lain. Tak jauh dari rumah Irwan.

Setelah pertemuan pertama itu, mereka sering sekali bertemu di Mesjid Ar-Rahman. Berdiskusi mengenai banyak hal. Terutama mengenai jihad. Irwan sempet bingung mengapa Farhan lebih tertarik berdiskusi mengenai jihad. Tapi Irwan tak memedulikannya.

Suatu saat Farhan mengajak Irwan pergi. “Kamu ingin masuk surga kan?” Tanya Farhan. Irwan mengangguk dengan mantap. “Kamu ikut saya sekarang, yuk,” ajak Farhan.
“Kemana?”
“Suatu tempat. Kita akan berjihad di jalan Allah, Di jalan yang benar.”
“Berjihad? Tapi saya nggak bisa berperang.”
“Bukan perang kok. Hal lain. Tapi masih masuk kategori jihad. Dan bila kamu melakukan hal ini, kamu akan masuk surga. Pasti.”

Pertma Irwan menolak. Tapi, Farhan terus memberi tahunya bahwa ini kesempatan bagus kalau ia ingin masuk surga. Tak hanya itu saja, Farhan juga mendoktrin Irwan mengenai jihad yang benar itu.

“Kamu tahu kan bahwa kafir itu musuh Islam?” Tanya Farhan. Irwan mengangguk. “Nah, kita harus berperang melawan kafir,” jawab Farhan. “Gimana caranya?” Tanya Irwan penasaran. “Nanti saya kasih tahu,” ujar Frhan enteng.

Akhirnya Irwan memutuskan untuk ikut Farhan pergi ke suatu tempat. Ya, ia pergi tanpa seizin kedua orang tuanya. Ia tak tahu Farhan membawanya kemana.
Irwan sampai di suatu desa yang ia tak tahu nama desa itu apa. Ia mengira pasti desa ini masih ada di propinsi Jawa Tengah. Udaranya sejuk sekali sama seperti tempat tinggal Irwan.

Ternyata Frahan membawa Irwan ke sebuah pesantren. Di sana, Irwan diajarkan banyak hal. Terutama agama dan jihad. Selama setahun dia dididik di pesantren itu. Entah bagaimana, ia tidak merasakan rindu kepada orang tuanya. Padahal ia sudah setahun tak memberi kabar ke orang tuanya. Yang ia rasakan sekarang adalah dendam membara kepada orang-orang kafir yang telah menghancurkan Islam.

“Apa kamu sudah siap untuk berjihad? Mati di jalan Allah?” Tanya Farhan di suatu kesempatan. Ia mengangguk dengan mantap. “Siap sekali,” jawabnya. Setelah itu, ia dan temannya yang bernama Nanda dibawa ke Jakarta. Mereka juga tidak tahu apa tujuannya di bawa ke kota Jakarta.

“Nanti kamu harus melakukan sebuah rencana,” Farhan memberi tahu kepada mereka berdua ketika sampai di sebuah kontrakan yang berada di daerah Kuningan. “Apa itu?” Tanya Nanda. “Nanti saya akan beri tahu lagi,” jawab Farhan.

Dua hari kemudian, pemimpin pesantern dating mengunjungi Irwan, Nanda, dan Farhan. Ternyata pemimpin itu adalah Noordin M Top. Mereka semua salng berjabat tangan. Di sana, Noordin menjelaskan rencana yang harus dijalankan oleh Nanda dan Irwan. Ternyata rencana itu adalah bom bunuh diri yang akan diledakkan di Hotel J.W Marriott dan Ritz-Carlton. Mereka berdua sempat ragu untuk menjalankan rencana itu. Tapi, Noordin meyakinkan mereka bahwa mereka akan masuk surga setelah itu. “Ini jihad, Nak,” ujarnya bijaksana. “Kalian akan masuk surga. Percayalah.”

Akhrinya mereka setuju. Sebelum menjalakan rencana, mereka melakukan survey dulu. Mereka harsu meledakkan diri di restoran yang ada di masing-masing hotel pada saat jam tujuh pagi. Ketika hampir semua penghuni hotel berada di restoran itu untuk sarapan.

Pada hari yang direncanakan, Irwan dan Nanda check in. Nanda di J.W Marriott dan Irwan di Ritz-Carlton. Irwan menghuni kamar 1808. Tentu saja, Irwan tidak membawa bom saat check in. Bom akan di serahkan ke Irwan sehari sebelum hari-H. Tentu dengan bantuan karyawan hotel.

Tiga hari kemudian, Irwan menerima sebuah tas yag berisi bom. Ia harus melaksanakan rencananya besok pagi.

Keesokan harinya sekitar pukul tujuh kurang lima belas menit, Irwan turun menuju restoran. Ia membawa tas yang berisi bom. Ia berjalan dengan santai agar tak dicurigai oleh satpam. Ia pun sampai di restoran yang ada di Ritz-Carlton. Suasananya cukup ramai. Kebanyakan mereka sedang sarapan dan mereka semua rata-rata adalah orang bule. Dasar orang kafir jahanam, kata Irwan dalam hati. Ia langsung memencet tombol pemicum bom.

“DUARRRRRR!” bom meledak dengan suara keras. Irwan merasa tubuhnya sangat ringan sekali. Ia melihat tubuhnya sendiri tergeletak hancur berantakan. Tiba-tiba ia merasa sedih sekali. Sedih melihat tubuhnya seperti itu. Hancur. Ia melihat keadaan sekelilingnya. Hancur berantakan juga. Terdengar suara jeritan beberapa orang yang terluka. Terdengar suara alarm mobil yang diparkir di depan restoran yang meledak.

Entah eknapa, ia merasa menyesal. Menyesal karena telah melakukan ini semua. Melakukan hal yang amat sangat bodoh. Apa ini benar jihad? Ada sesuatu yang aneh di sini. Tiba-tiba ia merasa ini adalah jihad yang salah. Ia yakin sekali itu. Jihad yang benar adalah ikut perang di Irak atau Afganistan untuk membela Islam. Bukan dengan cara seperti ini. Ini cara yang salah. Ia mulai menangis. Rasa bersalah, menyesal, dan lainnya menjadi satu. Bersalah karena telah mengikuti satu ajaran islam yang sesat. Menyesal karena telah membuat orang-orang terluka dan bahkan meninggal. Dan sedih karena harus meninggalkan dunia yang fana ini. Meningalkan semuanya. Meninggalkan rumah, orang tuanya yang pasti sangat mengkhawatirkan keadaan dirinya karena sudah setahun tak ada kabar, meninggalkan teman-teman sekolah dan sepupu-sepupunya yang sangat ia sayangi.

Ia menangsi tersedu-sedu. Menyesali perbuatannya. Sayang tak ada jalan untuk berbalik. Waktu tak bisa dikembalikan lagi. Ia harus menerima hukuman dari Allah. Hukuman yang setimpal. Meskipun masih ada secercah harapan kalau tindakan yang ia lakukan ini adalah benar.

Hidup itu bagaikan berjalan di jalan tol. Kita tak bisa berputar balik untuk memperbaiki semuanya. Kita hanya bisa mengingat, menyesali, mengagumi, manyanjung, menangisi, dan memarahi apa yang telah kita atau oang lain perbuat terhadap kita. Itulah hidup. ^_^

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun