Aku adalah orang Jawa Timur. Aku dilahirkan dan dibesarkan di Sidoarjo. Aku memutuskan untuk merantau ke Ibu Kota saat aku berumur lima belas tahun. Aku memutuskan untuk merantau bukan tanpa alasan. Aku tidak betah tinggal di rumah. Karena Ibuku sangatlah galak dan memperlakukan aku semena-mena layaknya seorang pembantu. Dari siang hari ketika aku pulang sekolah, hingga larut malam aku harus mengerjalan semua pekerjaan rumah. Tapi buatku itu tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika aku melakukan kesalahan, bukan nasihat yang aku terima. Tapi yang aku terima adalah kekejaman fisik dan kemarahan Ibu. Aku ditampar berkali-kali hingga pipiku merah. Aku juga terkadang dipukuli oleh Ibu dan disiram air dingin.
Aku benar-benar menderita karena sifat Ibu itu. Ibu juga jarang sekali berada di rumah. Ia sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Memang dulunya Ibu tak bersikap begitu kepadaku. Tapi semenjak Ayah meninggalkan kami, Ibu jadi labil. Mudah marah dan menjadi kasar kepadaku.
Karena tidak tahan denga sikap Ibu itu, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Tentu saja aku sudah mempersiapkan semuanya. Mulai dari ongkos hingga bekal makanan. Kejadian itu sudah dua puluh tahun berlalu.
Sesampainya di Jakarta, aku bingung karena sisa uangku hanya cukup untuk makan hari itu saja. Aku harus mencari cara agar aku bisa makan besok. Sempat terlintas untuk mencopet. Tapi aku takut ketahuan dan akan berujung petaka bagiku.
Ketika sedang berdiri sendiri di terminal, tiba-tiba datang seorang wanita paruh baya. Namanya Ibu Ita. Umurnya kira-kira empat puluhan.
“Kamu kenapa? Kok sendirian?” tanyanya. “Saya baru datang dari Sidoarjo, Bu,” jawabku. “Mau kerja?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. “Kamu mau saya kasih kerjaan?” ia menawarkan. “Boleh, Bu,” jawabku sumringah. “Pokoknya kamu bakal gampang dapet duitnya,” ia berpromosi. Setelah itu, kami saling berkenalan dan Ibu Ita membawaku ke rumahnya untuk diberi pekerjaan.
Ternyata pekerjaan yang aku dapat sangatlah mudah. Aku hanya bertugas menemani seorang pria mengobrol dengan teman-temannya (teman-teman pria itu juga ditemani oleh wanita lain yang seumuran aku). Dan bila pria yang aku temani membeli minuman, maka aku mendapat upah sebesar lima puluh ribu rupiah per botolnya. Jadi, jika ia membeli dua botol minuman, aku bisa mendapat seratus ribu rupiah! Tentu saja aku tak hanya diam menemani pria itu mengobrol. Aku juga diharuskan untuk terlibat dalam obrolan itu dan juga aku harus menawarkan ia minum.
Selama dua tahun, aku menekuni pekerjaan itu. Aku sangat tergiur sekali dengan kemudahan pekerjaan itu dan kemudahan dalam mendapatkan uang yang sangat berlimpah. Bayangkan saja dalam sehari aku bisa mendapatkan dua ratus ribu rupiah. Itu juga kalau aku hanya menemani satu pria. Kalau dalam sehari aku menemani tiga pria sekaligus, aku bisa mendapatkan enam ratus ribu rupiah! Sungguh luar biasa bagiku.
Dari hasil pekerjaanku itu, aku sudah bisa menghidupi diriku sendiri. Aku bisa kos di tempat yang lebih bagus, bisa membeli HP keluaran terbaru yang canggih dan mahal. Bahkan aku bisa menyicil motor juga. Untuk urusan makan, aku tak perlu khawatir. Karena penghasilanku sehari saja bisa untuk makan untuk beberapa hari ke depan. Sempat terlintas di pikiranku untuk mengirim sebgian penghasilanku ke Ibu di Sidoarjo. Tapi aku langsung mengurungkan niat itu. Aku takut kalau ditanya mengenai pekerjaanku. Lagi pula aku benci terhadap Ibu yang sudah memperlakukan aku semena-mena selama aku di Sidoarjo. Kalau Ibu tak seperti itu, aku sekarang pasti masih ada di rumah.
Menginjak tahun ketiga, Ibu Ita menawarkan aku pekerjaan yang lebih. Tentu dengan bayaran yang lebih tinggi juga. “Kamu harus melepas keperawanan-mu,” ujar Ibu Ita. Aku terhenyak dengan perkataan Ibu Ita. Aku bingung harus bagaimana.
“Saya pikir-pikir dulu, Bu,” jawabku gugup. “Kalau kamu menolak, kamu tidak usah bekerja dengan saya lagi,” tambah Ibu Ita. Sekali lagi aku terhenyak oleh perkataan Ibu Ita. Sepertinya itu sebuah ancaman, pikirku. Dan pasti aku harus menerima tawaran itu.
Aku sempat memikirkan tawaran Ibu Ita itu. Memang tak mudah untuk memutuskan apakah aku akan melepas pertahananku begitu saja atau tidak. Tapi karena aku tergiur dengan bayaran yang lebih tinggi, aku memutuskan untuk menyetujui penawaran Ibu Ita itu. Bagiku uamg adalah segala-galanya. Tak bisa dipungkiri kalau manusia tak bisa hidup tanpa uang. Dan tak ada yang gratis di dunia ini.
Keesokan harinya, aku harus merelakan melepas pertahananku. Aku benar-benar tak menyesal dengan keputusanku itu. Yang ada di pikiranku waktu itu hanyalah bayaran hasil hubungan terlarang ini. Benar saja, aku mendapat bayaran sebesar satu juta rupiah saat itu. Aku senang sekali ketika mendapat bayaran itu. Alhasil, aku melanjutkan pekerjaanku itu, Ya, sekarang aku adalah Pekerja Seks Komersial atau PSK. Hampir setiap malam, aku tidur dengan laki-laki hidung belang. Bukan kepuasan seksual yang aku cari. Tapi uang yang aku cari.
Cukup lama aku menekuni pekerjaan haram ini. Dan aku benar-benar berpikiran duniawi sekali. Aku tak pernah salat. Bahkan mengingat Allah yang telah menciptakan aku saja tidak pernah. Bisa dibilang aku ini muslim hanya dari KTP saja.
Pernah datang tawaran untuk bertaubat dan meninggalkan pekerjaan haram ini. Tawaran itu dating adri Aisyah, salah satu temanku yang tinggalnya tak jauh dari kos. Ia adalah wanita yang saleh dan taat beragama. Ia tahu mengenai pekerjaanku ini. Berkali-kali ia meminta kepadaku untuk berhenti dari pekerjaanku ini. Tapi aku tolak mentah-mentah.
“Nggak ah. Gue masih muda. Umur gue pasti masih panjang. Jadi gue mau menikmati hidup dulu,” jawabku enteng. “Hidup tuh jangan dibuat rumit. Dinikmati aja. Hidupku kan Cuma sekali,” candaku. Ia hanya tersenyum tipis mendengar jawaban entengku.
Aku pun makin terlarut dan makin menyukai pekerjaanku ini. Ini adalah pekerjaan paling mudah sedunia, pikirku.
Pemikiranku langsung berubah sekitar dua tahun yang lalu. Ketika bangun tidur di pagi hari, aku merasa pusing sekali. Perutku mual sampai-sampai aku ingin muntah. Ada apa ini? Tanyaku dalam hati. Semalam aku baik-baik saja. Aku piker aku hanya masuk angina biasa karena terlalu sering keluar malam. Jadi aku hanya beli obat di warung.
Tapi sudah seminggu, aku tetap mual-mual. Karena sakit itu, aku tak bisa bekerja. Akhirnya aku memutuskan untuk ke dokter. Dan hasil pemeriksaan dokter sungguh mengejutkanku. Aku dinyatakan hamil. Aku benar-benar tak percaya dengan hasil itu. Bagaimana bisa hamil? Selama ini aku selalu memastikan pria yang tidur denganku memakai pengaman. Aku langsung menangis dan hampir pingsan di rumah sakit.
Aku mengakui mengenai kehamilanku kepada Ibu Ita. Dan ia langsung mengusirku. “Kamu tak usah bekerja lagi!” bentaknya. Tak mau berdebat, aku langsung pergi ke kos dan curhat ke Aisyah. Tentu saja ia kaget setengah mati. Tapi kemudian ia menenangkanku. Aku sudah tak mau peduli lagi siapa Ayah biologis dari anak yang sedang aku kandung ini. Yang jelas, aku tak mau mengugurkannya.
Aisyah menyarankan aku untuk salat dan curhat kepada Allah. “Apa gue masih pantas untuk salat? Apa gue masih pantas untuk bersujud memohon ampun?” ujarku. “Pasti Allah tak mengampuni kesalahan gue. Kesalahan gue terlampau besar,” sambungku sambil terisak menangis. “Allah Maha Pengampun, Ran,” jawab Aisyah. “Sebesar apapun kesalahan yang dilakukan seseorang, pasti Allah mengampuninya. Asal orang itu mau memohon ampun kepada-Nya. Bertaubat,” tambah Aisyah.
“Sekarang lo salat. Mohon ampun dan berjanji nggak akan melakukan pekerjaan haram itu,” saran Aisyah. “Tapi gue malu,” ujarku. “Malu kenapa? Ama Allah nggak usah malu kali, Ran,” jawabnya. Akhirnya aku menyetujuinya. Setelah wudhu, aku salat. Selesai salat, dengan tertunduk malu aku memohon ampun atas kesalahanku selama ini. Aku tak tahu apakah Dia akan mengampuniku atau tidak. Aku hanya pasrah saja.
Penderitaanku tidak sampai begitu saja. Aku juga dinyatakan positif menderita HIV AIDS. Begitu juga dengan bayi yang sedang aku kandung. Lalu aku mendapat kabar kalau Ibuku meninggal karena kecelakaan lalu-lintas. Ya Allah cobaan ini terasa berat sekali, kataku dalam hati. Tapi aku harus tetap tegar dan terus menjalani hidup. Untung saja Aisyah tetap mendampingiku setiap saat. Sehingga aku bisa menata hidupku lagi.
Sekarang aku menjadi pengurus mesjid. Aku juga sudah memakai jilbab sebagai tanda aku sudah berubah dan ingin menjadi orang yang saleh dan selalu taat beragama dan selalu mengingat Allah. Selamanya.