Tol Cipularang, 02.00 a.m., Wanda memacu Honda Civic-nya dengan kecepatan 120 km/jam. Ia terburu-buru untuk menjenguk Ibunya di Jakarta yang tiba-tiba masuk rumah sakit karena jatuh di kamar mandi. Ia tadinya sedang tertidur pulas, terpaksa bangun karena mendapat telpon dari pembantunya yang biasa mengurus Ibunya. Dan sekarang ia terpaksa memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kebetulan juga jalan sedang sepi.
Mobilnya sedang berada di lajur tengah. Dari sebelah kanan, menyalip sebuah Kijang Innova hitam. Wanda tidak memedulikan mobil tersebut. Ia tetap berkonsentrai ke jalan sambil mendengarkan lagu. Mata Wanda sempat melirik ke sebelah kanan untuk melihat sedang berada di kilometer berapakah dia sekarang. Ternyata ia baru saja memasuki kilometer 68.
Pandangannya beralih lagi ke jalan. Tiba-tiba Innova yang tadi menyalipnya terbalik dan menghalangi jalan mobil Wanda. Ia langsung mengerem mobilnya. Tapi percuma jarak antara Innova dan mobilnya terlalu dekat.
“BRAAAKKK!” mobil bertabrakan. Kantung udara langsung menyembul ketika kepala Wanda hampir membentur setir. Wanda tak sadarkan diri.
Keesokan harinya beberapa petugas polisi dan ambulans mengevakuasi Wanda dan mobilnya. Wanda hanya terluka ringan di bagian kaki, tangan, dan lecet di kepala. Sedangkan mobilnya rusak parah di bagian depan.
“Aneh,” kata Ronald, seorang polisi sambil memandangi bagian depan mobil Wanda yang ringsek. “Sebenarnya apa yang terjadi ampe ini mobil ringsek,” ia terheran-heran. “Nggak ada pembatas jalan yang rusak atau lecet,” sambung yang lain. “Satu-satunya tanda cuma jejak roda akibat mengerem mendadak,” ujar Ronald lagi sambil menunjuk noda hitam di jalan. “Apa yang ditabrak mobil ini?” Ronald terheran-heran.
Ia bingung karena tidak ada mobil lain yang terlibat kecelakaan dengan mobil Wanda. Menurut polisi ini adalah kecelakaan tunggal yang aneh.
Cuaca mendung dan angin cukup kencang. Ari, pacar Wanda baru saja datang di lokasi kejadian kecelakaan. Suasananya masih ramai oleh polisi dan beberapa petugas Jasamarga. Sedangkan Wanda sudah dibawa ke rumah sakit. Ia segera menghampiri mobil Wanda yang belum diderek.
“Ya Allah,” ucap Ari saat melihat keadaan mobil Wanda yang ringsek. “Apa benar ini kecelakaan tunggal?” tanya Ari kepada seorang petugas polisi yang sedang berdiri tak jauh darinya.
“Belum tau, Pak,” jawab polisi itu. “Seharusnya mobil ini kalau tidak menabrak mobil, bisa saja mobil ini menabrak pembatas jalan. Tapi hal ini mustahil karena kami tidak menemukan bekas tabrakan di pembatas jalan. Jadi, mungkin mobil ini menabrak mobil lain. Tapi mobil yang ditabrak hilang tanpa jejak. Entah mobil itu melarikan diri atau apa. Satu-satunya petunjuk hanyalah jejak roda yang hitam itu.”
Ari melangkah menuju jejak roda berwarna hitam. Ia berjongkok dan memperhatikannya. Sepertinya Wanda mengerem sangat keras sehingga menghasilkan jejak seperti ini, pikirnya. Tapi kalau mobil Wanda menabrak mobil lain, seharusnya juga ada jejak roda dari mobil itu, ia menganalisa bagaikan seorang detektif. Ia menelusuri lokasi kejadian yang diberikan garis polisi untuk mencari jejak roda dari mobil yang ditabrak. Tapi hasilnya nihil.
Ia teringat pada cerita temannya mengenai Mobil Pencabut Nyawa yang bergentayangan di sekitar Tol Cipularang tepatnya di KM 68 hingga KM 72. Ia memutuskan untuk mencari tahu dengan cara menelusuri Tol Cipularang nanti malam sendirian.
Tol Cipularang, 01.00 a.m., Ari mengendarai Nissan Livina-nya di Tol Cipularang menuju Jakarta. Dengan tujuan membuktikan kebenaran dan peran Mobil Pencabut Nyawa dalam kecelakaan mobil Wanda. Ia terus memacu mobilnya dengan kecepatan 140 km/jam. Jalanan sangat lengang. Hanya ada mobilnya dan sebuah Kijang Innova hitam yang berada di depan mobil Ari. Tak ada yang janggal dengan Innova itu. Hanya saja Ari tak bisa melihat nomor polisi mobil tersebut.
Tulisan ‘KM 68’ sudah di depan mata. Jantungnya berdegup kencang takut ada sesuatu yang aneh terjadi. Ia terus berkonsentrasi ke jalan dan tetap waspada dengan keadaan di sekelilingnya. Entah apa yang terjadi tiba-tiba Innova yang ada di depan mobil Ari terbalik. Refleks, Ari langsung menginjak rem sekeras-kerasnya sehingga ban mobilnya berdecit kencang. Ia membanting setirnya ke kiri dan ia melewati mobil itu yang sudah terbalik. Ari segera memberhentikan mobilnya di bahu jalan. Ia keluar dari mobil untuk melihat mobil yang tadi terbalik.
Tapi aneh mobil yang tadi terbalik hilang entah kemana. Ia yakin sekali posisi mobil itu tak jauh dari ia sekarang berhenti. Ia mengernyitkan dahi dan mencari alasan yang masuk akal mengenai hilangnya mobil tersebut. Tapi ia malah menjadi bingung sendiri. Ia segera masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan.
Sekarang ia berada di KM 70. Masih berada di zona Mobil Pencabut Nyawa. Ketika sedang mengendarai mobil dengan tenang, tiba-tiba dari belakang ada sebuah mobil yang ngedim-ngedim* mobil Ari. Karena tak mau terlibat dalam balapan ilegal, ia memberi jalan kepada mobil tersebut. Ia berpindah jalur ke jalur tengah dari jalur kanan. Anehnya, mobil itu malah mengikuti Ari berpindah jalur sambil terus ngedim. Ari menjadi sedikit kesal. Ia pun menginjak pedal gas dalam-dalam sehingga kecepatan mobil melonjak menjadi 120 km/jam dari yang tadi hanya 80 km/jam.
Mobil yang dibelakang juga ikut-ikutan menambah kecepatan sambil terus mengedim dan mengikuti Ari berpindah jalur. Ari terus melihat spion untuk memantau keberadaan mobil yang mengesalkan itu. Mobil itu masih terus mengikutinya. Karena terlalu sering melihat spion, Ari lengah untuk melihat keadaan di depan mobilnya. Ia tak tahu kalau tak jauh dari mobilnya ada sebuah bis. Ia baru menyadari keberadaan bis tersebut ketika jarak mobilnya dengan bis sudah sangat dekat.
Ia langsung membanting setir ke kanan. Mobilnya kehilangan kendali. Meskipun mobil Ari sudah melewati bis, ia masih berusaha untuk mengendalikan mobilnya. Akhirnya mobil Ari berhenti di jalur kiri. Bis yang tadi hampir ia tabrak berhenti. Seseorang yang sepertinya adalah kernet dari bis tersebut menghampiri mobil Ari dan mengetuk-ngetuk jendela.
“Apa Anda baik-baik saja?” tanya kernet. Ari membuka jendela dan ia mengangguk. “Saya baik-baik saja. Terima kasih,” jawabnya dengan gugup. “Apa tadi Anda melihat mobil di belakang saya?” tanya Ari. “ Mobil?” kernet itu bingung. “Nggak ada mobil lagi. Hanya mobil Anda saja. Sumpah,” jawab kernet itu masih bingung. “Nggak mungkin,” ujar Ari yang kemudian pingsan.
*Ngedim: memberi tanda berupa lampu kalo ada mobil yang ingin menyalip.