Saya sangat menyayangkan terkait kejadian buruk yang terjadi di Fakultas Sastra Universitas Jember. Beberapa minggu yang lalu sekelompok mahasiswa menyebarkan selembar gagasannya, berisi seputar wacana diskriminasi yang dilakukan elit kampus terhadap kebebasan berpendapat. Ada satu hal yang menarik dari tulisan mereka yaitu, anggapan mereka bahwa ‘Birokrat Babi’ hanya bisa menyampaikan teori usang di dalam kelas, meskipun mereka sendiri tak mampu merealisasikan. Saya rasa mereka benar, diawali dengan ketidaktahuan para pengajar terkait teori. Wah, banyak yang dangkal di fakultas ini, entah sampai kapan akan terus dianggap sebagai aib.
Beberapa hari setelah hari penyebaran selebaran tersebut, mereka dipanggil oleh Dekanat (Dekan, Pembantu Dekan III, Pembantu Dekan II), Fakultas Sastra Universitas Jember (FS-UJ). Secara jantan dan bertanggung jawab mereka pun kemudian datang ke ruang Dekanat. Parahnya ruangan itu mirip pengadilan bar-bar. Mereka tak diberi banyak waktu untuk menyampaikan gagasannya, namun yang muncul ialah ancaman dan makian dari Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III. Beberapa hari setelah itu, di saat mahasiswa yang lain rampung menggarap persyaratan akademik untuk menempuh mata kuliah di semester. Para mahasiswa penyebar selebaran tersebut justru dipaksa untuk tidak boleh melangsungkan perkuliahan sampai enam bulan ke depan.
Bukan hal yang aneh jika elit birokrasi kampus cenderung berwatak pragmantis. Dalam artian jenjang profesi bagi mereka lebih penting daripada menghargai ktirik yang terus bermunculan. Bukankah kita sama-sama berada pada lingkungan akademis. Kampus sebagai ruang berdialognya para intelektual hanya jadi semboyan lapuk semata.
Seharusnya dalam ruang yang penuh sesak para kaum intelektual ini, hasrat untuk berkuasa harus ditekan seminim mungkin. Jika ditinjau ulang, lahirnya objektivitas berdasarkan orok-orok yang dihimpun dari beragam subjektivitas yang muncul. Masing-masing subjektivitas dirasionalkan ulang untuk memasak konsensus. Maka dari itu tak ada proses kerja yang bisa dilakukan dengan sendirinya tanpa melibatkan unsur-unsur di luar dirinya.
Suburnya kritikan harus seimbang dengan kemauan untuk menanggapinya dengan cara sebagaimana kaum intelek bertindak. Bukan malah melawannya sebagaimana musuh. Bahkan yang paling bodoh, jika harus merespon kritik dengan mengandalkan jabatan yang secara struktural lebih tinggi daripada si pengkritik. Hasrat tersebut dianggap oleh Aristoteles sebagai sifat kehewanan yang muncul ketika manusia berhasrat untuk mendominasi. Padahal satu hal yang membedakan antara manusia dengan hewan hanya satu hal. Yaitu karena dalam diri manusia tertanam kekuatan untuk berpikir dan merasionalisasi tindakkannya.
Pemimpin yang besar itu para pemimpin yang menghargainya jasa para kritikus. Namun yang ada dalam kampus saya, segala bentuk kritikan yang muncul akan segera dihantam dengan intimidasi. Lantas orang macam apa yang menempati posisi sebagai elite birokrasi kampus jika mereka takut pada kritik. Percuma saja mengaku pernah bertahun-tahun bedialektika dalam organisasi mahasiswa jika tak mampu memerdekakan mahasiswa. Melalui analisis yang sangat sederhana saja sudah bisa dibaca jika hanya mementingkan hasrat untuk berkuasa.
Realitanya para elit birokrasi kampus kita sekarang ini mengeksekusi program kerja dengan cara menebarkan ketakutan. Tentu saja yang bermunculan di ruang publik hanyalah intruksi. Tak ada ruang bagi mereka di luar kelompok elit yang mampu menyampaikan gagasannya. Para sejarawan di sini berfungsi sebagai apa jika mereka diam saja ketika sistem kampus dipaksa berperilaku sebagaimana sistem mekanik yang dianut kerajaan.
Sebagaimana argumen usang terkait bilamana sebuah kampus adalah laboratorium mini, ibarat sebuah negara. Maka sudah seharusnya kampus mengeksekusi banyak hal agar kesehatan iklim demokrasi tetap terjaga. Menurut Roger H. Soltau, tujuan sebuah negara ialah memungkinkan rakyatnya leluasa bergerak untuk berekspresi, maka seharusnya para elit kampus mengupayakan para mahasiswanya agar “Berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin”. Sedangkan bagi Harold J. Laski, seharusnya elit kampus “Menciptakan keadaan di mana rakyatnya (mahasiswa) dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal”.
Namun bukan hal yang aneh jika demokrasi hanya sekedar teori belaka. Bagaimana tidak, jangankan menerapkannya, cara mereka mentrasfer pengetahuan kepada mahasiswa pun purba sekali. Melaui mekanisme text book atau hanya membaca ulang teks yang tertera dalam slide.
Barangkali yang terpenting bagi kita bukanlah seberapa banyak membaca buku, seberapa kuat beradu mulut atau fisik, akan tetapi seberapa pintar membaca realita sosial disekitar. Jika dipikirkan ulang lebih dalam, hakekat pendidikan adalah mencetak manusia yang memanusiakan manusia. Dalam pandangan Pauolo Freire, pendidikan tidak lain adalah proses penyadaran kembali setelah masyarakat mendapat penindasan, hegemoni, maupun kepentingan-kepentingan politis tertentu. Reproduksi pemikiran kritis itulah yang akan memicu pembongkaran terhadap sistem sosial yang tidak adil. Dalam artian, kesadaran kritis akan melahirkan anak didik yang steril dari hegemoni maupun kepentingan.
Masyarakat akan lebih peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di sekitar mereka dengan pendidikan ktiris. Bagi freire, pendidikan bukan hanya melahirkan manusia untuk sekedar ‘mengetahui’ kemudian menghimpun pengetahuan, Banking Concept of Education, Sistem Pendidikan Gaya Bank, menerima dan menyimpan tanpa mengkritisi berbagai macam konsep, teori, informasi, data. Kaum terdidik harus mampu mengkritisi sistem yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Dengan kata lain, tak hanya menyimpan wacana pendidikan, namun menguji pengetahuanya di wilayah empiris. Berupaya mengangkat hak kelas tertindas menuju kelas yang setara dengan masyarakat lainya.
Kurikulum dan tumpukan tugas dari institusi pendidikan memang menjadikan kita manusia yang dehumanis. Menjauhkan kita dari realita di luar institusi an sich. Tanpa kita sadari konsumen institusi pendidikan terbelenggu dalam ruang kecil. Seakan kita punya dunia sendiri di luar dunia nyata. Negeri di atas awan.
Kontradiksi disiplin ilmu tak pernah kita temukan di masyarakat jika tak ada perintah dari skenario kurikulum untuk mempraktekkanya. Tentunya hanya menjadi suatu ilmu pengetahuan yang siap memberi kejutan pada pasar. Bukan hal yang aneh jika saya mengatakan, kita berenang dalam institusi pendidikan agar siap menjadi pekerja bagi pemodal asing yang mengeruk kekayaan negri ini. Apakah ijazah hanya dicari untuk memenuhi hasrat individualis, tanpa sedikitpun terdapat kadar nurani dalam jiwa kita yang berkeinginan untuk mendonorkanya pada masyarakat?
Pernahkah kita berpikir, atau bereksperimen untuk menciptakan formulasi kurikulum, yang dapat membakar rasa cinta terhadap tanah air. Dengan kata lain, bagaimana agar pendidikan menciptakan kepekaan tinggi pada kepentingan bangsa di atas kepentingan individu. Pendidikan yang membawa misi kemanusiaan yang menyelamatkan bangsa dari konflik suku, agama, ras, dan adat istiadat (SARA). Membangun pondasi bangsa yang berbalut nilai-nilai kedamaian di tengah heterogenitas budaya. Pendidikan juga harus bisa menumbuhkan semangat nasionalisme. Berupaya sekuat tenaga untuk menanamkan rasa persaudaraan, kesetiakawanan, persamaan, dan perasaan senasib. Nah, para elit birokrat FS-UJ saya rasa tak pernah mendapatkan formulasi kurikulum semacam ini.[]