Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

(Flores) Kalau “Untung” di Istana Ular

6 Oktober 2012   06:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:11 1222 1

Kata orang-orang tentang Istana Ular, gua ini menjadi rumah bagi puluhan bahkan (konon) bisa ratusan ular, maka langkah berikutnya adalah.....membuktikannya sendiri.

Istana Ular terletak di Daleng, sekitar 70 kilometer atau 1,5-2 jam berkendara dari Labuan Bajo, Flores. Letaknya di tengah-tengah antara Labuan Bajo dan Ruteng, tepatnya di Lembor.

Kami berangkat jam 7 pagi dan tiba di Lembor sekitar jam 9. Dari Lembor, sekitar 7 kilometer ada Desa Daleng Timur, yang merupakan jalan masuk menuju Gua Istana Ular.

Gua Istana Ular sendiri terletak di Desa Galang, Kec. Welak, Kab. Manggarai Barat. Kawasan ini berada pada "lingko" (tanah) warga kampung Galang dan Weto. (terima kasih banyak Pak Tommy Rapak untuk koreksinya).

Meskipun masih pagi, cuaca amatlah hangat (baca: panas). Kami berhenti di warung, dan segera dikerumuni para penduduk.

Tur ke Istana Ular ini belum terorganisir. Dari bahasa daerah yang saya tebak-tebak artinya,  para Bapak itu saling tunjuk ketika diminta untuk mengantar saya ke gua.

Masalah pertama menurut Pak Sipri (38 tahun), warga Kampung Heak, Desa Daleng, adalah kita harus jalan kaki yang lumayan jauh. Alternatif pakai motor ada, tapi kita akan harus turun berkali-kali karena di beberapa titik, jalan bebatuan itu sama sekali tidak bersahabat untuk ban motor yang ditumpangi 2 orang.

Saya dan Om Donatus (supir saya yang sangat sabar) memutuskan untuk ambil motor, meninggalkan mobil dan memakai jasa pemandu.

Dari hitungan Garmin, jarak antara warung tempat parkir mobil sampai ke ujung jalan rusak sekitar 2 km.

Kita pakai 2 motor dan baru sekitar 20 menit, motor saya berhenti. Bensin habis rupanya, hingga tetes terakhir.

Dengan santai, Pak Sipri meninggalkan motor dan mengajak saya jalan kaki. "Tenang, tak bakal hilang" kata Pak Sipri, sambil menitipkan pesan kepada penduduk yg lewat untuk beli bensin di kampung dan mengaitkannya di setang. Luar biasa!

Medannya lumayan, menanjak, batuan dan sangatlah kering. Rupanya hujan tidak turun di daerah ini sejak bulan Juni. Berarti hampir 4 bulan, karena waktu saya berkunjung yaitu awal September 2012.

Sekitar 4 kilometer dan 2 botol air kemudian, tibalah kami di puncak bukit. "Ini guanya?" Tanya saya antusias. "Bukan, masih satu bukit lagi" jawab Pak Sipri tenang.

Lalu kami menuruni lereng bukit terakhir dan Pak Sipri menunjuk bukit kecil di seberang sungai. "Itu gua-nya. Kita harus seberangi sungai."

Ada seorang laki-laki tua, umurnya sekitar 60 tahun. Namanya Pak Gabriel, beliau hidup seorang diri di rumah ladang itu. Beliau tuli dan bisu, namun dari senyum dan gerakan tubuhnya, beliau ini amat ramah. Pak Sipri memperkenalkan kami kepada beliau sebagai pemandu yang akan membawa kami ke gua. Saya tambah deg deg-an. Baru kali ini dipandu oleh pemandu seperti beliau ke lokasi yang juga kurang umum.

Sungai Wae Raho ini digunakan untuk irigasi, airnya cukup deras. Lebarnya sekitar 30-50 meter. Mendekati gua, saya tak tahan untuk bertanya "di sini ada ular juga nggak?". "O, iya kadang-kadang kalau kita beruntung, daerah ini banyak ular juga kok".

Semakin mendekati gua, rasanya semakin berada dalam adegan film Anaconda atau film-film model Indiana Jones.

Setelah menyeberang sungai, kita mesti memanjat tebing sedikit berpegangan pada akar-akar kayu.

"Sambil lihat-lihat ya naiknya, kadang ular-ular suka berjemur disini" kata Pak Sipri dan Om Natus mengingatkan.

Dan tibalah kami di Istana Ular

Mulut gua-nya tidak terlalu besar, sekitar 5 meter dan bisa masuk berdiri tanpa menunduk.

Pandangan pertama kami tertumbuk pada selongsong kulit ular di depan mulut gua. Pak Gabriel mengambilnya dengan tongkat untuk diperlihatkan pada kami.

Lalu, menuruti saran Om Donatus, ketiganya masuk duluan tanpa saya, untuk melihat apakah ada ular di dalam atau tidak.

Berdiri sendirian di depan mulut gua dengan wejangan untuk selalu awas akan kedatangan ular, bukanlah pengalaman yang terlalu menyenangkan. Saya mulai merasa sedikit penyesalan. Duh, kalau mau lihat ular, kenapa saya gak datang saja ke kebun binatang saja sih?? Di sini kan rumah mereka beneran. Saya mulai merasa seperti tamu tak diundang.

Baru sebentar, ketiga laki-laki tersebut lari ke luar gua. "Ada ular, 3 ekor, bagus! Sepertinya jenis phyton" lapor Om Natus penuh semangat.

Lalu giliran saya masuk. Senter kecil itu temaram sudah cahayanya. Baru sekitar 5 meter ke dalam gua, perbedaan temperatur sangat terasa. Di dalam gua lebih panas, mungkin 3 derajat celcius lebih panas dan pengap. Baunya tidak enak.

"Jangan pegang dinding gua" desis Pak Sipri dari belakang, membuat saya nyaris terlompat kaget.

Dan...tampaklah si phyton bermotif batik hitam kuning itu bergelung di cerukan gua dekat dengan atap gua. Posisinya menggulung membentuk tumpukan. Memotretnya rada susah, karena posisinya miring, gelap dan jantung saya yang mulai terdengar detaknya mengacaukan konsentrasi.

Tiba-tiba Pak Gabriel menoleh ke arah saya sambil tersenyum. Menunjuk ke arah belakang kepala saya. Rupanya ada ular lain yang sedang tidur memanjang (entah tidur atau tidak)

Jaraknya dengan saya tidak sampai satu jangkauan tangan.

Tanpa bisa ditahan, saya lari tunggang langgang ke luar gua.

Pak Sipri mengejar saya, "Ayoo jangan lari, di dalam masih ada rajanya, lebih besar lagi. Bagus deh"

Tapi saya enggan kembali ke dalam bertemu dengan sang Raja. Selain mesti melewati lumpur becek, jujur saya jiper. Senter temaram, tidak bawa obat bahkan Betadine sekalipun membuat niat saya untuk menyusur gua lenyap seketika. Disitu saya merasa sedih (karena begitu teledor).

"Lagian kalau ada apa-apa, jauh kita jalannya" bisik Om Natus. Beliau gengsi mengakui kalau sebenarnya jiper juga.

Satu hal lain, adalah komunikasi kami yang sangat terbatas dengan Pak Gabriel. Beliau tidak mendengar atau dapat memberitahu kami kalau ada ular mendekat. Senyumnya yang terkena cahaya senter saya masih terbayang ketika tangannya menunjuk ular besar yang sedang selonjoran itu.

Menurut Pak SIpri biasanya ular-ular berada di mulut gua itu. Kami sedang "sial" karena hanya bertemu dengan yang di dalam saja. "Bisa puluhan ada di sini, rata-rata ular hijau atau phyton". Entahlah benar atau tidak, yang jelas saya sama sekali tidak merasa sial.

Lokasi ini juga dijadikan lokasi shooting untuk National Geography. Ketika shooting,sang host mengalami kecelakaan tergigit ular dan menurut Om Natus harus diterbangkan ke Singapore sebelum melanjutkan shooting.

Gua ini juga merupakan rumah bagi kalelawar, sehingga mungkin bau menyengat itu bisa jadi dari kotoran kalelawar atau mungkin ada bangkai, entahlah.

Setelah mengagumi gua ular dan tanpa memperoleh info lebih lanjut tentang legenda setempat mengenai keberadaan gua ular ini, kami meninggalkan lokasi.

Saya dan Pak Sipri sebelum memasuki terowongan. Foto oleh Donatus

Pak Sipri mengajak kami mengambil jalan pintas memotong bukti dari terowongan air. Menurut beliau, terowongan air ini menjadi jalan pintas penduduk desa untuk ke pasar.

Terowongannya terletak di dekat sungai. Tapi hari itu sungai tidak dialirkan ke terowongan tersebut.

Dari mulut terowongan, jarak ke ujung seberang terowongan terlihat dekat. Tapi ketika di dalam, ternyata tidak sedekat itu. Ada sekitar 15 menit kami berjalan kaki, melewati genangan air tertatih dalam gelap. Sayang penerimaan satelit hilang, jadi tidak bisa terukur panjang terowongan tersebut.

"Apakah ada ular juga disini? tanya saya. "Ada juga, kalau sedang beruntung" jawab Pak Sipri. Ah, Pak Sipri ini memang sangat optimistis, selalu ingat kalau "sedang beruntung". Menjelang akhir terowongan, ada sebatang kayu pohon jambu disenderkan di dinding terowongan dan kita harus memanjat ke atas.

Bagi saya lokasi gua Istana Ular ini sangat menarik. Meskipun jalur tempuh ke sana relatif panas dan kering. Tapi daerah ini punya pesonanya sendiri.

Yang harus diperhatikan jika Anda juga berniat ke sini

Pertama: bawa obat-obatan. Kalau perlu anti bisa, perban, alkohol. Lalu pakai topi dan baju lengan panjang. Bawa senter cadangan dan batere. Paling enak pakai senter kepala. Bawa pisau di kaki, jika (jangan sampai) terjadi situasi darurat bertengkar dengan ular.

Pastikan Anda mendapatkan guide yang paham akan kondisi gua dan bisa berkomunikasi.

Bawa makan siang dan cadangan air yang banyak. Sisanya: berhati-hati-lah. Istana Ular bukanlah kebun binatang dan situasi di dalam gua tidak bisa diprediksi. Pentingkan faktor keamanan daripada keingintahuan.

Kadang akan ada penduduk yang menawarkan untuk melakukan upacara adat. Tujuannya untuk mengundang ular dan melindungi Keselamatan. Biasanya mengorbankan 1 ekor ayam. Biaya silahkan dikonsultasikan.

Ada lokasi pantai-pantai sepi di seputaran Lembor, misalnya Pantai Mbrenang. Kalau jalan sudah bagus, jalan tersebut bisa membawa kita ke Dintor, jalan menuju Pulau Mules atau Wae Rebo.

Rekap Biaya

Karena saya menyewa mobil, jadi kurang tahu berapa biaya ojek atau angkutan umum dari Labuan Bajo-Daleng. Motor menuju lokasi akhir jalan jelek bisa disewa sekitar Rp 20,000 pp. Tapi kalau mau sampai dekat lokasi bisa sekitar Rp 50,000. Biaya pemandu belum ada standar, berikan seikhlasnya. Tapi saya menyarankan dengan resiko yang ditanggung pemandu, sebaiknya memberikan Rp 50,000 ke atas.

Teks dan Foto: Diella Dachlan, Flores Explore.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun