Baru genap seminggu saat aku membaca kabar pelantikan menteri kesehatan di koran lokal. Begitu juga diportal berita KOMPAS, bagaimana menteri baru tersebut mengkampanyekan penggunaan kondom bagi seks beresiko. Sekarang pemberitaan seputar kebijakan sang menteri semakin mencuat dan menebar banyak kontroversi. Ibu menteri sempat berujar bahwa beliau akan berupaya menggalakan pelayanan dan pendidikan kontrasepsi bagi kalangan remaja yang kisaran usianya 15-24 tahun. Hal ini didasari oleh laporan dari data BKKBN, banyak perempuan pada rentang usia tersebut yang melakukan aborsi. Karena kebanyakan remaja sekarang telah melakukankegiatan seksual dengan pasangannya secara aktif tanpa dilatari pemahaman akan pentingnya alat kontrasepsi. Dan kondom, mungkin dimata Ibu menteri sebagai kontrasepsi praktis paling aman dan murah untuk dijangkau kalangan remaja yang bebas kebablasan.
Indonesia sebagai negara beragama, dimana umat Muslim mencapai 85 persen dari 240.271.522 penduduknya, kontan saja mengecam kebijakan menteri yang ditengarai semakin membuka pintu zina di kalangan remaja. Sejatinya, dalam Agama apapun, seks pranikah selalu dilarang karena membawa bencana. Dalam Kristen pagan misalnya, ketika membaca novel legendaris Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthrone, kita semua tahu bahwa zina dalam agama Kristen dianggap aib memalukan. Dalam novel tersebut diceritakan tentang seorang perempuan bernama Hester Prynne yang harus menanggung malu dan berjuang hidup dalam penderitaan dan kesepian karena ia dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat sebab telah melakukan zina dan melahirkan seorang putri dari hasil perbuatan terlarang. Bahkan Hester harus di kenai sanksi sosial seumur hidup tidak hanya dengan dikucilkan, melainkan juga harus memakai tanda huruf “A” berwarna merah didadanya. Sebagai simbol bahwa dia telah melakukan dosa besar yang dilarang Tuhan. Dus, tingginya angka aborsi dikalangan perempuan muda, bukan mutlak dilakukan karena kurangnya pemahaman akan pentingnya alat kontrasepsi seperti yang dinsinyalir Ibu menteri, tetapi MUTLAK karena kurangmya pemahaman AGAMA, kurangnya MORAL dan lunturnya rasa malu dikalangan remaja masakini.
Dengan dalih mendukung program MDGs 2015 (Millenium Development Goals) yaitu mengurangi aborsi, pencegahan dan penularan penyakit menular, Ibu menteri yang sudah genap menginjak umur 72 tahun tersebut menggalakan kampanye penggunaan kondom sebagai tindakan preventif paling efektif. Masalahnya, mereka para remaja yang menjadi sasaran utama peluru kampanye kondom kali ini. Bagaimanapun, remaja menjadi target kondomisasi dengan dalih seks aman karena tergolong pelaku seks beresiko sejatinya sangat jauh dari logika. Bukankah dalam tatrikal nyata, mereka yang lebih aktif secara seksual adalah kalangan dewasa yang sudah menikah. Jika remaja dipandang sebagai pelaku seks aktif, secara tidak langsung pemerintah sudah menganggap perbuatan zina itu dihalalkan dan berstatus legal. Sehingga program utama menteri saat ini bukan lagi memberantas seks bebas dikalangan remaja, tapi mendukung, menyokong dan memfasilitasi zina dengan kampanye kondom secara masif. Oh apa kata dunia?
Kalau sudah begini fungsi kondom menjadi BOCOR dan tidak lagi menjadi alat kontrasepsi paling aman mencegah penyakit seksual. Justru menjadi PINTU SENTRAL bagi remaja untukmelakukan seks bebas tanpa rasa takut sebab sudah direstui Ibu menteri. Melegalisasi hubungan seks bebas, yup! Itulah fungsi utama kondom kalau sudah BOCOR, bocor dalam artian sebab disalah fungsikan. Get what I mean?
Dengan kampanye kondom dikalangan remaja, maka secara otomatis pemerintah sudah melegalkan seks bebas. Dan mereka para remaja pasti akan semakin menggila melakukan hubungan seks diluar nikah sebab merasa aman dengan keberadaan kondom. Alasan pertama, kondom bisa mencegah kehamilan, kedua, kondom bisa mencegah terjadinya HIV AIDS, dan yang paling utama, kondom sudah dilegalkan. Fungsi BOCOR inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kebanyakan remaja dengan seenaknya melakukan kegiatan yang belum seharusnya dilakukan mereka. Dan jika hasil kedepannya kondomisasi ternyata tidak mampu mengurangi angka aborsi ataupun menekan jumlah penderita HIV AIDS, melainkan kian memperparah prilaku seks bebas dikalangan remaja, kepada Ibu menteri, saya persilahkan anda untuk gigit jari!
Menilik kasus ini, MDGs yang jadi target pembangunan seolah menjadi racun berbalut madu. Manis untuk di aplikasikan tapi racun menanti di ujung gerbang. Terutama bagi remaja tanpa moral yang nekat menggunakan kondom untuk memuluskan seks bebas. Berpikirlah sedikit jernih wahai Ibu menteri! Tidak semuanya baik untuk orang kebanyakan. Begitu juga dengan pelegalan kondom. Kalangan Muslim dan semua umat beragama WAJIB menolak kondomisasi. Sebab realitanya, hanya ada satu solusi efektif untuk seks aman. Berhubungan seks dengan pasangan sah, alias mereka yang sudah nikah. Sementara bagi mereka yang sudah resmi suami-istri jangan sekali-sekali jajan di luar. Inilah yang harus dikampanyekan dengan gencar. Sehingga, tingginya kasus aborsi dan hamil diluar nikah bisa ditekan. Dan penyebaran penyakit kelamin maupun HIV AIDS pun bisa diminimalisir.
Pesan yang ingin saya sampaikan disni adalah bukan bukan suatu kebijakan efektif jika melegalkan kondom sebagai solusi mencegah aborsi dan HIV AIDS dikalangan remaja. Yang harus dilempengkan itu MORAL, dimana moral remaja saat ini semakin hari makin bergeser dan berkiblat hebat ke arah BARAT. Kita yang katanya bangga sebagai orang timur tapi kenyataannya malah kebarat-baratan. Keren banget gitu ya? Sehingga sangat tidak lucu ketika menyaksikan denga mata kepala, orang-orang berkampanye membagikan kondom gratis dengan mencantumkan kata “berbagi kasih” demi menyelamatkan generasi bangsa. PARADOKS sekali saudara-saudara. Sebab ini bukan mencegah namanya, tapi menyulut. Sehingga jangan lagi heran jika suatu saat terjadi kebakaran. Kebakaran moral yang menghanguskan kehormatan dan martabat kita sebagai bangsa timur.
Lalu bagaimana solusinya? Kembali ke tujuan dan target awal, jika menteri kelimpungan dengan adanya praktek aborsi hingga melonjak ke angka 2,3 juta setiap tahunnya, akar masalahnya adalah seks bebas. Begitu juga jika menteri berusaha mencegah penularan penyakit HIV AIDS dan penyakit kelamin lainnya, akar masalahnya lagi- lagi adalah seks bebas. Sehingga solusinya pun menjadi gamblang, yang wajib dilakukan adalah menghindarkan masyarakat dengan seks bebas, lebih rasional dan lebih baik, ketimbang berkampanye melegalkan kondom. Padahal kita tahu dalam Undang Undang, mereka yang belum menikah tidak dapat diberikan alat kontrasepsi. Dalam hal ini, Ibu menteri bahkan lebih memilih menabrak hukum daripada berdamai dengan aturan negara.
Sebelum terlambat, mulailah dari sekarang untuk melibatkan diri mendukung kampanye anti kondomisasi. Sebab sekali lagi, bukan kondom yang menjadi satu-satunya jalan keluar tetapi individu dan moralnya. Logikanya, biar banyak kondom menjejali pasaran Indonesia, tapi dengan moral yang baik tidak akan ada cerita seks bebas dan penyakit kelamin, sebaliknya jika moral pas-pasan lalu terpengaruh lingkungan yang tidak sehat, kondom mampu menjadi senjata vital yang merusak moral. Yang perlahan menggesernya menjadi bejat. Sehingga seks bebas dipandang sebagai suatu kewajaran bukan sesuatu yang tabu dan dilarang. Naudzubillah..
Pict's taken from this portal