Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Perpustakaan dan Pembangunan Desa

27 Maret 2011   09:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:23 71 0
Tak bisa diragukan lagi bahwa perpustakaan adalah salah satu tempat untuk mendapatkan ilmu yaitu membaca. Membaca bukan lagi kebutuhan bagi mereka yang melek dengan pendidikan khususnya pendidikan formal tapi juga mereka yang memiliki minat membaca walaupun tidak memiliki latarbelakang pendidikan. Terlebih sekarang, kemajuan jaman menuntut semua orang untuk bisa maju, sejajar dan seirama dengan perkembangan akan perubahan yang terus berlangsung. Oleh karena itu perpustakaan adalah tempat yang cocok untuk mendapatkan pelbagai ilmu dan informasi yang sudah, sedang dan akan berlangsung.

Namun kesadaran akan perubahan yang menuntut setiap orang untuk maju hanya bisa dilihat di kota saja. Sedangkan mereka yang tinggal di desa nampaknya belum mengetahui apalagi merasakan manfaat yang nyata akan keberadaan sebuah perpustakaan. Bagi mereka ilmu pengetahuan menjadi nomor sekian dalam prioritas kebutuhan. Bekerja dan mencari sesuap nasi adalah kebutuhan utama. Oleh karena itu kemajuan akan ilmu dan informasi masih cukup sulit "dimakan" oleh masyarakat desa, kecuali lewat pengajian-pengajian.

Adanya pengajian-pengajian tersebut sebetulnya sudah lumayan dalam menambah perbendaharaan ilmu yang mereka miliki. Tapi, seringkali pengisi pengajiannya (ustadznya) kerap kali mengulang topik dan tema yang sama. Karenannya ilmu masyarakat pun seakan jalan ditempat. Bahkan bukan jalan ditempat tapi diam stagnan khususnya menyangkut ilmu non-agama.

Oleh karena itu keberadaan perpustakaan di desa adalah sebuah solusi alternatif sebagai media dan tempat bagi warga masyarakat desa untuk menambah ilmu pengetahuan. Sehingga secara perlahan-lahan mereka bisa "berjalan" menyusuri jalan kemajuan. Tak mustahil manfaat yang lain juga bisa mereka rasakan seperti ilmu-ilmu praktis dalam menjalankan usaha mereka.

Namun kendala yang harus dihadapi lebih dulu adalah bagaimana perpustakaan itu bisa diminati, bisa dikunjungi oleh warga masyarakat. Bagaimana perpustakaan seakan dijadikan rumah "ketiga" bagi mereka setelah rumah mereka sendiri dan tempat ibadah.

Tentu kita berharap semua lapisan masyarakat desa bisa ikut datang mengunjungi perpustakaan. Tapi saya pikir kita lebih memprioritaskan anak-anak terlebih dahulu. Hal itu karena anak-anak adalah generasi penerus orang tua mereka. Walhasil ketika anak-anak sudah bisa akrab dengan perpustakaan, intim dengan budaya membaca maka tidak mustahil 5-10 tahun mendatang "peradaban desa" akan terwujud.

Ada beberapa langkah yang bisa kita digunakan supaya anak-anak gemar ke perpustakaan.

Pertama, tata ruang perpustakaan. Ini penting karena bagi anak-anak ruang yang menggugah akan berbanding lurus dengan tergugahnya mereka untuk datang ke perpustakaan. Dunia anak-anak biasanya tak jauh dari gambar dan warna-warna. Karena itu konsep yang mesti dibangun dalam membuat ruang perpustakaan adalah bagaimana gambar dan warna menjadi sebuah "rumah imajinasi" bagi anak-anak. Dengan demikian anak-anak akan merasa senang dan nyaman untuk betah dan berlama-lama diperpustakaan.

Kedua, koleksi buku. Ini penting mengingat anak-anak adalah prioritas pengunjung utama. Maka koleksi buku yang berkaitan dengan anak-anak mesti ada dan menarik perhatian mereka untuk membaca. Buku dengan konten cerita berpadu dengan warna dan gambar akan membuat anak-anak senang, tertarik dan gemar membaca. Terutama bagi anak-anak usia 7-10 tahun.

Ketiga, event for children. Ini penting karena perpustakaan bukan hanya dibangun untuk tempat belajar saja melainkan juga sebagai tempat rekreasi. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan bagi anak-anak mesti ada. Misalnya lomba membaca, menulis, menggambar, dongeng. Apa pun itu, yang penting membuat anak-anak merasa senang dan merasa ketagihan untuk menjadi pengunjung setia.

Keempat, kerjasama dengan pihak sekolah. Kerjasama ini bertujuan untuk mendorong anak-anak berkunjung ke perpustakaan. Bukan hanya atas kesadaran sendiri tetapi juga karena ada anjuran dari sekolah. Ini penting bagi anak-anak yang masih tak suka dengan perpustakaan.

Bentuk kerjasamanya misalnya membuat absensi anak-anak ke perpustakaan sebagai bagian dari penilai guru kepada siswa. Bisa juga dengan penugasan dari sekolah untuk membuat catatan, misalnya mengenai keberadaan perpustakaan.

Khusus mengenai waktu buka perpustakaan, pada awalnya bisa saja pada hari Minggu atau hari-hari libur yang lain. Hari libur sangat cocok karena waktu luang. Jika biasanya anak-anak menggunakan waktu libur hanya dengan bermain saja, dengan dibukanya perpustakaan maka bermain pun bisa dilakukan diperpustakaan, bahkan bisa bermain sambil belajar. Jadi bermain sambil belajar bukan saja sekedar teori tapi bisa benar-benar direalisasikan.

Untuk jangka panjang bisa saja perpustakaan dibuka setia hari. Tapi dengan catatan harus ada kerjasama dengan pihak sekolah, pihak TPA, maupun pihak masyarakat yang lainnya. Ini bertujuan untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman antara satu pihak dengan yang lainnya.

Dengan demikian jika perpustakan sudah menjadi tempat yang nyaman dan bermanfaat khususnya bagi anak-anak tidak mustahil akan merembet kepada orang tuanya. Bisa saja orang tuanya akan menyadari akan kebutuhan membaca untuk meningkatkan ilmu dan informasi. Finally perpustakaan akan menjadi sumber atau kunci utama dalam membangun "peradaban" di desa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun