Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Tugas sang Penguasa

16 Februari 2011   00:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:34 69 0
Kupandang wajah anak-anakku. Baru lahir, 2 jam lalu. Sehat. Menggemaska2n juga.

Senang rasanya punya penerus.

Saat aku menikmati rasa bahagia itu bersama ibunya, tiba-tiba pandanganku tertuju padanya.

Anakku yang satu itu.

Kali ini aku tak nyaman. Matanya, mengingatkanku pada sesuatu.

Sesuatu yang tak kusuka. Aku tak ingat.



Esoknya aku datang lagi. Anak-anakku tak ada.

Ibunya juga. Aku yakin mereka tak jauh.

Angin mengabarkan padaku.



Kemana mereka? Aku khawatir.



Kembali kelebatan mata itu datang. Semakin kuat bayangan berseliweran.

Aku harus menemukan keluargaku. Tapi bayangan mata itu bergantian mengganggu.

Kepalaku pusing. Tetap kuberjalan mengikuti petunjuk angin.



Kulihat punggung ibu anakku. Kutemukan keluargaku!

Lagi-lagi mata itu menggangguku. Kepalaku semakin pusing. Tak bisa kubiarkan ini.

Kudekati kumpulan itu. Kurebut anakku yang matanya tak jua berhenti menggangguku.

Ibunya melarangku, melawan bahkan. Aku tahu benar dia tak pernah menang.

Apalagi setelah melahirkan.



Kularikan dia, si kecil dalam cengkeramanku. Pikiranku hanya satu, bagaimana aku bisa terbebas dari mata itu?

Sakit kepala ini begitu mengganggu. Kulari dan terus berlari. Sampai kutemukan tempat tepat untuk berhenti.

Aku harus menghilangkan sakit kepala ini. Kusembuhkan sampai ke akarnya.

Habis sudah. Sudah selesai sakit ini. Kupastikan tak ada alunan lembut anakku tadi.



Oh, bayangan mata itu datang lagi. Aku ingat sekarang. Mata itu, mata bapakku. Persis.

Ah, datang lagi yang lain. Bayangan ketika aku lari sekencang-kencangnya menghindari bapak.

Ibuku, ya ibuku juga ada. Ibuku melarikanku cukup jauh, tak seperti ibu anakku yang lemah.

Bapak lama sekali baru menemukanku. Aku cukup kuat untuk menghindar bapak. Aku jadi rindu ibu dan saudara-saudara perempuanku. Dulu aku bertanya kenapa hanya aku yang harus berlari. Kenapa bapak hanya sayang pada saudara-saudara perempuanku saja?

Aku tahu sekarang.



Karena hanya seorang pejantan tangguh yang bisa jadi penguasa!

Seperti aku. Seperti bapak. Dan seperti anakku yang baru saja kuhabisi. Aku lega.

Ternyata ini menguras tenaga. Aku lapar.

Kuhampiri warung Ce Etty yang cerewet itu. Siapa tahu ada yang bisa kusantap.



Byuurrr!!!

"Meong!"

"HOY, dasar kucing ga tau diri! Tiap ari nyolong mulu!"



Kulari lagi. Dan terus berlari.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun