Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Miss World dan "Unproductive Debate"

7 September 2013   11:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:14 130 2
oleh : Didik Suyuthi

Diiringi kontroversi yang terus menghangat, Miss World 2013 resmi dibuka hari ini di Bali. Sedikitnya 130 peserta perwakilan Negara-negara di dunia, mulai mengikuti tahapan-tahapan proses pemilihan ratu sejagad itu.

Perdebatan seputar Miss World di tanah air menurut hemat saya sebenarnya sederhana. Kenapa sederhana? Pelibatan aspek budaya dan nilai-nilai agama yang kemudian mempertentangkan ajang kontes kecantikan ini, masing-masing sudah memiliki struktur sikap yang tegas dan lugas. Jadi, kontroversi bukan di wilayah akademis. Coba lihat saja, perdebatan yang kerap berlangsung cenderung menjadi unproductive debate.

Jika dipertentangkan dengan budaya ketimuran, Miss World jelas membutuhkan asimilasi dan penyesuaian-penyesuaian karena Miss World tidak berakar dari budaya timur. Miss World lahir kali pertama di Inggris pada 1951 sebagai ajang kontes bikini. Pada perkembangannya, kemudian direproduksi sebagai sebuah trend budaya popular di tengah-tengah masyarakat di hampir semua belahan dunia.

Terkait penyelenggaraan Miss World 2013 saya tidak tahu persis seperti apa bentuk penyesuaian-penyesuaian budaya yang diupayakan panitia. Namun informasi yang menyebut kalau para kontestan bakal diminta mengenakan kain adat Bali saat mengunjungi Pura Besakih di Karangasem, bagi saya ini sudah cukup menunjukkan kebijaksanaan panitia. Dan ini lumrah saja. Siapapun yang memasuki tempat suci atau rumah ibadah tentu harus berlaku sopan sebagai standart etis umat beragama. Sama saja dengan ketika Obama melepas sepatu dan istrinya mengenakan kerudung saat memasuki areal masjid Istiqlal.

Soal peragaan baju bikini yang dipertentangkan dengan nilai-nilai keislaman, tentu terang benderang memang bertentangan dengan syariat Islam. Dalam Islam aurat muslim perempuan menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Hukum berbusana muslimah secara utuh diterapkan di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Perempuan muslimah di sana yang tidak memenuhi standar etik berpakaian sesuai ketentuan agama Islam dikenakan sanksi. Ini diatur sesuai Undang-undang No. 11 Tahun 2006 yang tegas mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah Provinsi NAD. Bali dan daerah-daerah lain (diluar konteks pemberlakukan syariat agama) saya kira juga mempunyai ketentuan-ketentuan berbusana yang sopan menurut lokalitas masing-masing (baca: adat).

Saya berpendapat, yang perlu dikedepankan terkait kontroversi 'busana' Miss World 2013 adalah soal standar kesopanan dan social attitude-nya. Memaksa kontestan berbusana muslimah di Bali yang mayoritas masyarakat di sana justru beragama Hindu saya kira kurang bijaksana juga.

Soal isu pelecehan kaum perempuan, dalam konteks ajang Miss World saya kira tidak terlalu relevan. Bahwa Miss World adalah ajang mempertontonkan dan mengkapitalisasi fisik perempuan, ini sangat bergantung dari perspektif mana membicarakannya. Islam mengajarkan menghargai kaum perempuan juga tidak dengan cara mengurung atau menjadikan mereka manusia kelas kedua. Lebih jauh tentu kaum perempuan sendiri yang bisa menilai. Jika ajang ini dirasakan melecehkan saya yakin juga tidak akan bertahan hingga tahun ke-62 sekarang.

Mencoba menggunakan logika yang sama dengan bunyi salah satu ayat "Janganlah kamu memaksakan dalam hal agama,", saya kira tidak berlebihan juga kalau saya mengatakan "Janganlah kamu memaksakan dalam hal budaya,". Dalam masyarakat modern, asimilasi budaya lumrah terjadi dan dilakukan dalam kerangka saling menghormati budaya. Menolak budaya bangsa lain tidak bisa dilakukan dengan memaksa mereka menerima budaya bangsa kita. Bukankah demikian?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun