Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Refleksi Milad HMI ke-65

7 Februari 2012   17:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:56 225 0
Sejarah merupakan literatur yang hidup dan terus bernafas sepanjang zaman. Dari sejarah kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah yang membimbing kita dalam perjalanan hidup. Orang tidak mengerti sejarah ibarat orang yang tidak mengenal dirinya sendiri, tidak tau apa yang akan dilakukan dan tidak tau tujuannya.
Yang paling esensial dalam mempelajari sejarah adalah kita dapat menangkap semangat pendiriannya. Tanggal 5 februari sebagai hari lahir HMI hanyalah simbol belaka kalau kita tidak menangkap esensi dari pendiriannya. Untuk apa memperingatinya dengan meriah kalau hanya menjadikannya sebagai ritual belaka. Itu jugalah yang menjadi fokus Salahuddin Yusuf Al-Ayubi ketika menyerukan untuk umat Islam untuk memperingati maulid Nabi, bahwa jangan sampai perayaan Maulid Nabi itu bersifat ritual yang akan dicap bidah tetapi untuk dapat meneladani sifat-sifat nabi serta menggelorakan semangat Islam.
Milad kali ini terasa spesial karena berbarengan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain juga tanggal 5 Februari merupakan hari lahir Lafran Pane yang merupakan pemrakarsa HMI. Lafran Pane sendiri sebenarnya semasa hidupnya menyembunyikan identitas hari kelahirannya, sehingga tidak jarang ada yang mengatakan hari lahir beliau tanggal 12 April 1923. Hal ini untuk menghindari berberbagai tafsiran karena bertepatan dengan kelahiran Lafran Pane. Identitas sebenarnya bahwa Lafran Pane lahir tanggal 5 Februari 1922 baru diketahui setelah anak-anaknya, Dra Tetty Sari Rakhmiati dan Ir. M. Iqbal Pane, melihat akta kelahirannya ketika Lafran Pane akan dimakamkan.
Pendirian HMI sendiri berlatar belakang kondisi bangsa Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaan Indonesia karena penjajah tidak dengan mudah menyerah membiarkan Indonesia merdeka walaupun telah menyatakan proklamasi. Sementara itu masih ada sekat antara islam dengan ilmu pengetahuan, dan islam dengan nasionalis yang menjadi kutub politik saat itu. Bahkan Islam diidentikkan dengan kaum santri yang kumuh, agama kaum kolot, terbelakang dan miskin. Itulah risiko ketika bangsa ini lama terjajah. Hilangnya kebanggaan menjadi seorang muslim. Untuk mengakuinya saja tidak apalagi mengamalkannya.
Padahal yang terbesit dalam pemikiran Lafran Pane, Islam yang dihayati secara benar merupakan kekuatan besar yang bisa menyelamatkan bangsa. Khususnya para mahasiswa yang memang telah mengenyam pendidikan yang tinggi. Lafran Pane memiliki kesadaran bahwa bangsa Indonesia tidak lebih rendah dibandingkan bangsa lain dan Islam bukanlah agama rendahan.
Agussalim Sitompul merumuskan secara spesifik, fondasi pemikiran berdirinya HMI berfokus pada 8 faktor, yaitu: 1)Penjajahan Belanda atas Indonesia dan tuntunan perang kemerdekaan; 2)Kesenjangan dan kejumudan umat Islam dalam pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan serta pengamalan agama Islam; 3)Kebutuhan akan pemahaman dan penghayatan keagamaan; 4)Munculnya polarisasi politik; 5)Berkembangnya faham dan ajaran komunis; 6)Kedudukan perguruan tinggidan dunia kemahasiswaan yang strategis; 7)Kemajemukan bangsa Indonesia; 8)Tuntutan modernisasi dan tantangan masa depan .
Untuk itulah HMI berdiri, mempersatukan umat islam dalam suatu wadah dengan kampus sebagai fokus gerakan. Walaupun masih terdapat tentangan terhadap pendirian HMI, Lafran Pane dkk tetap mendirikan HMI. Dengan keyakinan teguh bahwa organisasi ini bukanlah pemecah belah umat tetapi merupakan gagasan mulia yang merupakan aspirasi umat islam dan berkat ridho Allah SWT, pada 5 Februari 1947, 14 Rabiul Awal 1366H, didirikanlah organisasi yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Tujuan awal berdirinya HMI adalah 1)Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; 2) Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Tujuan ini mengisyaratkan bahwa HMI harus turut serta berjuang merebut kemerdekaan hakiki dengan segenap jiwa raga untuk kemudian di dalam kemerdekaan itu Islam akan dapat dikembangkan. Lafran Pane sesaat setelah mendirikan HMI menyatakan, “Keputusan mendirikan HMI, kami tegaskan, karena kebutuhan yang sangat mendesak bagi para cendekiawan Muslim muda untuk ikut dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Selanjutnya HMI juga diharapkan mampu melestarikan dan mengamankan ajaran Islam.”
Telah 65 tahun HMI berdiri dan tetap eksis dalam setiap detik sejarah bangsa. Tujuannya yang dirumuskan juga telah berubah, “Terbinanya insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”. Tetapi yang tidak berubah dari tujuan awal HMI adalah semangat dan tiga wawasan yang selalu mengalir didarah HMI yaitu wawasan keislaman, wawasan keindonesiaan, dan wawasan kemahasiswaan.
Sinergi dari tiga wawasan inilah yang menjadikan HMI mampu mencetak kader bangsa dan kader umat. Seorang mahasiswa tidak saja mumpuni dalam kemampuan akademis yang berorientasi keilmuan tetapi juga dapat mengamalkan ajaran Islam secara utuh. HMI harus menjadi pelopor dalam pembaruan pemikiran dan membantu memecahkan permasalahan bangsa, bukan malah sebaliknya menjadi masalah bangsa.
Dibutuhkan kepekaan terhadap apa yang menjadi masalah bangsa sehingga dengan keintelektualannya HMI dengan segenap elemen bangsa ini dapat bersama-sama memberi solusi. Lafran Pane mengatakan bahwa “inilah tekad yang menyertai didirikannya HMI, yang menjadikan ia selalu ingin eksis dalam setiap kurun waktu dan setiap perjalanan sejarah. Kalau tekad tersebut belum tercapai, apapun tantangan harus dihadapi. Dengan kata lain, dalam situasi-situasi sosial politik yang bagaimanapun, selama usaha menciptakan insan akademis yang islami dan memiliki kepekaan sosial politik ini belum berhasil, tidak ada alasan untuk meniadakan organisasi ini. Paling tidak, itu menjadi keinginan saya sebagai pendiri organisasi tersebut.”
Untuk itulah, dimomen Dies Natalis HMI ke-65 ini, mari kita sebagai kader HMI khususnya saya sendiri dapat bercermin apakah semua yang dicita-citakan HMI sudah tercapai?. Apakah kita sebagai individu sudah menjadi profil kader yang sesuai dengan indikator tujuan HMI? Apakah kita sudah peka terhadap permasalahan di sekitar kita?.
Kondisi saat ini memang masih bisa dibilang suram untuk HMI. Kondisi internal yang masih belum tertata rapi. Belum lagi kita menghadapi “mahasiswa yes, ormek no”. Yang jelas kita punya modal sejarah untuk bangkit. Pada tahun 1948, saat ibukota Yogyakarta berhasil direbut Belanda, hampir semua organisasi hilang. Mestinya HMI bubar saat itu, namun HMI bertaahan di Yogyakarta meski hanya dengan 2 orang, Lafran dan Dahlan (Ketum dan Sekjen). Belum lagi pada saat berkonfrontasi dengan PKI. Tuntutan untuk mmbubarkan HMI sangat besar, tetapi sampai sekarang HMI masih berdiri.
Dengan memahami sejarah HMI secara baik akan memudahkan kita untuk merumuskan arah organisasi. Menggagas HMI dimasa yang akan datang membutuhkan dialektika antara masa lalu dan kondisi hari ini. Serta dengan peka terhadap perkembangan zaman, HMI akan tetap bertahan sebagai pencipta intelektual Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun