"Ya, aku rasa, kita sebaiknya mengakhiri perkawinan kita," Suta mengulang ucapannya, menegaskan pernyatannya.
"Tapi kenapa kita harus mengakhiri perkawinan kita? Toh selama ini kita baik-baik saja, bukan? Aku mencintaimu dan sebaliknya, kau mencintaiku juga. Iya, kan?" sang istri masih menatap Suta.
Suta menghela nafasnya. Dalam. Menahannya beberapa saat, lalu menghembuskannya kembali dengan berat. Sejenak ia alihkan pandangan ke rimbunan bunga-bunga yang nampak dari jendela samping rumah.
"Kau mencintaiku juga, kan?" sang istri mengulang ucapannya. Masih menatap Suta.
"Atau, karena aku tak bisa memberimu keturunan? Karena aku ...?"
"Bukan. Bukan itu!" Suta mengalihkan kembali pandangannya, menatap kembali istrinya dengan kuat. "Aku tak pernah menganggap ketidakhadiran anak dalam perkawinan kita sebagai kekurangan darimu. Justeru aku yang merasa sangat berdosa padamu."
"Berdosa padaku?" sang istri kian tak mengerti.
Sejenak, sekali lagi, Suta kembali menghela nafasnya. Dalam. Dan berat.
"Ya, karena terus terang, aku tak pernah bisa mencintaimu!
"Maafkan aku. Aku tak bisa lagi terus-menerus menghianatimu, menipumu.
"Tujuh tahun perkawinan kita, aku hanya merasa seperti hidup dalam panggung opera.
"Aku hidup hanya sebagai pemain sandiwara.
"Aku memang selalu berusaha mencintaimu, mencintai wanita yang dipilihkan Ibu untuk menjadi istriku.
"Aku berusaha menuruti ucapan Ibu bahwa kau adalah wanita baik, yang pasti bisa mengurus suami, mengurusku, mencintaiku.
"Dan memang aku menemukan kebenarannya.
"Kau memang wanita baik. Penuh kejujuran. Kesetiaan.
"Tapi, entahlah. Saat aku mencoba mencintaimu, selalu saja aku tak mampu.
"Aku selalu gagal.
"Aku tak bisa!"
Sang istri pun menangis. Lelaki yang telah bertahun-tahun dikenalnya sebagai sosok yang penuh kasih, pelindung, penyayang itu, hingga ia sampai lupa untuk menanyakan soal cinta padanya---hingga baru saat ini ia menanyakannya, tiba-tiba menyatakan kalau ia tak pernah mencintai dirinya.
Sang istri menangis. Namun bukan karena kehilangan cintanya. Bukan karena ternyata keliru mengartikan sikap-sikap lelakinya itu selama ini.
Ia menangis, karena kini ia baru tahu ada kepedihan yang begitu sangat, mengganjal di hati Suta. Beban, yang bertahun-tahun menghimpit perasaannya, memasung cintanya. Dan ia tak pernah dapat merasakannya. Seperti lilin, ia merasa tak pernah bisa memberikan cahaya pada cintanya itu.
"Dan wanita itu?" sang istri masih menatap Suta, menatap suaminya, dan membiarkan matanya tetap basah.
"Ibu tak pernah merestui hubungan kami.
"Bertahun-tahun aku mencoba meyakinkan Ibu bahwa ia tidaklah seperti bapaknya; lelaki yang pernah menyakiti Ibu, yang pernah menjadi kekasih Ibu namun kemudian meninggalkannya dan menikah dengan wanita lain."
"Dan kau menyerah?"
"Aku tak pernah ingin menyakiti Ibu. Apalagi setelah meninggalnya Bapak saat aku masih balita, Ibulah yang memikul segala beban hidupku.
"Ibu begitu menyayangiku. Selalu memenuhi apa yang kuinginkan. Apapun yang kuminta selalu diturutinya.
"Kecuali wanita itu. Laras."
"Dan sekarang, karena Ibu telah tiada ..." sang istri sengaja menggantungkan ucapannya. Ia masih saja melekatkan pandangannya, menatap lelakinya itu.
"Lima bulan yang lalu, Laras pergi untuk selama-lamanya, karena kanker. Dan ia tak pernah menikah."
Sang istri mengangkat tubuhnya. Menuju jendela. Menebarkan pandangan ke rimbunan bunga-bunga di halaman.
Dan pada pagi berikutnya, mereka pun tak lagi satu meja. Dan mereka tak pernah lagi makan pagi bersama.
Sampai hari-hari terus berlalu. Tahun-tahun terus berlalu.
Mereka kini memilih jalannya sendiri-sendiri.
Suta memutuskan untuk berlayar dan mengembara. Mengarungi samudera demi samudera. Menjelajahi sudut demi sudut dunia.
Sang istri memutuskan untuk membuka panti asuhan.
Mereka memutuskan untuk tetap sendiri-sendiri, sampai akhir hidupnya.