Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Cerpen Ringan: Calon Besan

18 Agustus 2014   02:37 Diperbarui: 4 Maret 2016   20:51 199 3
Sore hari pulang kerja Sarjito merasa badannya tidak enak. Tengkuk terasa kaku. Kelapa nyut-nyutaan. Makanya setelah meletakkan tas, pemuda itu tidak langsung ke kamar mandi seperti biasanya, tetapi langsung berbaring di kamar. Melihat anaknya berbaring pulang kerja, perempuan itu menggelengkan kepala. “Jitooo…. badanmu kotor, mandi dulu.” “Ada air panas Bu?” “Ada. Buat mandi? Di termos ibu baru menjerang. Ayo!” “Ya Bu.” “Kamu sakit?” “Mungkin Bu. Badan tidak enak, kepala ini ….hhhh…… nyut-nyutan!” “Ya sudah, mandinya cepetan, asal menghilangkan keringat, jangan lama-lama. Ntar selimutan yang rapat, biar hangat, ntar bangun sudah enak.” “Iya kalau enak. Kalau keterusan bagaimana Bu? Besok aku harus mendampingi Pak Bupati ke Srandil, peresmian sentra industry kecil. Malu Bu!” kata Sarjito sembari bangkit dari rebahan. “Ya sudah, mandi cepet, ntar habis mandi langsung ke dokter Prayit! Mumpung masih siang!” Pemuda yang bekerja sebagai ajudan bupati itu menuruti kata ibunya. Selesai mandi ia mengeluarkan motor besarnya. Sakit kepala yang dirasa masih bisa ditolerir kalau hanya sekedar naik motor. Lagi pula jarak rumah ke dokter langganannya itu tidak terlalu jauh. Hanya lima menit kecepatan empat puluh kilometer per jam. Sampai di tempat praktek antrian sudah dimulai. Sarjito mengambil nomor antrian. Angka 13 ia pandangi sejenak, kemudian bertanya ke pasien lain yang dudu di ruang tunggu. Ketika dapat informasi baro nomor urut sembilan, ia keluar ruangan tunggu. Kakinya melangkah ke dekat kolam kecil di halaman rumah dokter. Sementara pasien yang datang sore itu lumayan banyak. Kebanyakan dari mereka terdengar batuk. Sepertinya di musim pancaroba menjelang kemarau, batuk menjadi tren. Sekitar lima menit lewat Sarjito membunuh waktu dengan main HP. SMS-SMS yang tidak penting ia hapus. Rekaman-rekaman suara yang lama juga ia hapus. Namun kegiatan pemuda itu terhenti ketika ia mendengar suara rintihan tak jauh dari tempatnya duduk. Ia melihat ada wanita muda jongkok tidak jauh darinya. Perempuan itu pucat wajahnya. Beberapa kali kelihatan oleh Sarjito perempuan itu meringis. Kemudian memegangi perutnya. Dengan tidak disadari Sarjito bangkit mendekat. “Maaf Mbak ….. perutnya sakit?” tanya Sarjito yang telah jongkok di samping perempuan muda itu. Yang ditanya menengok, sambil menggigit bibir ia mengangguk. “Ssss…sakit .” “Giliran nomer berapa?” “Itu …… “ kata perempuan muda itu seraya menunjuk nomor antrian yang telah tergeletak di paving-block. Sarjito kaget melihat angka yang tertera : 23. “Maaf, Mbak dengan siapa ke sini?” “Sen…ss….sendirian.” “Sendirian?” “Ya.” “Kalau begitu pakai nomor saya saja, nih 13! Sudah hamper, ayo ke dalam! Maaf!” kata Sarjito seraya memegang pergelangan perempuan itu dibantu bangkit kemudian menuntunnya ke dalam. Sarjito merasa lega ketika yang digandeng tangannya tak menolak. Dada Sarjito bahkan bedebar-debar ketika perempuan muda itu berjalan tertatih-tatih sambil memegangi kencang jaketnya. Rupanya takut jatuh. Tak berapa lama ketika tiba giliran, Sarjito menggandeng tangan perempuan muda itu memasuki ruang periksa. “Istrinya sakait apa Mas?” tanya dokter sambil menulis. “Perut.” Kata Sarjito singkat. Hati pemuda itu tidak karuhan ketika dokter menyangka bahwa perempuan itu adalah istrinya. Oooo beginilah rasanya jadi suamikah? Pikirnya singkat. “Silakan, berbaring, saya periksa. Mulai kapan istri Mas sakit?” “Emmm…..eeemm…. kebetulan saya baru dinas luar. Nggak sempat kontak-kontak. Biasanya dia nggak suka cerita tentang penderitaanya dok! Silakan tanya langsung dok.” “Oooo …. Nggak boleh begitu ya Mbak. Ke suami sendiri harus terus terang, tidak baik menyimpan rahasia.” “Ya dok.” Entah mengapa tiba-tiba inspirasinya datang begitu saja. Sarjito gembiran ketika akhirnya dokter Prayit berdialog dengan perempuan muda yang diaku isitrinya itu. Setelah dirasa cukup, dokter memberikan resep sambil menasehati. “Mbak harus banyak istirahat, ini baru gejala maag. Makanan dijaga, hindari yanag asam-asam, hindari yanag pedas-pedas. Banyak istirahat.” “He-eh benar kata dokter Jeng, jangan masak dulu. Tenang saja. Jangan ngiri kalau aku makan sambal….. heheee….” kata Sarjito memotong. “Ya bukan begitu, Mas-nya ini ya harus jaga perasaan Mbak-nya, masa suaminya makan sambal kesukaan di depan istrinya. Harus sembunyi-sembunyi, tapi lebih baik munculkan empati, ikut prihatin atas sakit istri Mas.” Kata dokter Prayit tidak setuju dengan gurauan Sarjito. Muka Sarjito merah disanggah seperti itu. “Oh iya dok, terima kasih atas nasehat dan resepnya….” kata Sarjito . “O silakan, silakan …. semoga cepat sehat!” Keluar ruangan praktek Sarjito masih menggamit lengan perempuan muda itu. Sementara resep dari dokter masih berada dalam saku bajunya. Sampai di luar dengan perlahan perempuan itu mendorong telapak tangan Sarjito yang memegang lengannya. “Maaf Mas ….. “ kata perempuan itu pelan dengan wajah memerah. “Oh, maaf, Saya yang minta maaf Mbak. Maaf tadi saya aku sebagai istri, sekali lagi maaf.” Kata Sarjito seraya melepas pegangannya pada lengan perempuan itu. “Nggak apa-apa Mas, saya terima kasih telah ditolong.” “Aaah … nggak usah terima kasih. Yang penting Mbak sehat.” “Tapi kenapa tadi Mas nggak periksa ke dokter Prayit? Bukannya Mas tadi ke sini mau berobat?” kata perempuan itu heran. “Hah? Saaa…. Saya sakit? Weeeehh….. iya ya? Bukannya saya ke sini mau berobat? Betul Mbak …. betul sekali.” beberapa jenak Sarjiti bengong. Benar, ia sama sekali lupa tujuan semula akan berobat. Tapi entah kenapa sekarang sama sekali tidak merasakan bagian mana dari tubuhnya yang sakit. Kepalanya tidak, punggung tidak, panas dingin juga tidak. “Kalau begitu Mas masuk lagi.” kata perempuan itu menyadarkannya. “Ah nggaaak ….nggaaaak …. saya sudah sembuh. Benar, saya sudah tidak dan pusing lagi. Bener sehat, ajaib sekali.” kata Sarjito yakin. “Oh syukurlah, maaf jadi merepotkan Mas. Maaf Mas, resep saya tadi mana?” kata perempuan muda itu mengingatkan Sarjito. “Becaaak!" Becak yang parker di depan gerbang rumah dokter datang. Perempuan muda itu bingung. “Becak Mas?" tanya tukang becak “Resep saya Mas ……" sela Titi. “Di saku saya, tenang saja. Saya antar…..” “Mas!” “Pak, antar ke apotek Palang Biru." kata Sarjito kepada tukang becak. “Siap!” Walaupun diliputi rasa masygul, tetapi perempuan itu mau juga naik ke atas becak. Sarjito menyusul. Ketika duduk berduaan, perempuan itu melihat ke arah luar menghindari kalau-kalau Sarjito memandangnya. “Masih sakit?” tanya Sarjito pelan. Yang ditanya tak bisa mengelak. Ia menoleh. “Iya masih. Sedikit.” “Namanya siapa Mbak?” “Titi.” “Saya Sarjito …..” kata Sarjito sambil mengulurkan telapak tangan mengajak salaman. Perempuan itu menerima uluran tangan pemuda itu. Telapan perempuan muda terasa begitu halus di genggaman Sarjito. Bulu kuduk Sarjito sampai berdiri merasakan getaran di dada yang muncul sebagai respon genggaman telapak tangana halus. Akan tetapi Sarjito juga merasakan bahwa telapak tangan dalam genggamannya masih panas. “Rumah di mana Mbak Ti?” “Puteran, selatan Madrasah Madani.” “Ooooo …… tak terlalu jauh.” Waktu yang singkat ba’da ‘Ashar hingga menjelang maghrib mampu memberi semangat baru dalam hatinya. Mulai ketemu Titi di halaman dokter Prayit, menemani masuk ruang periksa, menebus resep, hingga mengantar ke rumah Titi membuat hatinya benar-benar gembira. Apalagi sampai di Puteran, ketemu ibunya Titi, diterima dengan baik dan ucapan terima kasih. Sebab menurut cerita ibunya, Titi berangkat sendiri karena ia belum pulang dari tempat kerja. “Emmm… maaf Bu, sudah hampir maghrib. Saya pamit dulu.” “Ooo silakan Mas Jito, sekali lagi terimakasih telah mengantar Titi.” “Sama-sama Bu. Mbak Titi cepat sembuh ya, ingat nasehat dokter. Nggak usah masak buat saya dulu!” kata Sarjito sambil tertawa mengingatkan dialog di ruang dokter. “Aaaah….. iya, iya ….. saya nggak akan masak dulu!” kata Titi sambil tertawa. “Apa sih? Ibu nggak ngerti?” “Hihihi…..” “Nah kamu sudah hampir sembuh Ti, sudah bisa tertawa…. Awas ntar ceritain sama ibu ya?” “Terserah Mbak Titi Bu. Pamit dulu ya Bu, kapan-kapan boleh bezoek Mbak Titi ya Bu?” “Terserah Titi!” “Nggak boleh bezoek ke sini Mas, karena bezoek berarti saya masih sakit. Kalau main nggak apa-apa?” “Oh maaf yayaaa… mudah-mudahan sehat.” “Dari sini langsung pulang Mas, tadi kan mau periksa malah nggak jadi!” “Tidak bisa langsung pulang, saya harus ke dokter Prayit lagi Mbak Ti.” “Lho? Lhaaa…. Tuuuh kan , sakitnya terasa lagi!” “Bukan itu, saya lupa, saya harus mengambil motor saya di parkiran dokter Prayit.” “Lho? Tadi Mas Jito bawa motor to?” “Hmh …. ya begitulah ….. “ kata Sarjito sambil garuk-garuk kepala. Titi dan ibunya hanya bisa saling pandang. Namun akhirnya akhirnya tawa mereka bertiga pecah. Akhirnya sore itu dengan menumpang becak yang sama, Sarjito kembali ke dokter Prayit untuk mengambil motor yang ketinggalan. Hari-hari berikutnya Sarjito dan Titi semakin akrab. Sarjito memanggil Titi tidak lagi dengan sebutan “Mbak” tapi “Dhe”. Ibu Sarjito juga merasa senang, sebab baru kali inilah anaknya mau dekat dengan anak perempuan. Hal itu dirasakan sebagai kekhawatiran sebab umur Sarjito sudah satu tahun lewat dai tiga puluh. Apalagi Titi anaknya juga cantik, walaupun tidak cantik sekali. Orangnya sopan, tenang. Mungkin bagi yang kasmaran padanya akan mengatakan ia orangnya anggun dan keibuan. Lama kelamaan pun ibu Sarjito merasa bahwa dirinya merasa siap jika Titi menjadi menantunya. *** Suatu sore pulang kerja kedua orang tuanya telah menanti kedatangannya. Sarjito merasa ada hal serius yang akan dihadapi. Maka selesai bebersih badan, ia bergegas menemui kedua orang tuanya. “Tumben ayah ibu menunggu dengan serius, jadi deg-degan nih…..” kata Sarjito sambil duduk di hadapan keduanya. “Begini To, umurmu sekarang kan tambah tua. Sudah tiga puluh satu tahunan lho …..” “Wah, ibu … namanya orang hidup ya semakin lama semakain tua.” “Eh bercanda kamu! Begini maksudnya To, ayah ibu sudah ingin segera punya mantu. Maksudnya kamu segera menikah. Ayah ibu lihat sepertinya Titi sudah klop dengan sifat-sifatmu.” “Ooooo …… itu…. yaaaaaa. …. yaaa…” “Ya ya bagaimana? Ayah ibu siap ke Puteran, siap ke sana untuk melamar lho!” “Aduuuhh … melamar?” “Haiya lah … apalagi?” “Waduuuh bagaimana nanti kalau aku punya istri ya Bu … lucu rasanya, takut Bu.” “Jalani dulu. Ntar juga bisa! Masa kolokan kaya anak kecil, nggak klop ah dengan tubuhnya yang gagah tinggi besar.” “Iya tuh To …… “ ayahnya memotong, “ ….. kaya ayah ini lho! Tinggi besar, huuu kalau hanya melamar anak perempuan berani banget. Ya bu ya?” “Nggak tahu ah!” kata ibu Sarjito sambil menahan tawa dengan muka merah. “Begini To, karena kamu kenalan sudah lumayan lama, sudah empat bulanan, tolong dong ceritakan secara serius keadaan keluarga Titi. Ayah ibunya siapa, pekerjaanya apa. Tapi maaf, ini bukan berarti membeda-bedakan. Agar nanti enak ketika bicara kalau sudah tahu latar belakangnya.” kata ayahnya kemudian. “Oooo …. ya boleh yah, bu. Titi sekarang hanya tinggal dengan ibunya saja. Ayahnya, Pak Suharyono, sudah meninggal cukup lama sejak Titi masih kecil .” “Ooooo…. kasihan Titi….” gumam ibu Sarjito. “Siapa nama ibunya?” tanya ayah Sarjito. “Suhartini Pak.” “Suhartini?” ayah Sarjito kaget, demikian pula ibu Sarjito. “Ya pak, kalau orang-orang memanggilnya Ibu Suhar.” “Asli orang Puteran?” tanya ibu Sarjito. “Emmmm….. anu bu, ibu Suhar bukan orang asli puteran. Titi dan ibunya pindahan dari Wates.” Demi mendengar kata pindahan dari Wates, ibu Sarjito bangkit dari duduk dan meninggalkan anak dan suaminya. Yang ditinggal kaget. Sarjito menatap ayahnya. Ayahnya hanya menggeleng, namun kemudian bangkit dari duduknya mengejar istrinya yang meninggalkannya. “Bu jangan aneh-aneh…. Sarjito bingung!” katanya ketika sudah di dalam kamar. “Aneh-aneh? Sudah jelas itu Mbak Suhartini dari Wates. Enak kamu Pak, ketemu kekasih lama. Sudah janda lagi. Aku tidak sudi ketemu, apalagi jadi besan!” “Bu ….. tenangkan pikiranmu. Jangan cepat ngambek kaya ABG saja! Belum tentu dia itu Suhar yang itu!” “Belum tentu? Dia orang Wates Pak. Dia sudah sendirian. Pikiran bapak bisa melayang jauh, bahkan yang bukan-bukan. Entah kasihan atau apalah, iba, dan sebagainya. Bisa sembunyi-sembunyi menggugah cerita lama, memperbaiki benang-benang yang pernah rantas sebab bapak didahului orang lain.” “Kasihan Sarjito Bu. Kan ibu juga yang sangat mendukung Sarjito cepet-cepet punya istri. Sarjito kayanya sudah siap, eh ibu malah aneh-aneh.” “Kasihan memang kasihan Pak, tapi mumpung belum terlanjur. Tapi nggak apa-apa juga kalau lanjut, tapi aku akan pulang ke mBantul.” “Apa-apaan Bu? Sabar Bu …..” Ayah Sarjito pusing menghadapi tingkah isitrinya. Tapi juga tidak menyalahkan jika rasa cemburu pasti ada jika yang bakal menjadi calon besannya adalah bekas kekasih suaminya. Di tengah-tengah ketegangan Sarjito mengetuk pintu kamar. Ayahnya keluar. Sarjito melirik sekilas kea rah ibunya yang cemberut. “Ada apa?” “Di depan ada tamu.” “Temui dulu, suruh masuk dulu.” “Iya Pak, sudah duduk di ruang tamu.” “Siapa tamunya?” “Dhe Titi bersama ibu Suhar.” Demi mendengar nama ibu Suhar disebut , mata ayah Sarjito melotot. “Bu…Bu Suhar?” tanyanya gelagapan. Laki-laki itu menoleh ke istrinya. “Apa lihat-lihat? Temui dia!” “Ayolah bareng ibu.” “Nggak mau!” “Ibu kenapa sih? Dhe Titi dan ibu Suhar mampir nggak sengaja katanya sih ….ibu temui dong….. ya bu yaaaa….” pinta Sarjito. “Ayahmu saja!” “Wah ibu, katanya mau ketemu calon besan, kok malah kaya sewot, kenapa to bu?” “Tanya ayahmu itu!” “His Bu, jangan memalukan laah. Ayo cepat dong Bu …. “ perintah ayah Sarjito. “Ibu kok kaya ketakutan to bu?” “To, menurut ibumu itu, ibu Suhar dikira bekas kekasih ayah dulu…. hahaaa…” “Ooooo ….. itu to? Waaah ibu, di dunia ini katanya ada tujuh orang kembar. Apalagi nama Bu, nama Sarjito di Yogyakarta banyak. Nama ayah, Supomo juga banyak. Apa sih yang ibu takuti?” kata Sarjito meyakinkan ibunya. “Tapi kalau pindahan dari Wates?” “Wates itu luas bu!” Karena dipaksa-paksa oleh suami dan anak, akhirnya ibunya Sarjito melangkah perlahan ke luar untuk menemui tamu di ruang tamu. Berat langkah perempuan itu satu persatu sambil menata hatinya . “Ini ibu saya …………. “ kata Sarjito ketika ibunya muncul. Melihat ibu Sarjito muncul, ibu Titi, Suhartini, melongo dengana pandangan tak percaya. Demikian pula ibu Sarjito. “Mbak Wid? Ini Mbak Widyantari kan?” katanya seraya mendekat dan memegang pundak ibu Sarjito. “Dhe Yati?” “Bener, ini Yati. Saya ndak mengira nak Sarjito ini putranya Mbak Wid lho! Oalaaah ….. seneng aku kalau bisa besanan sama Mbak Wid!” “Ibu!” Titi mencubit perut ibunya. Akhirnya dua orang itu saling berangkulan lama. Mata keduanya tampak basah oleh air mata yang tak tertahan. Ayah Sarjito, Sarjito dan Titi hanya bisa saling pandang dan menghela nafas dalam. “Ibu malah sudah saling kenal?” tanya Sarjito ketika keduanya sudah saling melepas pelukan. “Kamu yang salah dengar To, ini Bu Yati, Suharyati, bukan Suhartini.” Kata ibu Sarjito sambil menyeka air mata yang meleleh di bawah matanya. “Ooooo….. “ “Mbak Wid, Mas Agus sudah lama meninggal, ketika Titi masih SD.” “Ooochhh…..” “Ya …. Mas Agus meninggal waktu dinas di luar Jawa.” “Ooooocchhh….” “Emmm maaf ibu Suhar ….” Sarjito menyela, “ …. Waktu itu ibu mengatakan ayah Dhe Titi namanya Pak Suharyono, bukan Pak Agus, mana yang benar?” “Benar, namanya memang Agus Suharyono. Kayanya memang Allah menjodohkan Suharyati dengan Suharyono.” “Oooo…. baru ngeh sekarang! Tapi ibu bukan Suhartini?” “Suhartini siapa? Saya Suharyati.” “Nah kalau nama Agus, Pak Agus, yang banyak punya cerita itu ibumu …. “ kata ibu Suhar sambil menunjuk ke ibu Sarjito. Yang ditunjuk merah mukanya. “Cerita apa?” “Tanya ke ibumu …. banyak cerita lucu tentang Pak Agus. Banyaaaakk…… banget!” “Bener Bu?” “Dhe Yati … sudah ….. sudah nggak ada apa-apa. Ayo …. santai dulu saja, saya ambil minum dulu ya …..” kata ibu Sarjito bergegas berdiri. “Aaah Mbak Wid, minum gampang. Biar minumnya enak, kita cerita dulu yang enak ….. nuwun sewu ayahnya Nak Sarjito, engg Pak Supomo nggih?” “Iya…. Iya ….. silakan Bu.” “Dulu itu ….. “ “Dhe Yati jangaaannn …..” “Dulu itu Mbak Wid adalah sahabat saya, tapi sebenarnya dulu kekasih Pak Agus. Dulu kekasih suami saya ... heheheee..... ” Rupanya ibu Suharyati sudah tak terbendung keinginanya untuk menceritakan sejarah yang telah lewat. Titi, Sarjito dan ayah Sarjito kaget. Semuanya memandang Widyantari, ibu Sarjito, yang tertunduk dalam. Terlebih ayah Sarjito yang beberapa saat sebelumnya dicemburui istrinya. Sama sekali tak mengira bahwa posisinya justru terbalik, ayah Titi malahan bekas kekasih istrinya. Di tengah ketegangan ketiga orang tua, Titi dan Sarjito keluar ruangan menuju teras. “Tadi itu masalah buat Dhe Titi?” tanya Sarjito. “Enggak. Tapi entah bagi para pelaku sejarah ….. hihihihi……” “Dhe Titi …. apapun masalah orang tua kita, Mas sudah mantap melanjutkan cerita yang di ruang praktek dokter Prayit itu.” bisik Sarjito pelan. Titi tersenyum bahagia, dicubitnya pinggang Sarjito. *** Majalengka, 17 Agustus 2014 Keterangan kata Bahasa Jawa: Ngeh = paham Nuwun sewu = maaf Nggih = ya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun