Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kurma

Kegigihan adalah Bentuk Syukur

8 April 2022   11:50 Diperbarui: 10 April 2022   18:49 565 4
Oleh: Diday Tea

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
(QS Ibrahim [14]: 7).

*
           Bayangkan jika suatu waktu kita diberi uang oleh orang tua kita 30 juta rupiah untuk membeli handphone yang terbaru dan tercanggih.

           Tapi ternyata kita malah membeli handphone yang berharga hanya satu juta, lalu  sisa yang dua puluh sembilan juta kita buang begitu saja ke tong sampah.

           Dengan berbuat seperti itu, tentunya kita  sudah menjadi orang yang tidak pandai berterima kasih dan melakukan tindakan yang (maaf) kurang ajar, karena tidak menghargai dan mensyukuri pemberian orang tua kita.

Begitu juga di dalam hidup ini.

Allah sudah memberikan fasilitas dan potensi yang sangat lengkap untuk kita bisa melakukan dan mencapai banyak hal yang luar biasa.
Baik duniawi atau ibadah.

Imam Ghazali menyebutkan, syukur itu tersusun dari tiga hal, yaitu ilmu, hal (keadaan), dan amal (perbuatan).

 Ilmunya adalah dengan menyadari bahwa kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata dari Allah SWT.
Keadaannya adalah menyatakan kegembiraan karena memperoleh kenikmatan.

Amalnya adalah menunaikan sesuatu yang sudah pasti menjadi tujuan serta yang dicintai oleh Allah SWT yang memberi kenikmatan itu untuk dilaksanakan.

*
Di dunia ini pasti ada banyak hal yang kita inginkan, kita impikan, kita dambakan yang belum kita dapatkan dan kita raih.

 Sebagian hal itu mungkin hanya menjadi penyesalan dan kenangan buruk yang selalu mengganjal di hati.

Ada satu momen penyesalan seperti itu yang masih saya sesali sampai sekarang.

Dua tahun sebelum pergi ke Qatar saya memutuskan untuk menyerah dan berhenti kuliah dengan alasan "lelah dan tidak kuat lagi membayar biaya kuliah".

Sampai beberapa tahun bekerja di Qatar pun saya masih merasa nyaman bersembunyi di balik alasan yang pada waktu itu memang saya rasa alasan yang logis.

Penyesalan yang sangat menyesakkan dada itu  ternyata datang ketika ada lowongan untuk posisi yang lebih tinggi di perusahaan.

Secara kemampuan dan pengalaman, saya sudah memenuhi syarat untuk melamar ke posisi baru, yang gajinya lebih dari dua kali lipat dari posisi saya sekarang.

Tapi secara formal, saya tidak memenuhi syarat karena gelar saya hanyalah diploma dan bukan sarjana teknik yang diminta sebagai syarat utama untuk yang melamar pada posisi itu.

Waktu itulah penyesalan datang seperti tembok besar yang menghimpit dada dan menyadarkan bahwa saya dulu berhenti kuliah bukan karena lelah dan sudah tidak kuat membayar kuliah.

Tapi karena saya kurang gigih berusaha, kurang kuat menghadapi lelahnya belajar.

Memang sih kuliahnya sangat berat, hampir setiap hari dari jam tujuh malam sampai jam sepuluh malam.

Dan pekerjaan saya waktu itu pun sangat melelahkan karena saya bertanggung jawab atas banyak hal dan hampir selalu sibuk bekerja seharian dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore.

Saya waktu itu tinggal dan bekerja di Cilegon, sedangkan kampus saya ada di Serang.

Jadi hampir setiap hari saya berangkat jam tujuh pagi dan baru sampai rumah lagi hampir tengah malam.

Seharusnya saya bisa lebih gigih mencari jalan untuk bisa menyelesaikan kuliah yang hanya tinggal dua semester itu.

Seharusnya saya ketika itu memutuskan untuk pindah kost ke tempat yang lebih dekat ke kampus agar bisa menghemat waktu perjalanan.

Yang lebih membuat saya malu dan menyesal, ada teman yang bekerja di perusahaan yang sama itu, tapi pada akhirnya bisa menyelesaikan kuliahnya dengan nilai yang cukup baik, padahal waktu itu kondisinya pasti lebih sibuk.

Setelah saya resign dari perusahaan itu, hanya ada tiga orang karyawan yang bekerja di bagian yang saya tinggalkan. Karena mereka harus bergantian mengcover pekerjaan saya sambill menunggu perusahaan menunggu karyawan pengganti.

Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan kurang gigihnya saya berusaha akhirnya berbuah penyesalan dengan hilangnya peluang promosi ke posisi yang lebih tinggi.

*
    Di dalam konteks ibadah dan urusan akhirat pun tanpa kita sadari kita kurang mensyukuri nikmat yang sudah diberikan oleh Allah. Nikmat waktu luang, nikmatnya sehat, nikmatnya waktu muda, nikmatnya harta.

    Terdengar sangat indah dan mulia ketika kita bercita-cita dan berdoa untuk menjadi ahli tahajud atau hafiz Quran.

    Tapi seringkali kita hanya merasa cukup dengan berdoa dan berharap seolah mengharap keajaiban, kalau kita bisa ujug-ujug bisa bangun jam 3 pagi setiap hari dan hafal 30 juz.

    Tapi sunnatullahnya tidak begitu.

    Amalan yang berpahala besar dan memiliki ganjaran luar biasa pastinya memerlukan pengorbanan yang juga luar biasa.

    Doa yang kencang tentunya harus didukung dengan ikhtiar yang gigih dan maksimal.

    Ketika kita tidak bisa bangun tahajud, tapi kita menyerah karena kelelahan dan tidak bangun mendengar alarm, itu adalah bentuk tidak bersyukur karena kita seharusnya bisa lebih gigih berusaha untuk membangunkan diri kita.

Sebelum tidur kita bisa sholat dua rakaat dan berdoa mati-matian kepada Allah agar bisa dibangunkan untuk bisa mendapatkan kemuliaan sholat malam.

    Kita bisa mengatur alarm setiap lima menit, dan handphonenya kita simpan di sudut kamar yang lain. Jadi kita harus terpaksa beranjak dari tempat tidur untuk mematikan alarm tersebut.

Jika masih belum berhasil juga, kita bisa membeli sekaligus 5 buah jam weker yang manual dan berbunyi sangat kencang.

Menyetel alarm pun hanya satu kali, yang kalau pun kita terbangun, itu pun hanya untuk mematikan alarm tersebut sebelum akhirnya kembali ke pangkuan selimut hangat yang sudah memeluk kita semalaman.

    Jadi tidak mungkin kita tidak bangun kelabakan jika semua weker itu berbunyi berbarengan.

*
    Ingin menghafal Al Quran tapi tidak  kunjung hafal dengan alasan sibuk, tidak ada waktu dan selalu mentok?

    Ah, alasan klise.

    Mungkin kitanya saja yang memang kurang gigih berusaha.

    Mungkin kita hanya "sesempatnya" saja menghafal Al Quran, bukan menyediakan waktu khusus untuk menghafal.

    Padahal bisa kan kita gigih berusaha dengan memaksimalkan semua panca indera dan sesedikit mungkin waktu luang untuk bisa menghafal.

    Handphone bisa kita gunakan sebagai sarana menghafal. Di sepanjang perjalanan ke sekolah, ke kampus atau ke kantor, kita bisa memutar target hafalan kita.

    Kita bisa lebih gigih menyisihkan uang untuk membeli beberapa Al Quran yang khusus untuk yang ingin menghafal.

    Kita bisa lebih gigih menyisihkan waktu khusus untuk belajar kepada ustadz untuk menyetor hafalan kita.

    Kita bisa lebih gigih mengurangi waktu bersantai, mengurangi waktu bermain, mengurangi waktu  untuk  "hiburan".

    Kita bisa lebih gigih mengatur prioritas kegiatan harian kita untuk mencapai target waktu minimal menghafal Al Quran.

    Jika pada akhirnya, setelah gigih berusaha semaksimal mungkin, memanfaatkan semua cara dan metode, kita masih belum bisa menghafal, baru kita pasrah dan tawakkal dan berserah diri untuk meminta lagi hidayah kepada Allah.

*
Coba deh  teman-teman melihat ke belakang sejenak dan putar balik momen-momen yang menjadi penyesalan di dalam hidup.

Momen ketika kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang menjadi impian, target, keinginan kita.

Penyesalan bukan karena kita tidak bisa, tapi karena dulu kita tidak maksimal berusaha.

Penyesalan ketika kita tahu ada waktu itu kita sebenarnya bisa dengan mudah mendapatkan dan mencapai hal yang jauh lebih baik dari yang kita miliki sekarang.

Ketika dulu nilai sekolah kita kurang maksimal, mungkin bukan karena persaingan yang terlalu ketat.  Tapi karena waktu ujian kita terlalu santai dan kurang gigih berjuang dan belajar sebelum hari ujian.

Sehingga kita tidak bisa memasuki sekolah atau kuliah di tempat yang lebih baik dari yang kita jalani sekarang.

Biasanya sih kita akan menyalahkan kondisi dan bersembunyi di balik kata "tawakal".

Padahal, jangan-jangan kita tidak bisa mencapai impian, dambaan, dan keinginan kita itu bukan semata-mata karena kondisi.

Tapi karena kitanya saja yang kurang gigih berusaha.

Kita sudah diberi potensi ,waktu dan energi yang sangat melimpah oleh Allah.

Tapi sering kurang kita maksimalkan untuk berusaha meraih impian kita. Ketika ada masalah, hanya bisa pasrah dan menyerah kepada keadaan.

Banyak hal yang sebenarnya sudah Allah sediakan untuk kita tapi tidak berhasil kita dapatkan hanya karena kita kurang gigih berusaha.

Kita berdalih dengan alibi "kita sudah berbuat semampunya".
Tapi karena kitanya saja yang kurang gigih berusaha.

Sudah sunnatullah kalau orang-orang yang lebih sukses dan lebih berhasil di dalam kehidupan ini, pastinya mereka yang lebih gigih berusaha dan bertahan menghadapi beratnya masalah dan tantangan di dalam hidup.

Istilah yang kekiniannya "usaha tidak pernah mengkhianati hasil".

Semakin gigih kita berusaha, pasti hasilnya juga akan semakin dahsyat.

Kita baru boleh bertawakal kalau sudah gigih berusaha maksimal.

*
Kata "Semampunya" seharusnya digunakan untuk menunjukkan bahwa kita siap berusaha seratus persen untuk melakukan hal itu.

            Di kala seseorang meminta kita untuk melakukan sesuatu, dan kita menjawab dengan mengucapkan semampunya, kadang itu bukan ekspresi kesanggupan kita.  
                       
Seringkali itu malah menunjukan bahwa kita sebenarnya malas untuk melakukannya dan tidak enak untuk bilang tidak.

 Semampunya dan "kalau mampu" juga akhirnya menjadi tempat kita berlindung dari kemalasan.

Sudah saatnya kita keluar dari belenggu kemalasan dan bersembunyi di balik kata "semampunya".

Sudah saatnya kita menggunakan kata itu sebagai komitmen seratus satu persen untuk menjalani kehidupan kita.

Gigihnya kita berusaha untuk memperbaiki diri kita, mencapai impian kita adalah bentuk rasa syukur kita kepada Allah.

Bersyukur dengan cara memaksimalkan segala potensi yang kita miliki untuk berbuat kebaikan dan memberi manfaat kepada diri sendiri, keluarga, dan sebanyak mungkin orang.

Bukankah Allah sudah berjanji akan menambah nikmat kepada hamba-Nya yang bersyukur?

Saya sudah membuktikan sendiri!

Tulisan ini dibuat di dalam buku "Gigih", Republika Penerbit, 2020)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun