Raden dan pasukannya memasuki terowongan bawah tanah yang gelap, hanya diterangi oleh beberapa obor yang dibawa oleh para prajurit. Suara langkah kaki mereka bergema di sepanjang dinding terowongan, menciptakan suasana yang semakin tegang. Bagus berada di samping Raden, dengan napas teratur dan tangan yang sudah siap menggenggam senjata. Mereka tahu musuh sudah berada di dalam, berusaha untuk menerobos benteng dari arah yang tak terduga.
Suara dentuman keras terdengar dari kejauhan, diikuti oleh teriakan samar yang berasal dari bagian terdalam terowongan. Itu adalah tanda jelas bahwa musuh sedang bekerja keras untuk menghancurkan gerbang baja yang melindungi akses ke benteng dari bawah tanah. Jika mereka berhasil menembusnya, pasukan musuh akan membanjiri benteng dan menghancurkan semua yang ada di dalam.
"Raden, kita harus bergerak cepat!" seru Bagus dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah ke depan. "Jika mereka berhasil masuk, kita akan kehilangan benteng ini!"
Raden mengangguk cepat, menyadari bahwa waktu tidak lagi berpihak pada mereka. "Semua prajurit, bersiaplah! Kita akan menyerang mereka di tempat sempit ini. Gunakan ruang yang terbatas untuk keuntungan kita!"
Mereka terus maju, semakin dekat ke pusat keributan. Suara dentuman semakin keras, dan saat mereka berbelok di sudut terakhir, pemandangan yang mereka lihat membuat darah mereka mendidih. Pasukan musuh sedang berusaha mendobrak pintu baja terakhir yang memisahkan mereka dari benteng. Sekelompok prajurit musuh yang dipimpin oleh seorang komandan dengan wajah garang terus memukul-mukul pintu dengan palu besar, sementara prajurit lainnya menjaga daerah sekitar dengan ketat.
Raden memberikan sinyal kepada pasukannya untuk berhenti sejenak. Dalam kesunyian, ia memperhatikan musuh dengan cermat, mencari celah yang bisa dimanfaatkan. Terowongan ini sempit, dan jika mereka menyerang dari arah yang tepat, mereka bisa memojokkan musuh tanpa memberi mereka kesempatan untuk melarikan diri.
"Bagus," bisik Raden, "kita akan menyerang mereka dari dua sisi. Bawa sebagian prajurit dan bergerak di sepanjang dinding terowongan di sebelah kanan. Serang dari sana ketika aku memberikan aba-aba. Kita akan menjepit mereka."
Bagus mengangguk cepat, lalu dengan sigap memimpin sebagian prajurit untuk bergerak ke posisi yang ditentukan. Mereka bergerak tanpa suara, menggunakan bayangan untuk menyembunyikan diri dari pandangan musuh. Raden, di sisi lain, mempersiapkan sisa pasukannya untuk serangan frontal. Wajah-wajah tegang para prajurit menunggu aba-aba dari pemimpin mereka, sementara tangan mereka semakin erat menggenggam senjata.
Dentuman terakhir terdengar dari palu besar yang menghantam pintu baja, dan komandan musuh tampak tersenyum penuh kemenangan. Namun, senyuman itu tidak bertahan lama. Saat Raden memberikan isyarat, teriakan perang terdengar menggema di sepanjang terowongan, dan pasukan Raden menyerbu ke arah musuh dengan kekuatan penuh.
Musuh yang terkejut tidak sempat bereaksi. Mereka berusaha bertahan, tetapi serangan dari dua sisi memecah formasi mereka. Raden dan pasukannya menghantam dengan brutal, menggunakan sempitnya terowongan untuk membuat musuh kesulitan bergerak. Pedang beradu, panah terbang, dan darah tercecer di tanah. Terowongan itu berubah menjadi medan perang yang sengit.
Di tengah-tengah pertempuran, Raden berhadapan langsung dengan komandan musuh. Wajah mereka saling menatap tajam, penuh kebencian. Tanpa membuang waktu, mereka saling menyerang dengan pedang, memamerkan keahlian mereka yang luar biasa. Dentingan pedang terdengar berulang kali, memecah keheningan terowongan yang kini penuh dengan jeritan dan suara senjata.
Komandan musuh, meskipun kuat, mulai kewalahan menghadapi serangan cepat dan kuat dari Raden. Dengan satu tebasan yang mematikan, Raden berhasil menjatuhkan pedang musuh dari tangan komandan tersebut. Namun, komandan itu tidak menyerah begitu saja. Dengan teriakan penuh amarah, ia melompat ke arah Raden, mencoba untuk menyerangnya dengan tangan kosong.
Raden dengan cepat menghindar dan mengayunkan pedangnya sekali lagi, kali ini tepat mengenai dada komandan musuh. Teriakan komandan itu terhenti seketika, dan tubuhnya jatuh ke tanah dengan darah mengalir deras. Pertempuran akhirnya selesai.
Musuh yang tersisa mulai menyerah atau melarikan diri, namun tak ada jalan keluar bagi mereka. Terowongan itu sudah dijaga ketat, dan mereka terjebak. Para prajurit Raden dengan cepat menangkap dan melucuti senjata mereka. Raden berdiri dengan napas terengah-engah, darah musuh mengotori pedangnya. Matanya memandang sekeliling, memastikan tidak ada lagi ancaman yang tersisa.
Bagus mendekat dengan wajah lega. "Mereka sudah kalah, Raden. Kita berhasil mempertahankan benteng ini."
Raden mengangguk perlahan, merasa kelelahan mulai menyusup ke seluruh tubuhnya. "Kita berhasil kali ini, tapi perang ini belum usai. Musuh akan kembali, dan kita harus lebih siap."
Bagus menatap pemimpinnya dengan rasa hormat yang mendalam. "Aku tahu, Raden. Tapi hari ini, kita sudah melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Kita melindungi tanah kita, dan itu adalah kemenangan yang harus kita hargai."
Raden tersenyum samar, kemudian menghela napas panjang. "Kita akan merayakannya nanti. Sekarang, pastikan terowongan ini ditutup rapat. Kita tidak boleh memberi mereka kesempatan kedua."
Malam itu, meskipun mereka berhasil menghentikan musuh, Raden tahu bahwa ancaman masih terus membayangi. Perjuangan ini belum berakhir, dan benteng itu akan tetap menjadi sasaran. Namun, untuk malam ini, mereka bisa beristirahat sejenak, merayakan kemenangan kecil yang mereka raih dengan susah payah.
Di dalam hati Raden, harapan dan ketakutan terus beradu. Namun, ia tahu satu hal---sebagai pemimpin, ia tidak akan pernah berhenti berjuang sampai kemerdekaan sepenuhnya diraih.