Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, angin berhembus kencang membawa suara bisikan lembut dari hutan di sekitar benteng. Meskipun mereka baru saja memenangkan pertempuran besar, suasana tegang masih terasa. Para prajurit tahu bahwa kemenangan hari ini hanyalah permulaan, dan musuh bisa saja kembali dengan kekuatan yang lebih besar.
Di dalam benteng, Raden berdiri di jendela, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Ia teringat pada keluarganya, yang sudah lama tidak ia temui. Di tengah kesibukannya memimpin pasukan, ia jarang sekali memikirkan dirinya sendiri. Tapi malam ini, setelah pertempuran yang panjang dan berat, ia merasa rindu pada kehidupan lamanya---sebuah kehidupan sebelum penjajahan datang, ketika ia masih bisa hidup tenang bersama keluarganya.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat, dan Suryo muncul di pintu. Wajahnya yang kelelahan menunjukkan betapa pertempuran itu juga menguras tenaganya. "Raden, para prajurit sudah siap untuk perintah selanjutnya," katanya. "Tapi aku pikir kita perlu menyusun strategi lebih matang. Musuh pasti akan datang lagi, dan mungkin dengan kekuatan yang lebih besar."
Raden menoleh ke arah Suryo dan mengangguk. "Kamu benar. Kita tidak boleh terlena dengan kemenangan ini. Kita harus bersiap untuk yang lebih buruk." Ia berjalan menuju meja di tengah ruangan, di mana peta besar wilayah benteng tergelar. "Kita harus menguatkan pertahanan di semua sisi. Kalau musuh datang lagi, kita tidak bisa hanya mengandalkan serangan mendadak. Kita butuh strategi yang lebih dalam."
Suryo mendekat, matanya menatap peta dengan cermat. "Benteng ini berada di posisi yang cukup strategis, tapi kelemahan kita ada di bagian selatan. Bukit-bukit di sana terlalu curam dan sulit dijaga."
Raden memikirkan hal itu sejenak. "Kita bisa menempatkan beberapa pasukan di bukit-bukit itu, meskipun sulit. Setidaknya, mereka bisa memberi peringatan jika musuh datang dari arah sana."
Suryo mengangguk. "Dan bagaimana dengan persediaan kita? Perang berkepanjangan bisa membuat kita kehabisan sumber daya."
Raden menghela napas panjang. "Itu juga menjadi masalah. Kita harus mencari cara untuk mendapatkan suplai tambahan. Kalau tidak, kita akan kehabisan makanan dan senjata sebelum pertempuran benar-benar berakhir."
Saat mereka berbicara, tiba-tiba seorang pengawal datang dengan tergesa-gesa. "Raden, ada seseorang yang ingin bertemu. Dia mengatakan bahwa dia datang dengan pesan penting dari desa di sebelah utara."
Raden dan Suryo saling bertukar pandang. Keduanya merasa aneh bahwa ada orang yang datang pada saat seperti ini, terutama dari utara, yang selama ini dianggap relatif aman. "Bawa dia masuk," perintah Raden.
Pengawal itu segera keluar dan kembali beberapa saat kemudian dengan seorang pria tua yang berpakaian lusuh. Wajahnya menunjukkan kelelahan yang dalam, tapi sorot matanya penuh kegigihan. "Raden," katanya dengan suara rendah, "saya datang membawa kabar buruk. Desa kami diserang."
Raden segera tersentak. "Diserang? Oleh siapa?"
Pria tua itu menggeleng pelan. "Bukan oleh musuh yang Anda lawan di sini. Ada pasukan baru yang datang, mereka lebih kejam, lebih tak terduga. Mereka membakar rumah-rumah, merampas hasil panen kami, dan membawa orang-orang sebagai tawanan."
Raden merasa darahnya mendidih. "Mengapa kita tidak mendengar tentang ini lebih cepat?"
"Saya berusaha secepat mungkin ke sini, tapi perjalanan dari desa sangat sulit. Jalanan dipenuhi patroli musuh, dan banyak dari kami tidak selamat." Pria itu terisak, suaranya bergetar penuh kesedihan.
Suryo, yang berdiri di samping Raden, mengepalkan tinjunya. "Ini pasti bagian dari taktik penjajah. Mereka ingin kita terpecah belah, kehilangan kekuatan dari dalam."
Raden mengangguk setuju, meski dalam hati ia marah. "Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi. Jika desa-desa di sekitar kita jatuh, kita akan kehilangan sumber daya dan dukungan. Kita harus segera bertindak."
"Tapi Raden," kata Suryo hati-hati, "kita tidak bisa membagi pasukan kita terlalu tipis. Jika kita mengirim orang untuk membantu desa, benteng ini akan menjadi lebih rentan."
Raden berpikir keras. Memang benar, benteng ini sangat penting untuk dipertahankan. Tapi di sisi lain, jika desa-desa sekitar hancur, mereka akan kehilangan dukungan moral dan logistik. Ia harus menemukan cara untuk melindungi keduanya.
"Begini," akhirnya Raden berkata. "Aku akan mengirim pasukan kecil untuk membantu desa di utara. Suryo, kau pimpin mereka. Cari tahu apa yang terjadi dan bantu mereka sebisa mungkin. Sementara itu, aku akan memperkuat benteng di sini. Kita akan siap jika musuh datang lagi."
Suryo tampak ragu. "Tapi Raden, aku khawatir jika kau tinggal di sini tanpa cukup banyak pasukan. Bukankah lebih baik kita fokus pada satu tempat?"
Raden tersenyum tipis. "Aku tahu risikonya, tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika kita hanya bertahan di sini, kita akan kehilangan lebih banyak. Ini bukan hanya tentang melawan musuh di depan mata, tapi juga menjaga rakyat kita. Mereka adalah kekuatan kita yang sesungguhnya."
Suryo akhirnya mengangguk, meski masih tampak khawatir. "Baiklah. Aku akan melakukan yang terbaik."
Malam itu, Suryo memimpin sekelompok kecil prajurit menuju desa di utara, meninggalkan benteng dengan harapan bisa menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa. Di sisi lain, Raden tetap tinggal di benteng, bersiap menghadapi serangan lain yang bisa datang kapan saja.
Angin malam terus berhembus, membawa rasa cemas yang menusuk. Di atas langit, bulan bersinar dengan lembut, seakan menjadi saksi bisu dari pertempuran yang belum selesai. Meski hari ini mereka meraih kemenangan, Raden tahu bahwa jalan mereka masih panjang dan penuh dengan bahaya.
Tapi ia tidak gentar. Dalam hatinya, ada tekad yang kuat untuk melindungi tanah ini, rakyatnya, dan kehormatan yang sudah lama diperjuangkan. Dan meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok, ia yakin bahwa selama mereka tetap bersatu, harapan itu masih ada.
Peperangan mungkin belum usai, tapi semangat perjuangan mereka akan terus menyala, hingga penjajahan ini benar-benar berakhir.