Malam menjelang fajar, benteng berada dalam keadaan siaga tinggi. Para pejuang tidak tidur, berjaga-jaga di setiap sudut dengan mata penuh kewaspadaan. Raden, Suryo, Pak Arif, dan para pemimpin lainnya berkumpul di ruang strategi, memantau perkembangan situasi. Mereka tahu bahwa musuh bisa menyerang kapan saja, terutama setelah strategi yang mereka rancang mulai dijalankan oleh Banu.
Banu, yang kini berada di bawah pengawasan ketat, telah menyampaikan informasi palsu kepada musuh bahwa benteng berada dalam kondisi lemah, dengan persediaan yang nyaris habis dan moral para pejuang yang menurun drastis. Informasi ini diharapkan akan memancing musuh untuk melancarkan serangan dengan keyakinan penuh bahwa mereka akan mudah menaklukkan benteng.
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tebal menyelimuti wilayah sekitar benteng, menambah kesan mencekam yang menyelimuti para pejuang. Raden berdiri di atas menara pengawas, matanya menyapu hamparan kabut di bawah. Jantungnya berdegup kencang, menandakan bahwa waktunya sudah dekat. Dia mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada para penjaga di gerbang untuk bersiap.
Tak lama kemudian, terdengar suara samar derap kaki kuda dan derit roda gerobak. Raden memperhatikan dengan saksama. Dari balik kabut, bayangan-bayangan gelap mulai muncul, semakin lama semakin jelas. Mereka adalah musuh, datang dengan kekuatan penuh seperti yang diperkirakan.
Para pejuang di benteng memperkuat genggaman mereka pada senjata masing-masing. Suryo, yang berada di posisinya, memberi isyarat kepada para pemanah untuk bersiap. Mereka menunggu sinyal dari Raden untuk melepaskan hujan panah pertama yang akan menyambut musuh.
Ketika musuh mulai mendekati benteng, tiba-tiba kabut tebal terangkat, seolah-olah memberikan jalan bagi pasukan penjajah untuk menyerang. Mereka tampak terkejut dengan betapa sepinya benteng tersebut. Tak ada tanda-tanda perlawanan di depan gerbang utama, seolah-olah benteng telah ditinggalkan.
Panglima musuh, yang memimpin serangan, mengangkat tangannya dan memerintahkan pasukannya untuk maju lebih cepat. Mereka mendekati gerbang dengan percaya diri, yakin bahwa benteng akan segera mereka taklukkan. Namun, sesaat sebelum mereka mencapai gerbang, suara keras dari terompet perang menggema dari dalam benteng, diikuti oleh teriakan-teriakan perang dari para pejuang yang siap menyambut mereka.
Raden memberikan tanda, dan dalam sekejap, hujan panah melesat dari atas benteng, menghujam pasukan musuh yang tidak siap. Suara jeritan dan jatuhnya pasukan musuh ke tanah memenuhi udara. Serangan tiba-tiba ini membuat pasukan musuh panik, namun panglima mereka segera memerintahkan para prajurit untuk tetap maju dan mendobrak gerbang.
Suryo dan para pejuang lainnya yang berada di garis depan telah bersiap untuk pertempuran jarak dekat. Mereka menunggu dengan sabar hingga gerbang didobrak. Ketika musuh berhasil merobohkan pintu kayu tebal itu, mereka langsung disambut oleh serangan balasan yang ganas dari para pejuang yang sudah siap.
Pertempuran sengit terjadi di depan gerbang benteng. Para pejuang bertempur dengan gigih, mempertahankan setiap jengkal tanah mereka. Raden turun dari menara pengawas dan bergabung dengan para pejuang di garis depan, pedangnya terayun dengan penuh tenaga, menebas setiap musuh yang mendekat.
Pak Arif dan beberapa pejuang lainnya menjaga pintu masuk ke ruang strategi, memastikan bahwa tidak ada musuh yang berhasil menyusup lebih dalam ke dalam benteng. Mereka tahu bahwa jika musuh berhasil menembus pertahanan pertama, maka keselamatan para penduduk dan persediaan penting akan berada dalam bahaya besar.
Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, Raden melihat panglima musuh yang dengan angkuh berdiri di tengah medan, memerintahkan pasukannya dengan lantang. Raden memutuskan bahwa jika panglima ini bisa ditundukkan, moral pasukan musuh akan runtuh. Ia kemudian mulai bergerak mendekati panglima itu, memotong jalan melalui prajurit-prajurit musuh dengan kecepatan dan ketangkasan yang luar biasa.
Suryo, yang melihat Raden bergerak menuju panglima musuh, memutuskan untuk mendukungnya. Ia bergerak cepat, mengalahkan musuh-musuh di sekitarnya, memberikan jalan bagi Raden untuk mencapai panglima musuh tanpa gangguan. Keduanya kini berada di dekat panglima tersebut, dan Raden mengarahkan pedangnya dengan penuh tekad.
Pertarungan satu lawan satu pun terjadi antara Raden dan panglima musuh. Keduanya adalah petarung yang berpengalaman, saling mengukur kekuatan dan kemampuan masing-masing. Pedang mereka beradu dengan kekuatan yang dahsyat, menghasilkan suara logam yang memekakkan telinga.
Pertarungan ini tidak hanya menjadi pusat perhatian di medan perang, tetapi juga menjadi simbol dari pertempuran yang lebih besar antara dua kekuatan yang bertarung untuk nasib tanah yang mereka perebutkan. Setiap gerakan Raden penuh dengan ketepatan, dan meskipun panglima musuh adalah lawan yang tangguh, ia tidak bisa menandingi semangat dan keberanian Raden yang berjuang untuk tanah airnya.
Dengan satu tebasan cepat yang tak terduga, Raden berhasil melukai panglima musuh di lengan kanannya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Melihat kesempatan ini, Raden melanjutkan serangannya dengan dorongan kuat, memaksa panglima musuh mundur beberapa langkah. Pada akhirnya, dengan serangan yang menentukan, Raden menjatuhkan panglima musuh dan mengarahkan pedangnya ke leher sang panglima.
Pasukan musuh, yang melihat panglima mereka jatuh, mulai kehilangan semangat. Mereka mundur secara bertahap, meninggalkan medan perang dengan kekacauan. Para pejuang di benteng tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Suryo dan yang lainnya mengejar mereka, memastikan bahwa musuh tidak akan kembali dalam waktu dekat.
Pertempuran itu, meskipun sulit, berhasil dimenangkan oleh para pejuang. Dengan panglima musuh tertawan, mereka memiliki keuntungan strategis yang besar. Raden memerintahkan agar panglima musuh dirawat, bukan untuk menunjukkan belas kasihan, tetapi untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang rencana musuh ke depannya.
Kemenangan ini memberikan semangat baru bagi para pejuang dan penduduk desa. Mereka telah menunjukkan bahwa dengan persatuan dan keberanian, mereka mampu mengalahkan musuh yang tampak lebih kuat. Namun, mereka juga tahu bahwa perjuangan ini belum selesai. Musuh yang mereka kalahkan hanyalah bagian dari kekuatan yang lebih besar, dan mereka harus tetap waspada untuk pertempuran-pertempuran berikutnya.
Benteng itu, meskipun sebagian hancur, masih berdiri teguh sebagai simbol perlawanan mereka. Para pejuang mulai memperbaiki kerusakan, bersiap untuk hari-hari berikutnya yang mungkin akan membawa lebih banyak tantangan.
Di akhir hari, ketika matahari mulai tenggelam di cakrawala, Raden berdiri di atas benteng, memandang jauh ke arah cakrawala. Ia tahu bahwa masih banyak yang harus dilakukan, tetapi untuk saat ini, ia merasa bangga dengan apa yang telah dicapai oleh dirinya dan para pejuang lainnya. Mereka telah membuktikan bahwa tanah ini tidak akan mudah ditaklukkan, dan semangat perlawanan mereka akan terus berkobar, sekuat api yang tak pernah padam.
Namun, di dalam hatinya, Raden juga tahu bahwa ancaman yang lebih besar mungkin sedang menanti. Dan ia harus siap untuk menghadapi apapun yang akan datang selanjutnya, demi melindungi tanah dan orang-orang yang ia cintai.