Setelah kehancuran gudang utama, kemarahan para penjajah mencapai puncaknya. Mereka tidak hanya kehilangan suplai senjata, tetapi juga merasa dipermalukan oleh sekelompok petani yang berani melawan kekuasaan mereka. Sebagai balasan, mereka memutuskan untuk melancarkan serangan balas dendam yang kejam terhadap desa.
Pagi itu, penduduk desa merasakan sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih dingin, dan ketegangan yang tidak biasa menyelimuti mereka. Raden, yang selama ini selalu waspada, merasakan firasat buruk. Dia mengumpulkan kelompoknya di pondok persembunyian mereka di hutan, jauh dari desa, untuk membahas langkah berikutnya.
Namun, sebelum Raden sempat memberi arahan, terdengar suara ledakan dari arah desa. Dentuman keras itu mengguncang tanah dan membuat burung-burung di hutan terbang ketakutan. Wajah Raden dan teman-temannya seketika pucat, mereka tahu bahwa penjajah telah tiba.
Tanpa membuang waktu, Raden dan kelompoknya berlari menuju desa. Dari kejauhan, mereka bisa melihat asap hitam tebal membumbung tinggi ke langit. Teriakan panik terdengar dari arah desa, disertai suara tembakan yang memekakkan telinga. Para penjajah telah memutuskan untuk membalas dendam dengan cara yang paling brutal: menyerang penduduk yang tidak bersalah.
Saat Raden tiba di desa, pemandangan yang mengerikan terpampang di depan matanya. Rumah-rumah terbakar, dan penduduk desa berlarian mencari tempat perlindungan. Tentara penjajah, bersenjata lengkap, memburu siapa saja yang mereka temui. Tidak ada perlawanan yang berarti dari penduduk desa, karena mereka terkejut oleh serangan mendadak ini.
Raden merasa hatinya hancur. Semua usaha mereka selama ini untuk melindungi desa tampak sia-sia. Namun, dia tidak bisa menyerah sekarang. Dia berlari ke tengah desa, mencari cara untuk menyelamatkan orang-orang sebanyak mungkin. Teman-temannya mengikuti di belakangnya, berusaha membantu dengan apa yang mereka bisa.
Di tengah kekacauan itu, Raden melihat seorang tentara penjajah yang menyeret seorang wanita tua keluar dari rumahnya. Dengan cepat, dia berlari mendekat dan menebas tentara itu dengan parang yang dia bawa. Darah menyembur, dan tentara itu jatuh ke tanah. Wanita tua itu tersungkur, tapi Raden segera membantunya berdiri dan membawanya ke tempat yang aman.
Namun, setiap langkah yang diambil Raden dan kelompoknya terasa sia-sia. Para penjajah terus membantai tanpa ampun, membakar setiap rumah yang mereka temui. Raden tahu bahwa mereka perlu mencari cara untuk mengakhiri kekacauan ini sebelum seluruh desa hancur.
Dengan cepat, Raden merencanakan serangan balik. Dia menginstruksikan Suryo dan Yuda untuk memimpin penduduk desa yang tersisa ke hutan, tempat mereka bisa berlindung sementara. Sementara itu, Raden dan beberapa anggota kelompoknya akan mencoba menarik perhatian para penjajah agar penduduk yang lain bisa melarikan diri.
Raden dan teman-temannya mulai menyerang para penjajah dari berbagai arah, menggunakan jebakan yang telah mereka persiapkan sebelumnya. Mereka memanfaatkan medan yang mereka kenal dengan baik, membuat para penjajah kebingungan. Namun, jumlah musuh terlalu banyak, dan Raden menyadari bahwa mereka tidak bisa terus bertahan seperti ini.
Di tengah pertempuran, Raden menemukan dirinya terpojok di sebuah gang sempit oleh sekelompok tentara penjajah. Mereka mengelilinginya, mengancam dengan senjata terhunus. Raden, meskipun lelah dan terluka, tidak menunjukkan rasa takut. Dia tahu bahwa hidupnya mungkin berakhir di sini, tapi dia akan berjuang sampai napas terakhir.
Saat para tentara mulai mendekat, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari belakang mereka. Suryo dan Yuda, yang seharusnya sudah berada di hutan, datang kembali dengan sekelompok penduduk desa yang memegang alat-alat sederhana sebagai senjata. Dengan serangan mendadak ini, para tentara penjajah kehilangan fokus dan Raden memanfaatkan momen itu untuk menyerang balik.
Pertempuran berlangsung sengit di gang sempit itu. Raden, bersama Suryo, Yuda, dan penduduk desa lainnya, berjuang dengan sekuat tenaga. Mereka berhasil melumpuhkan beberapa tentara penjajah, tetapi jumlah mereka masih jauh lebih sedikit dibandingkan musuh. Raden tahu bahwa mereka tidak bisa bertahan lama.
Saat situasi semakin putus asa, terdengar suara terompet dari kejauhan. Para penjajah tiba-tiba mundur dengan cepat, meninggalkan desa yang kini hancur lebur. Raden dan yang lainnya terdiam, tidak percaya bahwa mereka masih hidup. Ternyata, bala bantuan dari kota yang dikirim oleh penjajah datang, dan mereka memutuskan untuk mundur sebelum bala bantuan itu tiba di desa.
Desa yang sebelumnya damai kini menjadi puing-puing. Rumah-rumah hancur, dan banyak penduduk yang tewas atau terluka parah. Raden berdiri di tengah desa, memandang kehancuran di sekelilingnya dengan perasaan bersalah yang mendalam. Meskipun mereka berhasil menyelamatkan beberapa nyawa, banyak orang yang tidak selamat dari serangan brutal ini.
Dengan hati yang hancur, Raden berjalan menuju rumah keluarganya yang kini hanya tersisa puing-puing yang terbakar. Dia berlutut di tanah, merasakan panas dari sisa-sisa api yang masih menyala. Air matanya mengalir deras, tapi dia berusaha menahannya. Dia tahu bahwa ini bukan akhir dari perjuangan mereka.
Setelah kejadian ini, penduduk desa yang selamat berkumpul di hutan untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Mereka menyadari bahwa desa mereka tidak lagi aman, dan mereka harus menemukan tempat yang lebih aman untuk tinggal sementara waktu. Raden, meskipun terluka dan penuh rasa bersalah, menawarkan dirinya untuk memimpin mereka mencari tempat perlindungan baru.