Pagi itu, ketika matahari sudah memancar terang, Arka masih saja meringkuk di tempat tidurnya, sama sekali tidak menunjukkan niat untuk bangun. Suara lembut ibunya, Mira, yang memanggilnya berkali-kali hanya seperti angin lalu. Hari pertama sekolah setelah libur panjang, namun Arka seolah tidak peduli sama sekali. Mira, yang sudah terbiasa menghadapi sikap keras kepala anaknya, mencoba untuk tetap sabar.
"Arka, bangun, Nak. Nanti kamu terlambat ke sekolah," suara Mira terdengar pelan namun penuh harapan, berharap Arka mau bergerak. Namun, anak lelaki itu tetap terdiam, bahkan tidak ada gerakan sedikit pun. Dalam hatinya, Mira mulai merasakan kekhawatiran yang tak bisa dihilangkan. Selama beberapa hari terakhir, Arka semakin sulit diatur. Tak hanya itu, ucapannya mulai terdengar kasar, penuh kebencian, seolah-olah tidak ada lagi rasa hormat pada keluarga. Mira masih mencoba berpikir positif, meskipun setiap kali dia melihat Arka, perasaan aneh itu semakin kuat.
Mira mendekat lagi, kali ini mencoba membangunkan Arka dengan lebih tegas. "Arka, ayo bangun. Nanti kamu kesiangan." Meski suaranya lebih keras, namun tetap dengan kelembutan seorang ibu yang penuh kasih sayang. Namun, Arka tetap tidak merespons. Dia hanya berbaring dengan mata terpejam, meski Mira tahu bahwa anaknya tidak sedang tidur.
Akhirnya, merasa tak ada jalan lain, Mira keluar dari kamar Arka dan menemui suaminya, Iwan, yang sedang duduk di ruang makan. Iwan, meski kesehatannya sudah menurun drastis, tetap berusaha tampak kuat di hadapan keluarganya. Sambil menyeruput teh, Iwan tampak merenung. Dia tahu ada sesuatu yang salah dengan Arka, tapi selama ini dia lebih memilih menutup mata dan telinga, berharap masalah ini akan selesai dengan sendirinya.
"Pak, tolong bangunin Arka. Dia nggak mau bangun meski sudah kubangunkan berkali-kali," ucap Mira dengan nada penuh harap. Iwan menaruh cangkir tehnya, menghela napas panjang, lalu berdiri dengan susah payah. Dia tahu tugas ini tidak mudah, terutama dengan kondisi tubuhnya yang semakin lemah akibat penyakit jantung. Tapi sebagai kepala keluarga, dia merasa harus mengambil tindakan.
"Aku yang akan bangunin dia," ucap Iwan tegas. Meskipun hatinya diliputi kekhawatiran, dia tetap percaya bahwa sikap tegas adalah kunci dalam menghadapi Arka. Dengan langkah berat, Iwan berjalan menuju kamar anaknya. Ketika dia sampai, dia melihat Arka masih terbaring, tak bergerak sedikit pun.
"Arka, bangun!" suara Iwan terdengar keras dan tegas, tidak ada lagi kelembutan seperti Mira. Namun, Arka tetap diam, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Rasa frustrasi mulai menyelimuti Iwan. Dia mendekati ranjang dan mengguncang tubuh Arka dengan cukup keras. "Bangun! Jangan malas-malasan. Kamu harus sekolah!"
Alih-alih menurut, Arka membuka matanya perlahan. Tatapan dingin yang keluar dari mata anak itu langsung menusuk hati Iwan. "Aku nggak mau sekolah. Sekolah nggak penting," ucap Arka dengan nada mengejek. "Bapak aja yang bodoh karena masih pikir sekolah penting."
Kata-kata itu menghantam Iwan seperti petir di siang bolong. Wajahnya memerah, dan dadanya terasa semakin sesak. Napasnya mulai tersengal-sengal, tapi dia berusaha tetap tegar. "Apa kamu bilang?" suaranya terdengar marah, tapi Arka tidak menunjukkan rasa takut atau penyesalan.
"Bapak nggak ngerti apa-apa! Sekolah nggak ada gunanya. Aku nggak mau pergi, dan Bapak nggak bisa maksa!" Arka berteriak, melompat dari tempat tidur, dan berdiri berhadapan dengan ayahnya. Tatapan penuh kebencian di mata anak itu membuat Iwan terpukul. Dia tidak mengerti dari mana semua kemarahan ini berasal.
Iwan menatap anaknya dengan campuran amarah dan kepedihan. Dalam hatinya, dia tidak bisa memahami mengapa anaknya bisa berubah menjadi seperti ini. Dia mencoba menahan diri, meskipun tubuhnya sudah tidak kuat lagi menahan emosi yang membuncah. Tangan kirinya perlahan meraba dadanya yang mulai terasa sakit, tetapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Arka.
Dengan langkah berat, Iwan berbalik meninggalkan kamar tanpa berkata sepatah kata pun. Dadanya semakin sesak, dan napasnya mulai terasa semakin sulit. Dia berjalan kembali ke ruang tamu, duduk dengan lemah di kursi, sambil memegang dadanya yang terasa berdenyut. Tatapan dingin Arka, serta kata-kata pedasnya, terus terngiang-ngiang di telinganya.
Dua hari kemudian, Iwan mengalami serangan jantung yang lebih parah dari sebelumnya. Saat itu, dia sedang duduk sendirian di ruang tamu, memikirkan segala hal yang terjadi dengan keluarganya. Tubuhnya tiba-tiba terkulai lemas, dan napasnya tersengal-sengal. Serangan jantung kali ini berbeda---lebih kuat, lebih menyakitkan. Dengan sisa tenaganya, Iwan berusaha memanggil Mira, tapi suaranya hanya terdengar lirih.
Mira, yang sedang berada di dapur, langsung berlari ketika mendengar suara benda jatuh di ruang tamu. Ketika dia sampai, dia melihat Iwan tergeletak di lantai, wajahnya pucat pasi, dan napasnya hampir tidak terdengar. Dengan panik, Mira mencoba memanggil bantuan, namun semuanya terlambat. Iwan menghembuskan napas terakhirnya di hadapan Mira, meninggalkan keluarga itu dalam kehancuran.
Mira hanya bisa menangis tanpa suara, merasakan hancurnya dunianya. Dia tahu bahwa kemarahan dan kebencian yang Arka lontarkan telah menyakiti suaminya hingga akhirnya menyerah pada penyakitnya. Di dalam hatinya, perlahan-lahan tumbuh perasaan benci dan takut terhadap anaknya sendiri. Arka, bagi Mira, bukan lagi anak kecil yang perlu dibimbing. Dia adalah kutukan yang membawa malapetaka bagi siapa saja di sekitarnya.