Ada dua hal yang menjadi catatan saya terkait penangkapan. Pertama, Sebelum ditangkap dikatakan aplikasi Whatsapp Ravio diretas, dan kemudian (katanya) digunakan untuk menyebarkan pesan melakukan tindakan rusuh. Sebelumnya dalam waktu yang tidak berjauhan, Polisi menangkap tiga orang yang dianggap melakukan vandalisme sekaligus memprovokasi masyarakat untuk anti kapitalisme. Sebelumnya lagi, viral video seorang maling helm yang mengaku sebagai Ketua Kelompok Anarko Sindikalis Indonesia. Sebelumnya lagi, Polisi mengumumkan sedang mencari kelompok anarko sindikalis yang (katanya) membuat selebaran untuk melakukan penjarahan.
Deretan peristiwa ini tentu saja membawa aktivis-aktivis gerakan sipil pada kenangan buruk di masa Orde Baru. Dimana seringkali aparat atas nama pemberantasan gerakan komunisme, kemudian memberangus suara suara kritis masyarakat sipil. Pola ini begitu mirip, dan tentu menimbulkan reaksi keras. Muncul asumsi dan dugaan bahwa Ravio ditangkap karena upaya-upaya kritisnya terhadap pemerintah.
Beberapa hari setelah penangkapan, muncul lagi berita berita penangkapan Ravio yang (katanya) ketika sedang hendak masuk ke dalam sebuah mobil diplomat berkebangsaan Belanda. Netizen riuh. Banyak yang menuduh Ravio sudah bersekutu dengan pihak asing (Belanda), dan kini ia adalah agen mereka yang diminta untuk membuat sesuatu yang buruk bagi Indonesia. Duh... Agen?
Penting untuk dikatakan di sini bahwa menjalin hubungan dengan (katakanlah) orang asing, atau warga negara asing, merupakan sebuah hal yang lumrah (dan bahkan sangat dianjurkan) di era globalisasi seperti saat ini. Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional misalkan, sedari awal sudah menata diri untuk dapat bergaul dan membangun koneksi dengan banyak diplomat dari luar negeri. Buat apa?