Karena tak mungkin jadi pengusaha, maka saya harus jadi kelas pekerja. Masalahnya kerja apa? Saya renungi pelan-pelan, hingga akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa saya hanya tertarik dengan dunia sekolah dan tulis menulis. Maka pilihannya: jadi guru, dosen, atau jurnalis?
Menjadi guru saya coret, karena selama perenungan teringat bagaimana ajaibnya kelakuan saya dan teman-teman selama masa SMP-SMA. Sekarang tinggal jadi dosen atau jurnalis. Skala prioritasnya: dosen, baru kemudian jurnalis. Karena walau bagaimanapun ajaibnya kelakukan, sekolah tetap menjadi tempat ternyaman bagi saya selain rumah.
Celakanya, di tahun 2011 itu tidak ada lagi penerimaan dosen dengan latar belakang S1, harus S2: Master !!! Saya lemas, dan coba beralih dengan mencari lowongan jurnalis di koran-koran. Sembari itu juga, saya membangun pilihan lain: cari beasiswa S2 lalu jadi dosen.
Yang saya tahu waktu itu, semua beasiswa mau dalam negeri ataupun luar negeri, syarat utamanya bukan pintar, tapi mampu berbahasa inggris. Dan pergilah saya ke Kampung Inggris di Pare, untuk mendapatkan kemampuan itu. Dan ini, sebelum berangkat, saya menyempatkan diri datang ke Pameran Buku di Graha Wanitatama Jogja. Ya kalo mau jadi dosen harus baca buku donk. Dan dengan sisa sisa uang jajan yang saya punya waktu itu, saya membeli beberapa buku yang salah satunya berjudul: Kebebasan, Negara dan Pembangunan karya Arief Budiman.
Ini adalah kumpulan esai Pak Arief sejak tahun 1965-2005 dengan ragam tema; mulai dari politik hingga sastra. Alasan saya membeli buku ini adalah karena sebelumnya sudah mengenal adiknya Soe Hok Gie, melalui biopic dan catatan hariannya yang ternama itu. Buku pak arief ini kemudian menjadi salah satu teman terbaik saya dalam menjalani masa-masa pengangguran
Ada beberapa hal menarik yang masih saya ingat dari buku tersebut. Antara lain esai mengenai pengalamannya kembali lagi ke Jakarta setelah menyelesaikan S3nya di Amerika Serikat.
Saya sudah sejak lama mendengar cerita bagaimana sulitnya adaptasi orang-orang yang baru pulang sekolah dari luar negeri. Rata-rata mereka mengeluh karena harus menyesuaikan diri lagi dengan ritme hidup (masyarakat, birokrasi, bisnis dll) Indonesia yg tidak disiplin dan bertele-tele (tidak efektif dan efisien).
Tapi Pak Arief beda, yang pertama dia keluhkan adalah bagaimana perubahan Jakarta yang sangat  ironi: di satu sisi terdapat banyak gedung-gedung pencakar langit, tapi di sisi lain, di belakang gedung-gedung tersebut terdapat perkampungan kumuh. Selain itu ia juga merasa asing berada di antara teman-teman lamanya yang kini sudah tidak lagi berkumpul di warung-warung kopi rakyat. Mereka kini berkumpul di hotel-hotel mewah sambil minum wine, beer atau coke.
Saya rasa atas alasan ini pula Pak Arief akhirnya memilih untuk hidup dan mengabdi pada kampus sederhana UKSW yang ada di kota kecil nan sejuk di Jawa Tengah: Salatiga. Padahal dia adalah penerima Ph.D dari kampus nomer satu di dunia: Harvard University. Â Yang mana alumninya tentu sangat langka, sehingga punya banyak kesempatan untuk memasuki dunia profesional manapun yang jauh lebih makmur secara finansial.
Tulisan lain yg juga sangat membekas adalah mengenai bagaimana Pak Arief mengkritik Sastra yang ada di Majalah Horison yang menurutnya surealis, kebarat-kebaratan, dan keungu-unguan. Pak Arief dan kelompoknya menwarkan Sastra Kontekstual, yaitu sastra yang mengakar dan mengabdi pada persoalan-persoalan ekonomi politik di masyarakat. Ya, Pak Arief memang juga terkenal sebagai aktivis dan pemikir kiri yang memperkenalkan teori dependensia (ketergantungan) pada masyarakat Indonesia. Padahal Pak Arief dulunya bersama beberapa pentolan Horison adalah penandatangan Manifesto Kebudayaan yang terkenal sebagai kelompok liberal. Tapi mereka akhirnya bersebrangan.
Selama beberap bulan masa pengangguran, saya masih sempat berkelana ke Jakarta, Jambi dan Batam untuk membantu teman atau saudara yang kebetulan memiliki usaha yg membutuhkan tenaga saya. Dan buku ini, selalu menemani saya dalam periode itu. Bahkan saya baca berulang-ulang.
Sampai akhirnya pada April 2012 saya harus datang ke Palembang untuk menghadiri pernikahan kakak saya, buku ini masih jadi bacaan saya selama di pesawat dan ketika menunggu jemputan di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Dan entah kenapa di luar kebiasaan, hari itu saya menggunakan troley untuk membawa barang. Dan seingat saya, buku itu tertinggal di troley tersebut. Saya pontang panting mencarinya, hingga setengah menangis. Perpisahan dengan buku memang selalu menyesakkan. Apalagi bagi penganggur seperti saya waktu itu.
Kini, April 8 Tahun kemudian, saya mendengar kabar duka bahwa Prof.Arief Budiman telah berpulang ke rahmatullah. Ketimbang adiknya Soe Hok Gie, saya merasa lebih berhutang rasa pada Pak Arief, karena pasca buku ini, saya terus memburu buku-buku dan tulisan beliau yang lain.
Terima kasih Profesor, engkau pasti bahagia di sana.
Palembang, 24 April 2020 / 1 Ramadhan 1441 H
Ferdiansyah Rivai