Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Telepon Asing Dini Hari

17 Agustus 2010   21:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 55 0
Aku terbangun sekitar pukul tiga dini hari dengan peluh membasahi dahi dan leherku. Kukerjapkan kedua mata, memegangi dada yang sedikit tersengal sambil mencoba mengingat seperti apa tepatnya mimpi yang membuatku terbangun. Sesuatu yang menakutkan kah? Atau hal buruk terjadi pada orang-orang yang kukasihi?

KRIIIING..! Telepon berbunyi. Aku melirik jarum jam yang menunjuk angka tiga lebih lima belas menit.
KRIIIING..!
"Ya?" jawabku serak.
"Hmm..", suara lelaki bernada berat dan dalam dari dalam telepon.
"Iya, siapa ini?"
"Tadi tidak melihat layar sebelum menerima telepon?"
"Lihat," jawabku mulai sepenuhnya sadar dari tidur, "Unknown number."

"Siapa ini?" tanyaku lagi setelah diam beberapa saat.
"Udara."
"Apa?"
"Kembalilah tidur, pastikan telepon ini tetap dalam genggamanmu."
Dengan segera aku bangkit dan duduk tegak, "Ha? Apa? Siapa ini? Apa maksudmu?"
"Tidurlah, tetap pegang teleponmu."
...TUT.. TUT...
Telepon dimatikan.

Aku bersungut-sungut sambil menyambar rokokku hingga menyulutnya dengan kasar. 'Sialan,' pikirku, 'Orang gila. Membangunkan orang dengan asal memencet nomor lalu bicara aneh-aneh. Sial.' Aku masih bicara pada diriku sendiri sambil duduk gelisah saat pelan-pelan nafasku mulai berat. Bertanya-tanya aku memegang dadaku sambil sesekali mengangkat muka untuk meraih nafas. Sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi, aku memutuskan untuk mematikan rokok dan kembali berbaring.

..*.. ..*.. ..*..

Samar deru kendaraan bergantian singgah di telinga. Setengah menyadari dadaku tak lagi terasa sakit, aku membuka mata dan melotot seketika.

Rumput dan tanah. Lapangan terbuka. Dua pohon beringin di kedua ujung tubuh. Warung-warung tenda di tepi jalan. Satu dan dua kendaraan. Selebihnya sepi. Tak ada manusia, yang ada hanya mentari. Kuseka keringat yang mulai membasahi wajah dan leherku. Pakaianku masihlah daster biru yang banyak terdapat di emperan Malioboro. Kakiku terasa gatal. Saat kubalikkan tubuhku dari satu posisi miring, seorang ibu berkain jarik sedang memandangiku.

"Sering kesini, Nduk?" tanyanya.
Masih kaget dan lemas aku menjawab perlahan, "Beberapa kali," lalu menggaruk kakiku, "Dulu."
"Duduklah. Sudah siang. Ndak baik tidur-tiduran jam segini."
Sambil menghela nafas panjang aku bergerak duduk dan memeluk kedua kakiku. Seingatku, aku tak tidur disini. Yang terjadi terakhir kali adalah nafasku sesak dan aku merebahkan diri diantara bantal-bantal bersarung merah. Bukan di atas rumput. Bukan tanpa atap. Bukan di tengah lapangan.
"Kemana orang-orang?" tanyaku.
Ibu berjarik dengan gincu berlebih tersenyum sinis.
"Ibu siapa?"
Kali ini dia memalingkan muka.
"Begini ya Bu," kurendahkan nadaku bicara untuk menekan takutku, "Saya nggak tau ini mimpi atau bukan. Tapi yang jelas, saya merasa dalam keadaan sadar sekarang dan saya tidak berada dalam kamar saya."
Dia mulai menyentuh gelungan rambutnya dan melepasnya perlahan.
"Kenapa saya ada disini?"
Mukanya ditundukkan sambil menyisir rambut legam berminyak yang panjang.
"Bu!"
Tak bergeming.
"Ibu dengar saya nggak sih? Jawab dong!" bentakku.
Lagu berbahasa Jawa melantun pelan dari bibirnya yang hampir tak bergerak. Rasanya seperti dalam satu bagian film horor. Bedanya, kejadian seperti ini akan mengambil setting malam hari, bukan siang bolong. Kujulurkan telunjuk kanan dan menyentuh kakinya yang terlipat menyamping. Ia tak bergerak. Pelan aku berdiri, melangkah mundur dan mulai berlari ketika cukup jauh dari tempatnya duduk mmenyisir rambut.

Orang-orang masih tak terlihat. Satu dan dua kendaraan lewat namun terlalu cepat untuk dapat melihat pengendara. Aku masih berlari sekencang mungkin hingga mencapai deretan rumah. Beberapa bermodel kuno dan beberapa terlihat mewah. Salah satu pagar di kejauhan terbuka. Aku memutuskan untuk memasukinya, siapa tahu ada yang bisa menjelaskan padaku apa yang sedang terjadi. Siapa tahu aku dapat meminta segelas air. Atau sekalian saja aku pingsan di halamannya hingga ada yang menemukan dan menolongku.

Pagar itu tinggal beberapa meter di hadapanku, saat sesuatu yang besar dan keras menghantam tubuhku.

..*.. ..*.. ..*..

Dingin. Bukan dingin yang menusuk tapi angin yang sejuk. Terasa rerumputan di bawah tubuhku. Aku terlentang dengan sesuatu yang hangat menutupi dada hingga pergelangan kakiku. Dengan pasrah karena mengira kembali berada di tengah lapangan dan ibu gila di sisiku, aku membuka mata.

"Hello," sapa seseorang sambil mengunyah. Lelaki tua berkulit putih dengan pakaian dekil dan sebungkus fish and chips.
"Want some?" tanyanya menjulurkan makanan berbau sedap yang bercampur dengan aroma basi yang pekat dari tubuhnya.
"Oh, this is Max here," ucapnya, menepuk seekor anjing yang duduk tegak di sampingnya, "My one and only friend. Aren't you dude?". Max menyalak.
Susah payah aku mencoba untuk duduk. Lelaki tua mengernyitkan dahinya dan meletakkan remah-remah sisa yang langsung dijilati anjingnya.
"And you are..."
"Matt," jawabnya, "It's Matthew, actually, but Matt sounds better. What's yours?"
"Where am I?"
"Oh, I was just arrived up here when I saw you... ..."
Tak kudengar lagi kata-katanya. Kupandangi sekelilingku. Aku ada di bukit. Tidak di bagian bawahnya namun agak lebih ke atas. Tanahnya sedikit melandai dan aku bisa melihat deretan rumah-rumah kecil di kejauhan. Bukit yang berukuran sedang, dengan sapi-sapi dan satu pondok kecil berbentuk jamur raksasa di belakangku. Lelaki tua itu masih berceloteh sambil menggerak-gerakkan tangannya dan Max menatapnya kagum.

Rasanya ingin menangis tapi tak sanggup. Seluruh tubuhku ngilu tapi aku tau aku harus beranjak dari tempat itu. Lelaki itu, Matthew, masih bercakap-cakap lebih dengan dirinya sendiri. Kusampirkan kain coklat kumuh yang sebelumnya menyelimutiku pada kedua bahuku. Aku berjalan menuruni bukit, menyeberangi jalan kecil yang sepi, melewati satu dan dua ekor tupai, menyeberangi lapangan kecil dengan mobil-mobil terpakir rapi di sisi-sisinya, terus berjalan hingga menemukan satu halte bus bercat hijau. Tak ada orang yang menunggu bersamaku. Aku menaiki bus pertama yang datang setelah beberapa menit aku duduk. Pintu terbuka dan menutup setelah aku masuk. Tak ada yang menanyai tiketku. Supir bertopi biru pun seakan tak melihatku. Di barisan tempat duduk abu-abu dalam bus merah itu, hanya ada aku.

Aku memutuskan untuk turun saat melihat pantai tak terlalu jauh dari halte. Menuruni tangga-tangga dari jalan raya, aku berjalan pada hamparan pasir kelabu hingga tiba pada bangunan di tepi pantai yang memanjang menjorok ke arah laut. Palace Pier, begitu nama tempat itu. Beberapa kotak bekas makanan dan gelas plastik putih bertebaran. Satu patung putri duyung berukuran besar menyambutku dengan bagian wajah yang bolong. Pastilah orang-orang meletakkan wajah mereka disitu untuk kemudian difoto seakan mereka putri duyung. Aku beranjak ke tepi bangunan berpagar dan melihat ke bawah. Tidak ada ombak, hanya air laut yang sesekali bergerak saling menyapa berupa gulungan-gulungan kecil. Sempat tergoda untuk memanjat dan menjatuhkan diriku ke dalamnya. Tapi sesuatu berkata tidak. Sesuatu berkata jangan. Pikiranku terlalu bising hingga tak ada celah untuk menanyakan apa yang sedang terjadi. Mengapa aku terbangun di tempat-tempat berbeda. Mengapa aku bertemu orang-orang ajaib dan tak satupun manusia waras lainnya. Mengapa aku terlalu takut untuk bisa merasakan hal-hal lainnya. Mengapa aku tak lapar, aku bahkan tak haus. Mengapa tak kulempar saja tubuhku ke dalam lautan agar semua berakhir. Aku mulai letih.

Kukerjapkan kedua mataku yang meredup. Untuk pertama kalinya tubuhku terasa sangat berat namun aku takut tertidur. Kulengkungkan punggungku ke belakang agar dapat mengusir lelah - saat itulah seseorang, atau sesuatu - menjambak rambutku dengan sangat kuat dan aku terjatuh. Tepat ketika kudengar bagian belakang kepalaku menghantam lantai semen, dunia menghitam.

..*.. ..*.. ..*..

Mungkin inilah tidurku yang terlama dan terpanjang. Tidur tanpa mimpi dan seakan tak berdenyut nadi. Aku membuka mata dan gelap menyelimutiku.
"Mengapa tak bunuh diri?" tanya satu suara berat dan dalam entah dari mana. Suaranya mengingatkanku pada telepon aneh yang kuterima dalam kamar.
"Mengapa tak lompat ke dalam lautan?"
Aku masih diam.
"Mengapa tak berusaha menabrakkan diri atau mencoba mencari pisau dalam salah satu rumah?"
"Entah," jawabku, "Mungkin karena tak ingin."
"Dan kau bersikeras mencari tahu arah kebingunganmu?"
"Ya."
"Betulkah jika aku berkata bahwa kau mencoba melawan rasa takut demi hidupmu?"
"Ya," suaraku melemah.
"Apa yang kau miliki?"
"Tak ada. Hanya tubuhku."
"Apa yang kau syukuri?"
Lama aku terdiam.
"Apa yang kau syukuri?"

Aku tau jawabanku tapi tak kukatakan. Untuk beberapa saat kubiarkan kata-kata itu menggema dalam hati dan pikirku. Ada satu kelegaan yang begitu menenangkan menguasai diriku. Kedamaian yang begitu kuat dan utuh. Kupejamkan mata sambil tersenyum.

Kali ini aku tertidur hanya untuk beberapa detik. Langit-langit kamarku adalah hal pertama yang pertama hinggap dalam kedua mataku. Masih kuingat betul semua keanehan yang sebelumnya terjadi. Masih kurekam dengan sempurna pertanyaan yang terakhir kudapatkan, "Apa yang kau syukuri?"

"Hanya nafasku," bisikku perlahan, "karena itu aku hidup."

------------------------

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun