Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

(R)evolusi Tempe

13 Desember 2020   09:31 Diperbarui: 13 Desember 2020   09:38 669 7
Entah bagaimana memori bawah sadar meyimpannya, saya masih ingat bagaimana almarhum bapak meden-medeni supaya berhenti merengek atau segera tertidur. Menakut-takuti. Ini dilakukan bila simbok (simbah putri) sudah mulai habis kesabaran.

Manakut-takuti adalah psy-war dari orang dewasa (bapak) yang memiliki otoritas lebih besar daripada anak kecil (saya).

Pertama, melalui cerita. Dan kedua, melalui tindakan yang dipandang efektif mengatasi situasi.

Cerita "wong adol tempe ditaleni" atau "wong adol kambil dikepruki" adalah contohnya. Tentu bukan penjual tempe yang diikat atau ditaleni. Tetapi tempenya yang diikat. Tentu bukan wong adol kambil yang dipukuli tetapi kelapanya yang dikepruk supaya pecah.

/wong/adol/tempe ditaleni/ akan berbeda makna dengan /wong adol tempe/ditaleni/

Atau: /wong/adol/ kambil dikepruki/ pasti berbeda makna dengan /wong adol kambil/dikepruki/

Sejenis pemainan kalimat yang masuk jauh ke imajinasi dunia kanak-kanak. Seperti cerita tentang kancil yang juga berpotensi disalahmaknai.

Kancil yang cerdik banyak akal atau kancil yang senang menipu. Dua sudut pandang yang akan mempengaruhi kesimpulan akhir. Seperti dikhawatirkan, cerita kancil akan membuat pendengarnya menyetujui kelicikan alih-alih kecerdikan.

Pada masa kecil dulu, rumah kami berdinding bambu. Bambu bagus yang ditreatment untuk keawetan. Sebuah karya arsitektural meski secara tradisional. Tetapi saya sempat memahami sebagai bentuk ketidakmampuan membuat rumah tembok.

Padahal, dinding gedhek adalah salah satu bahan yang cocok dengan kelembaban di daerah kami. Dengan dinding gedhek, rumah dapat menjadi lebih hangat alih-alih lebih lembab. Maka sekarang justru merindukan rumah gedhek. Sebuah konsep rumah yang membesarkan sehingga memiliki daya tahan tubuh yang secara alamiah menjadi lebih kuat.

Oleh bapak yang diam-diam keluar rumah kemudian dinding dipukul-pukul untuk menghasilkan efek suara. Dan simbok akan berkata, eh ada suara di luar. Tidurlah. Maka saya lalu akan lebih merapatkan kepala ke dada simbok yang sudah kempes karena usia. Merasa lebih hangat dan kemudian jatuh tertidur.

Ahli psikologi mungkin akan mendefinisikan tindakan ini sebagai bullying. Karena menempatkan perspektif anak-anak sebagai obyek. Tetapi bagaimana para bapak-ibu guru dulu berlaku keras untuk membangun karakter tidak sama sekali dipahami sebagai tindakan intimidasi. Memukul dengan lidi, menjewer telinga atau bahkan melempar dengan penghapus papan tulis. Ketika sekarang banyak guru dikasushukumkan oleh sementara orang tua murid justru karena jerih payahnya dalam mendidikkuatkan anak-anaknya.

Sejatinya tidak banyak hal yang berubah secara signifikan. Hal mana lalu membuat banyak orang tidak sabar. Sistem evolusi yang dipahami cukup lambat. Revolusi Industri atau Revolusi Bolshevik adalah salah dua jawaban untuk membuat hal menjadi lebih cepat terjadi.
 
Tetapi melakukan revolusi harus dilakukan dengan tekad dan otoritas yang besar. Seperti bagaimana para pemilik kapital menggerakkan perekonomian. Tidak bisa hanya dengan memasang baliho-baliho besar tetapi kosong didalamnya. Dan yang penting adalah menjagatingkatkan kualitas substansinya. Bukan mengosongkan isinya.

Bagaimana Mbak Wahyuni, kakak kelas semasa SD yang malah memanggil saya Mas, membuat bungkusan tempe yang berisi lebih dengan banyak lapisan dalam satu kemasan adalah terobosan yang luar biasa.

Tetap menjaga kualitas. Tetap lebih menghemat daun. Tetap lebih menghasilkan tempe yang gorengable. Tetap mempertimbangkan daya beli para tetangganya. Tetapi juga menghasilkan added-value atas kualitas tempenya yang memang sudah bagus.

| Posong | 13 Desember 2020 | 7.01 |

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun