Mbah Di. Kami biasa memanggilnya begitu. Nama lengkapnya Tukini. Tinggal di sebelah rumah kami, di sebuah dusun kecil hanya dengan tujuh belas rumah. Yang sampai hari ini masih tidak bertambah jumlahnya.
Di adalah sebutan dari anak lelakinya yang bernama Ramidi. Kabarnya Pak Ramidi meninggal karena terjatuh dari pohon kelapa. Jasadnya ditemukan selepas isya' di dekat kuburan dusun Kebokuning. Karena posisi jasad tergeletak di lereng tebing maka baru dapat dievakuasi paginya.
Semalaman Mbah Di menunggu jasad anaknya dengan penerangan lampu minyak di udara terbuka. Di tebing Kali Mangu. Di bawah kuburan. Mbah Di hanya membawa lampu senthir. Lampu bersumbu dengan bahan bakar mintak tanah. Supaya tidak padam oleh tiupan angin, Mbah Di melindungi dengan sobekan daun pisang.
"Aku sewengi nunggoni Likmu Di, nang pereng. Aku nganti lali hawane adem apa ora," kata Mbah Di.
Mbah Di menunggu jasad anaknya di udara terbuka sepanjang malam. Sendirian. Mbah Di sampai lupa apakah pada saat itu udara terasa dingin. Mungkin Mbah Di menatap tidak henti wajah anaknya. Sesekali mengusapnya dengan penuh cinta wajah dan tubuh yang sudah membeku. Sambil menjaga pelita supaya tidak padam.
Dusun kami terletak di antara pertemuan dua sungai yang berhulu di lereng Gunung Merbabu.
Yang istimewa dari Mbah Di adalah selalu menawarkan buah jeruk bali kepada kami anak-anak. Tidak hanya menawarkan, ia bahkan menunjukkan buah mana yang sudah cukup tua untuk dipetik. Kalau kami kesulitan memetik, ia tidak segan untuk mengambilalih dan membantu.
Mbah, nyuwun jerame nggih. Nek, minta jeruknya ya. Itu adalah bahasa spontan kami anak anak setelah lelah bermain bersama. Alih-alih menolak, beliau malah menunjukkan di mana "genter" (batang bambu berukuran tertentu yang dapat dipakai untuk membantu memetik buah atau lainnya) tersimpan dan dapat diambil.
Secara ekonomis, pilihan Mbah Di sebenarnya tidak relevan. Ia dapat saja memetik lalu menjual jeruk-jeruk bali untuk mendapatkan sejumlah uang. Menyimpan dan lalu dapat dipakai untuk menutup kebutuhan di suatu waktu.
Kalau Mbah Di sempat belajar ilmu ekonomi, mungkin ia akan bertindak berbeda. Terlebih bila ia mempelajari teori investasi.
Sejumlah simpanan perlu dimiliki di tempat yang berbeda supaya resiko dapat terdistribusi. Don't put all of your eggs in the same basket. Lalu bila iklim investasi bagus, ia dapat memilih yang paling berpeluang mendapat high return meskipun di wilayah high risk.
Tetapi Mbah Di memilih untuk membagikan buah jeruk bali yang dimiliki. Bagi Mbah Di hidup adalah penyelenggaraan Tuhan. Profidentia Dei. Seperti bagaimana ia menambahsimpankan satu buah kerikil ke dalam toples kaca pada setiap hitungan waktu ulang tahun cucu tunggal perempuannya yang bersama suaminya tinggal di Kalimantan.
Sekali waktu Mbah Di mengambil toples kecil berisi kerikil sejumlah usia cucu perempuan yang diingatnya dengan takzim. Kadang dituangnya kerikil ke amben tertikar pandan, dihitung lagi satu-satu seperti menghitung berkat yang boleh diterimanikmati anak-cucunya. Dan mesyukurinya, tentu saja.
Sehari dua kali Mbah Di membantu Simbok (kami semua memanggil Simbok pada Nenek, sebuah ungkapan kedekatan. Simbok adalah sebutan Ibu bagi rakyat kebanyakan di masyarakat Jawa) mengambil air ke sumber. Sebagai imbalannya Mbah Di makan nasi dan sayur seperti yang kami nikmati. Seperti itu sampai kekuatannya surut. Rumah Mbah Di juga bersama-sama kami perbaiki ketika sudah rusak.
Mbah Di tentu tidak berpikir tentang jaminan hari tua seperti juga diajarkan dalam pelajaran investasi.
Kelak, Mbah Di dijemput Wahini, cucu perempuannya, Â dan tinggal di Kalimantan sampai ajal menjemputnya. Ia tidak dikuburkan di makam yang selalu disapunya setiap hari Kamis sore. Kuburan tempat Pak Ramidi dimakamkan.
| Posong | 29 Juli 2020 | 18.00 |