Jika kita membicarakan tentang desa, desa sering diidentikan “lawan” dari kota.
Di desa kita tidak akan menemukan plaza atau mall , seperti adanya di kota. Kalaupun ada berarti ia tidak dapat disebut desa lagi.
Begitupun sebaliknya, di kota kita tidak akan menemukan hamparan sawah yang luas, udara yang segar, semangat kegotongroyongan dan musyawarah untuk mufakat serta , welas asih, antar sesama wargamasyarakat.
Akan tetapi, desa dapat saja berubah menjadi kota, dikarenakan desa tidak lain merupakan struktur atau bangunan dari kota itu sendiri.
Hamparan sawah yang luas,udara segar, kultur gotong royong dan mufakat serta welas asih sesama wargamungkin akan hilang seketika.
Sebuah gotong royong dan mufakat akan digantikan sekejap oleh unsur individual, hamparan sawah digantikan dengan bangunan- bangunan pabrik yang berdiri ‘congkak’, udara yang tadinya segar menjadi asap hitam yang tidak ‘sedap’ dihirup lagi dan lain sebagainya.
Semua ini dikarenakan virus modernisasi yang masuk ke‘jantung-jantung’ desa sehingga menyebabkan terjadinya perubahan desa secara perlahan.
Begitupun sepanjang sejarah politik di Indonesia hingga kini, desa seringkali dijadikan sebagai obyek para politik sebagai modal untuk mencapai tujuan-tujuannya
Dengan lugunya orang desa dan legowonya akan menerima hal itu, kalaupun mereka tidak setuju dengan itu , diam adalah perlawanan yang terbaik .